Langsung ke konten utama

Tirto Adhi Soerjo, Perintis Pers yang Terlupakan

   Sejarah hidupnya “misterius”

Kepeloporan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo di bidang pers pribumi di Hindia Belanda tidak bisa diragukan lagi. Selain itu ia juga seorang perintis pengusaha pribumi serta keturunan bangsawan Jawa pertama yang mendirikan perusahaan dagang berbentuk NV.

Dia pula yang mengawali berbagai organisasi yang kelak berkembang membentuk jati dirinya, serta aktif di Serikat Dagang Islamiyah (SDI). Nasib pria berdarah biru ini memang tidak pernah berkilau penuh limpahan harta, tapi derma, sedekah, serta pertolongan lainnya kepada kaum papa mengharumkan namanya. Dan untuk itu ia tidak pandang bulu.

Garis keturunannya sebagai ningrat sejatinya sangat kuat. Ia berada di garis ke-4 dari Keraton Solo, derajat ke-4 pula dari Panembahan Madura terakhir, dan derajat ke-4 dari Bupati Blora R.M.A.A. Tjokronegoro. Darah kebangsawanannya itu semula dianggap “sakti” sebab setajam apapun tulisan penanya, ia sering lolos dari incaran pemerintah kolonial. Tapi ada yang memperkirakan hal itu karena kepintaran Tirto Adhi Soerjo ketika menulis, di mana bukan institusinya yang dibidik, akan tetapi aparat atau pejabatnya. Ia mendapatkan pengaruh kuat dari nenek yang dicintainya, Raden Ayu Tirtonoto, yang keturunan Pangeran Sambernyawa atau kelak menjadi Mangkunegoro I.

Tirto Adhi Soerjo lahir tahun 1880 di Blora sebagai cucu Bupati Bojonegoro, di wilayah Jatim sekarang, yaitu R.M.T. Tirtonoto, dengan nama kecil Djokomono. Ayahnya adalah R. Ng. Haji Chan Tirtodipuro, pegawai  kantor pajak atau collecteur. Wilayah Bojonegoro ini dulu bernama Rajegwesi yang di masa kolonial di bawah karesidenan Rembang. Siapa bundanya tidak jelas, begitu juga masa kecilnya. Penulis biografi Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer, mengadakan riset intensif mengenai latar belakang tokoh pers nasional ini tapi gagal menemukan carikan lengkap kisah hidup semasa kanak-kanak dari si Sang Pemula, sesuai judul bukunya.

Penulis tersebut menemukan bahwa Tirto Adhi Soerjo adalah 9 (sembilan) bersaudara. “… sementara belum jelas dari berapa orang ibu ….” tulisnya. Akan tetapi semua saudaranya berpendidikan dan berpikiran maju. Abangnya, R.M. Said, menjadi jaksa di Cianjur, kondang sebagai pemberantas lintah darat. Ia juga menjadi asisten wedana, sebelum menjadi bupati Blora tahun 1912. Abang tertua Tirto Adhi Soerjo yaitu R.M. Tirto Adi Koesoemo  adalah kepala jaksa di Rembang. Seorang kakak perempuannya, R.A. Pringgowinoto menjadi Raden Ayu di Tuban, pandai menulis dalam bahasa Belanda dan Melayu. Kemudian Tirto Adi Winoto, abangnya yang lain juga menjadi jaksa kepala di Banjarnegara.
Dalam penelitian Pram, hampir semua saudara sekandung Tirto Adhi Soerjo, dianugerahi kepandaian menulis.

Tirto Adhi Soerjo, menurut Pram, masa kecilnya kelihatannya dibesarkan di antara tembok-tembok kabupaten sehingga menurutnya kurang bergaul dengan masyarakat luar. Ketika Tirto Adhi Soerjo belajar ke STOVIA, sekolah dokter jawa di Batavia, ia mulai terbuka. Ia menjadi penulis kritis.
Dikisahkan, Tirto Adhi Soerjo atau sering disebut TAS, adalah pekerja keras di bidang pers dan perniagaan hingga tidak sempat memikirkan kemapanan keluarganya.

TAS pernah menikah dengan Prinses Fatimah, putri Sultan Bacan, yaitu Mohammad Sadik Sjah yang memerintah dari tahun 1862 hingga 1889. Pulau Bacan,Maluku,adalah  daerah yang kini kondang sebagai penghasil batu akik mahal. TAS kemudian menikah lagi dengan putri berdarah bangsawan pula. TAS atau Tirto Adhi Soerjo, pada masa akhir hayatnya hidup berkekurangan, dan tinggal di sebuah hotel milik temannya. Hotel ini semula milik TAS dan diberikan begitu saja ke pada si teman.
Tirto Adhi Soerjo meninggal dunia pada 7 Desember 1918 dan dimakamkan di sebuah pekuburan di Manggadua, Jakarta. Digambarkan, hanya sedikit pelayat yang mengantarnya ke liang lahat, berbeda terbalik dengan kepeloporannya di berbagai bidang di Hindia Belanda.

Tokoh yang berpengaruh pada TAS
Tirto Adhi Soerjo atau TAS mendapatkan pengaruh garis idealisme jurnalismenya dari Karel Wijbrands ketika bekerja di Pembrita Betawi, Batavia (Jakarta). Wijbrands ketika itu memimpin Nieuws van de Dag voor Nederlandsch-Indië. Kedua penerbitan itu berkantor di gedung yang sama. TAS sebagai orang muda lekas menjadikan Wijbrands “guru’ dalam karir jurnalistiknya.

Dari Wijbrands inilah TAS mendapatkan cakrawala baru sebagai pembela rakyat kecil, tertindas dan mengalami ketidakadilan. Ia telah keluar dari kepompong lama, demikian tulis Pramoedya.
TAS sendiri sebenarnya siswa sekolah dokter Jawa atau STOVIA. Akan tetapi perhatian anak muda ini tidak pada bidang kedokteran, namun tulis menulis, sehingga selama enam tahun tetap duduk di kelas empat. Ia dikeluarkan dari sekolah, lantas langsung menjadi redaktur Pembrita Betawi. Setahun kemudian TAS menjadi pemimpin redaksi menggantikan F. Wiggers yang juga sastrawan yang menulis dalam bahasa Melayu Betawi. Akibat aktivitas tulis-menulisnya yang kritis, TAS sempat menjalani pembuangan beberapa kali.

Popularitas TAS pertama muncul April 1902 ketika ia menulis serangkaian laporan kunjungan tokoh keraton Surakarta, Rd. Mas Ngabehi Prodjo Sapoetro ke wilayah Banten.
Popularitas kedua adalah ketika ia membongkar skandal Donner. Skandal ini mengenai upaya Residen Madiun J.J. Donner guna menurunkan Bupati Madiun Brotodingrat yang masih punya hubungan darah dengan TAS. Residen melaporkan bupati sebagai biang perusuh dan kejahatan di wilayahnya. TAS yang memiliki hubungan darah dengan banyak bupati di Jatim, Jateng dan Jabar, mampu membuktikan Donner berbohong.

Penerbitan pers nasional pertama
TAS menjual harta bendanya di Batavia lalu dengan tambahan modal dari Bupati Cianjur ia mendirikan suratkabar mingguan Soenda Berita pada Februari 1903, terbit setiap hari Minggu. Inilah penerbitan pers nasional pertama, yang kendali redaksi maupun pencetakannya ada di Cianjur. Harga ecerannya 20 sen per nomor, untuk langganan 80 sen per bulan. Percetakannya pun berada di pedesaan.

Surat kabar mingguan ini selama tahun pertama dikerjakan sendiri oleh TAS, hingga ke distribusi dan agen iklannya. Dalam hal ini Bupati Cianjur juga membantu pemasarannya, terutama di kalangan pegawai kolonial, oleh karena isi Soenda Berita komplet, memberi pengetahuan dan pendidikan penduduk.

Tokoh “Misterius”
Nama Tirto Adhi Soerjo (TAS) semakin tidak mendengung di telinga wartawan muda saat ini. Pelopor pers pribumi ini diakui pemerintah republik dan mendapatkan gelar Pelopor Pers Nasional. Hanya itu saja, tulis Pram dalam buku Sang Pemula.
 
Bukan hanya wartawan muda zaman sekarang, bahkan para wartawan yang sekarang sudah tua pun tidak terlalu mengenal TAS. Nama ini hanya terlintas sebagai perintis pers nasional, sudah.
Dja’far Assegaf (alm), wartawan senior dan pernah menjabat sebagai Dubes RI untuk Vietnam, dalam berbagai kesempatan menyayangkan bahwa nama Tirto Adhi Soerjo masih asing bagi wartawan sendiri. Ia menyayangkan hal tersebut. Assegaf memperkirakan salah satu penyebabnya karena buku riwayat hidup Tirto Adhi Soerjo ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, mantan tahanan politik PKI. “Mungkin orang mengira Tirto Adhi Soerjo itu orang komunis, jadi enggan membacanya,” kata Assegaf dalam ceramahnya di depan wartawan di Lembang, Jabar, tahun 1985.

Buku Sang Pemula tampaknya dapat menjadi sumber informasi awal mengenai Tirto Adhi Soerjo, sebab ditulis berdasarkan riset luar biasa dari Pramoedya Ananta Toer, sambil menanti buku lain mengenainya yang lebih akurat lagi. Akan tetapi pembaca, terutama periset, perlu berhati-hati sebab seperti biasanya, Pram menulis dengan “sepenuh hati” secara “menggebu-gebu” hingga perasaannya ikut terbawa ke dalamnya hingga sulit menentukan mana pendapat Pram pribadi serta mana yang faktual. Sistematika, tata urut penulisan juga menjadi problem tanpa mengurangi nilai informasinya.
Masih untung ada Sang Pemula, sebab bila tidak, maka sulit mencari rujukan mengenai Tirto Adhi Soerjo (TAS). Tampaknya riwayat hidup tokoh perintis ini perlu diteliti kembali lebih mendalam, sebab semakin penting bila disandingkan dengan situasi pers nasiona dewasa ini yang sudah jauh melenceng dari apa yang dikerjakan para pendahulu. Banyak yang perlu diungkap dari pribadi sang pemula.

Untuk sampai pada tingkat peneladanan, tampaknya masih perlu tanda tanya. Apalagi dalam situasi pers nasional dewasa ini, maka idealisme TAS sudah semakin memburam. Banyak orang yang tiba-tiba menjadi “wartawan” atau “jurnalis” tanpa melalui jalur yang memungkinkan mereka paham dan mendalami masalah jurnalisme itu sendiri. Ada berbagai kepentingan yang menumpang sehingga hal-hal seperti ini terabaikan, seolah tak ada gunanya.
(Sumber bacaan: Sang Pemula, penulis Pramoedya Ananta Toer, penerbit Hasta Mitra, Jakarta, 1985)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima