Soto Betawi. Khas. |
Tekun. Tampaknya ini kunci bisnis yang ampuh.
Di bidang bisnis makanan-minuman atau kuliner, ketekunan dalam menjajakan dagangannya
menjadi kunci membentuk konsumen fanatik.
Bila sudah mendapatkan pelanggan fanatik, maka
bisnis pun lancar sambil terus membangun konsumen baru untuk masa mendatang.
Apapun model rasa masakannya, bila terus dijajakan dalam lingkup konsumen
tertentu, maka akan tercipta penikmat yang setia.
Paling tidak itu yang dialami Abdul Gani (52
th) alias Bang Gani. Pria kelahiran Pisangan Baru, Jatinegara, Jakarta Timur,
ini mampu bertahan 16 tahun berjualan soto Betawi di Depok Timur, Jawa Barat.
Jangan dikira ia memiliki gerai mewah dan “heboh” dengan slogan aneh-aneh, tapi
justru di pinggir jalan yang bukan jalan utama. Sederhana saja, tapi dari
warung itu ia mampu mengantarkan tiga anaknya
berkuliah di universitas ternama.
Warung di pinggir Jalan Danau Toba, hanya
beberapa meter dari Jalan Raya Bahagia, dan menempel di pagar rumah penduduk
ini diberi nama “Soto Betawi Bang Gani”, pada satu papan nama berlatar warna
hijau muda.
Mantan
“PHK-wan”
Krisis ekonomi 1997 lalu disusul krisis
multi-dimensi yang melanda tanah air 1998, memaksa ribuan karyawan kehilangan
pekerjaan termasuk Bang Gani. Ia harus menerima pensiun dini dari sebuah
perusahaan konstruksi plat merah. Tapi pria murah senyum ini cepat mengambil
keputusan yaitu berjualan soto Betawi. Ia memang memiliki latar belakang usaha
kuliner. Sejak kelas empat SD ia sudah membantu encing-nya (tantenya) yang sukses membuka rumah makan ayam goreng
Bu Haji di Jatinegara yang populer. Bang Gani kebagian “seksie” persotoan. Dari
situ ia mempelajari bumbu dan teknik pengolahan soto Betawi yang terkenal
memiliki rasa intens.
Bang Gani dengan latar belakang warungnya. |
Kelihatannya Bang Gani mampu membangun selera
pelanggannya. “Malah ada warga Manado yang punya saudara di Depok Timur. Kalau
dia datang, langsung pesan tiga mangkok soto Betawi, tanpa nasi, sebab katanya
nasi sih di mana-mana sama,” tuturnya
sembari ketawa.
Dokter Sukarto, dokter militer TNI AU yang
berdomisili di Cibinong, yang dulu terkenal dengan terapi herbalnya serta memiliki
hobby membangun dan menerbangkan
pesawat baling-baling tunggal, juga menjadi pelanggannya. Supirnya yang diutus
membeli soto Betawi Bang Gani. Biasanya lima bungkus, satu di antaranya khusus
daging sapi untuk dr. Sukarto.
Pada suatu hari si supir datang hanya membeli
empat bungkus. Bang Gani bertanya kenapa. “Ternyata menurut si supir, dokter
Sukarto sudah meninggal dunia,” kata Bang Gani dengan wajah sedih.
“Diversifikasi
produk”
Sop iga, produk susulan |
Kini setelah 16 tahun berjalan, konsumen
pelanggannya menuntut lebih. Mereka minta ayam goreng dan ayam bakar seperti
milik Bu Haji dulu. Maka di seberang warung lamanya ia membangun warung lagi
untuk gerai ayam bakar dan ayam goreng. Sekarang ia memerlukan 30 ekor ayam
hidup yang ia potong sendiri guna menjamin kualitas dan kehalalannya. Pada hari
Sabtu dan Minggu jumlah itu meningkat menjadi 45 hingga 60 ekor, sedangkan
untuk soto ayam saja perlu 15 ekor.
Sejumlah pelanggan mengusulkan membuka nasi
goreng, juga ia turuti, dalam sehari kini memerlukan nasi 5 (lima) kilogram.
Kenapa tidak memasak soto Betawi berbahan daging kambing seperti aslinya soto
ini, ia bilang sembari ketawa, “Orang takut ama daging kambing.” Pembeli baru
kerap bertanya soto Betawinya daging sapi atau kambing? Ketika dijawab daging
sapi, mereka baru mau beli.
Sederhana
saja
Mengenai kemungkinan membuat rumah makan yang
lebih besar dan bagus, ia dengan halus menolak. Banyak pelanggan yang tak
setuju sebab takut harganya menjadi mahal dan kurang akrab seperti sekarang. Calon
investor kerap datang minta bekerjasama dengannya. Ia sering menolak. Suatu
saat datang seorang pengusaha Kalimantan yang meminta dia mengajari karyawan si
pengusaha untuk memasak soto hingga komplet. Orang itu menawarkan uang dalam
jumlah sangat besar. Bang Gani juga menolak. Ia hanya ingin bekerjasama bila
tetap berperan. Ia belum berpikir untuk membuka cabang, sebelum yakin betul.
Anak kedua siap-siap memanggang ayam |
Mengenai “regenerasi” Bang Gani menyiapkan
salah seorang anak lelakinya untuk menggantikan kelak. Ia dianggap mampu memasak
seperti resepnya selain si anak sendiri menunjukkan semangat berusaha warung
makanan. “Saya pernah sakit, dirawat, lalu saya suruh anak saya itu memasak dan
mengantar hasilnya. Saya rasakan ternyata ia mampu memasak seperti olahan
saya,” tuturnya.
Ia khawatir adanya pergeseran rasa dagangannya.
Ia meniru Ibu Haji yang mengharuskan masing-masing masakan ditangani satu orang
yang bertanggung jawab.
Bang Gani kini boleh lega akan kelangsungan
usahanya.
Komentar
Posting Komentar