Langsung ke konten utama

Kongres Pelacur se Dunia (Bagian 2)



(Hanya untuk orang dewasa)
- Menuntut status hukum jelas
Oleh Adji Subela
Saya tiba di kota Brussel, Belgia, 28 September 1986. Tentu saja, seperti kota-kota lain di Eropa, kota ini bersih, teratur, dan lalulintasnya tertib. Pada jam-jam kerja, keadaannya sepi seperti kota mati. Warganya bekerja diam-diam tanpa banyak kata di dalam gedung-gedung jangkung. Pada pagi hari, manusia menyemut keluar dari liang-liang kereta api bawah tanah (subway), lantas sepi kembali, setelah mereka terserap ke dalam gedung-gedung itu. Pada jam-jam pulang, mereka menyemut kembali berarak masuk liang bawah tanah dan lalu kota sepi lagi.
Tempat Kongres Pelacur se Dunia itu adalah Gedung Parlemen Eropa di Rue Belliard nomer 97 – 133 dekat ke wilayah Luxembourg. Sungguh luar biasa, kongres seperti ini mendapat tempat terhormat. Ini tak lain atas usaha ICPR (International Committee for Prostitutes’ Rights) serta GRAEL, satu organisasi perempuan anggota parlemen Eropa yang peduli terhadap masalah-masalah perempuan.
Koran-koran lokal edisi 29 September menyebutkan, sejumlah pelacur dari berbagai negara sudah berdatangan di Brussel dan menginap di berbagai hotel. Tak dijelaskan di hotel mana mereka menginap, mungkin demi keamanan calon peserta itu sendiri walaupun dari segi bisnis tentu menguntungkan adanya publikasi semacam itu. Beberapa di antaranya bahkan sudah mendaftarkan diri di Gedung Parlemen Eropa yang megah dan berwibawa itu tanpa diketahui umum. Bahkan resepsionis gedung itu sendiri tidak tahu bakal ada acara istimewa di gedung tempat mereka bertugas.
“Apa? Kongres pelacur se dunia?” tanyanya terlonjak dalam bahasa Inggris patah-patah dan nampak terkejut bukan main seperti tersengat sepuluh ekor lebah di pantatnya. Setelah saya menyebutkan nama ICPR, ia baru paham bahwa tanggal 1 Oktober memang ada acara organisasi itu di tempat tersebut. Lega hati saya.
Saya datang tanggal 30 September pagi-pagi guna mencari tahu ihwal kongres tersebut. Di lift saya berjumpa dengan dua orang perempuan Asia, dua orang yang cantik-cantik dan mungil-mungil. Saya tanya mereka dari mana. Katanya dari Thailand.
“Apa kalian akan ikut kongres?” tanya saya.
“Tidak, kebetulan kami ada keperluan di sini,” jawabnya, “apa Anda dari Thailand juga?”
“Bukan, saya orang Indonesia,” jawab saya. Mereka segera pergi cepat-cepat begitu pintu lift terbuka. Aneh. Apa mereka takut saya perkosa? Bagaimana mungkin? Di siang hari bolong di tempat terhormat seperti itu?
*******
Tanggal 1 Oktober 1986. Pukul 14.30 waktu setempat.
Gedung Parlemen Eropa terbelah menjadi dua bagian oleh sejalur jalan kecil. Nomer 97 terletak di selatan sedangkan gedung utama di seberangnya. Di gedung nomer 133 terdapat pengumuman untuk pers yang menyebutkan konperensi pers mengenai The 2nd World Whores Congress atau Kongres Pelacur se Dunia II diselenggarakan di gedung nomer 97 pukul 15.00.
Satpam gedung menyuruh kami menunggu di lobby. Di sana terlihat ada 5 (lima) wartawan lain yang menunggu. Salah seorang di antaranya berkulit hitam metalik, kepala plontos, hidungnya mancung. Kira-kira ia datang dari Afrika bagian Utara, melihat ciri-ciri fisiknya. Dia pun tertarik akan saya, karena berpotongan badan pendek, berkulit sawo matang, kontras dengan para bule di sekitar saya.
“Anda wartawan dari mana?” tanya si hitam kepada si coklat.
“Dari Indonesia,” jawab saya. Ia terbelalak, nampaknya ia kenal betul dengan nama negara saya itu.
“Apakah Anda koresponden di Belgia?” tanya lagi lebih serius.
“Tidak, saya datang langsung dari negara saya?”
“Jakarta?”
“Betul”
Ia pun lalu menjabat erat tangan saya sambil ketawa, “Nama saya C.B. dari Ethiopia, saya bekerja di Belgia sini.” Mungkin itu satu ekspresi kegembiraan bahwa negaranya telah kita sumbang gabah 100 ton ketika kita sedang jaya-jayanya swasembada beras, guna mengurangi beban kelaparan di negeri itu.
C.B. begitu antusias sampai berteriak kepada teman-temannya bahwa ada wartawan “culun” dari Indonesia yang datang khusus untuk meliput kongres tersebut. Saya menjadi satu-satunya wartawan tembak langsung dari Asia, khusus untuk acara ganjil tersebut. Tiba-tiba saya jadi narasumber pertanyaan bertubi-tubi, kenapa soal seperti ini begitu penting bagi koran saya, dan kenapa sendirian? Tak ada wartawan foto?
Saya baru tahu waktu itu, wartawan Eropa sangat ketat membedakan wartawan tulis dan foto. Padahal di negeri saya, kalau mungkin satu orang wartawan bisa merangkap fotografer, sekaligus tukang setting, opmaak dan tukang cetak sekaligus supaya irit!
Tak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Tapi buru-buru saya sadar bahwa ini negara Barat yang semuanya terbuka, jujur. Saya sebutkan, koran saya adalah koran kota dengan penekanan berita pada masalah kriminal, olahraga, perkotaan, dan sedikit aktivitas dunia “lampu merah”.
Mereka paham dan tidak ada yang memberi saya kuliah agama atau kuliah filsafat gratis tapi tanpa diminta seperti di negeri dewek. Soal agama atau kepercayaan adalah masalah pribadi yang sangat mereka hormati.
Akhirnya ada sekitar 20-an wartawan yang berkumpul di situ termasuk mereka yang dari stasiun tv setempat. Pas pukul 15.00 pintu dibuka dan kami naik ke lantai dua gedung. Di sana sudah menunggu sejumlah tokoh Konges Pelacur se Dunia Ke II. Ada seorang dokter asal New York, AS, Don Desjardais. Lalu perempuan langsing dengan rambut kehitaman potongan pony, memakai baju berwarna hijau zaltun, namanya Margot St. James. Dia ini salah seorang pendiri ICPR dan juga pendiri LSM Coyote (Call Off Your Old Tired Ethics – Buanglah Etika Usang Anda). Jangan main-main dengan perempuan ini, sebab dia kandidat doktor dari sebuah universitas ternama di negerinya sana. Di dekatnya ada aktivis hak-hak pelacur Amerika Serikat, seorang perempuan berkulit hitam dengan postur badan tinggi besar, Gloria Lockheed.
Seorang lagi perempuan asal Prancis yang mengenakan topeng berbentuk matahari kuning-hitam. Ia sudah meninggalkan karirnya sebagai pelacur dan meningkat menjadi....germo!
Suratkabar lokal pagi itu mewartakan, sekelompok pelacur asal Prancis dihadang polisi mereka di perbatasan, ketika diketahui mereka hendak ikut Kongres akbar tersebut. Hal ini agak mengherankan mengingat Prancis adalah salah satu negara yang liberal dalam soal apa pun.
Margot mengatakan, Kongres kedua dimaksudkan untuk mengevaluasi hasil kerja keputusan Kongres Pelacur se Dunia I di Amsterdam, Belanda, setahun sebelumnya.
“Belum ada hasil signifikan selama setahun ini,” kata Margot. Pada kongres sebelumnya, para pelacur peserta menolak pajak khusus terhadap mereka, baik perorangan maupun dalam kaitan “bisnisnya”. Mereka menuntut profesinya disamakan dengan professi lainnya sehingga hak dan kewajibannya seperti membayar pajak dll disamakan supaya adil.
Piagam dunia untuk hak-hak pelacur yang diterbitkan pada kongres tahun sebelumnya menyebutkan mereka minta perhatian negara-negara untuk tiga hal pokok, yaitu
  • pertama, menyangkut status hukum. Mereka menuntut agar pelacuran tidak dikategorikan sebagai tindak kriminal dalam segala aspeknya pada orang-orang dewasa sepanjang profesi itu dipilih secara pribadi dan sadar. Tuntutan lainnya ialah agar mereka terhindar dari segala kecurangan, pemaksaan, kekerasan, kejahatan seksual dan mencegah pelacuran anak-anak.
  • kedua penghormatan kepada hak-hak asasi manusia. Mereka menuntut agar pelacuran diberi hak-hak asasi dan hukum sesuai sesuai dengan standar bisnis yang berlaku. Dalam ini perlu dicantumkan klausul khusus untuk mencegah penyiksaan, penyalahgunaan serta penistaan terhadap para pelacur. Menuntut jaminan untuk kebebesan sipil, meliputi a.l. kemerdekaan mengeluarkan pendapat, perjalanan, imigrasi, bekerja, menikah, serta tunjangan pengangguran.
  • ketiga kenyamanan dan keamanan kondisi kerja para pelacur. Mereka menuntut dihapuskannya peraturan atau UU yang mengisolasi serta melokalisasi ddi satu tempat tertentu. Pelacur punya hak menentukan sendiri tempat kerja serta tempat tinggalnya.
Mengejutkan
Bagi saya, orang yang masih berpikiran sempit, bodoh dan datang dari negeri yang berlandaskan Pancasila, maka tuntutan-tuntutan semacam itu sungguh mengejutkan karena amat sangat terlalu maju. Pelacur di negeri saya dicaci-maki sebagai pendosa, disingkir-singkirkan, tapi tetap diperlukan. Mustahil mereka tetap beroperasi dan terus marak tanpa ada pengguna jasanya. Siapa tahu para langganan pelacur lokal kita justru orang yang berteriak-teriak tentang moral dan aturan pada siang harinya. Siapa yang dapat menjamin?
----bersambung -----

Komentar

  1. Ane ngakak baca tulisan ini, bang aji .. hahaha.. terima kasih udeh sharing ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par