Bentuk
warung tegal (warteg) satu ini biasa saja, sederhana, mirip sosok warteg yang
ada di Jabodetabek. Tapi jangan kaget, di warung makan satu ini pelanggan bisa
bersantai sebentar, setelah menikmati makanan yang rasanya cukup enak, untuk
membaca buku atau majalah yang ditaruh di rak di salah satu pojok warung.
Jumlah koleksinya lumayan, ada puluhan judul.
Ahmad (tengah) melayani pelanggannya dengan akrab |
Warung
yang diberi nama Warteg “NN Pos Tiga” ini terletak di Jalan Hankam Raya,
Jatimurni, Pondok Melati, Bekasi. Lokasinya tak jauh dari Kantor Cabang
Pembantu Bank BNI dan Mandiri, di sisi timur jalan yang lumayan ramai arus
lalulintasnya.
Selain
“perpustakaan” di wartegnya, Ahmad juga mendirikan Taman Bacaan Umum yang
gratis di rumah pribadinya di kampung Kresek, Pondok Melati, Bekasi. Taman
bacaan yang diberi nama Ibnu Sina itu juga didirikan di kampung asalnya,
Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Jadi
selain menyajikan masakan olahan istrinya yang berasal dari Lirboyo, Kediri,
Jatim, yang memberi kepuasan fisik ini, warteg NN Pos Tiga juga menyediakan
menu mental-spiritual baik bahan bacaan maupun doa-doa.
Perjalanan
hidup pria yang biasa dipanggil Ki Reksobumi ini, cukup unik. Ahmad adalah
lulusan Fakultas Sosial Politik Universitas Diponegoro, Semarang. Lulus dari
PTN tersebut ia menjadi wartawan majalah yang isinya sebagian besar masalah
ghaib dan spiritualisme. Di sela-sela kesibukannya, Ahmad memperdalam ilmu
peninggalan kakeknya, sehingga lama-lama bukan lagi sebagai reporter, ia malah
menjadi “narasumber” untuk urusan kebatinan/spiritual. Banyak orang yang
berkonsultasi kepadanya.
Membaca sebelum bersantap siang |
Tiba-tiba
saja arah hidupnya berbelok secara mengejutkan. Ahmad merasa mendapatkan
“wisik” alias bisikan ghaib yang memintanya berhenti menjadi pegawai dan
menantang hidup untuk berwiraswasta serta menolong orang lain. Pilihan menjadi
pengusaha warteg dia ambil karena banyak anggora keluarganya yang terjun di
bidang ini dan ia banyak mengambil pengalaman.
Sang
istri yang semula bekerja sebagai staf pabrik konveksi, harus merelakan
berhenti bekerja dan membedah tabungannya untuk modal usaha. Ahmad mendirikan
lima warteg sekaligus pada tahun 2005. Semula maju-maju semua, tapi ternyata
berbisnis tidak semudah yang ia perkirakan. Banyak tantangan terutama kejujuran
para pegawainya. Maka ia tutup empat di antaranya dan tinggal satu yang dipertahankannya
yaitu NN Pos Tiga itu.
Di
warung ini ia bekerja bertiga yaitu dirinya, istri dan anak perempuan
tunggalnya yang masih duduk di klas tiga SLTP. Ahmad bercerita, mengambil
pembantu warung dewasa ini sulit. Selain harus mengeluarkan uang muka Rp.500 ribu
untuk “commitment fee”, si pembantu pun suka menuntut, minta hanya di depan,
tak mau memasak apalagi mencuci piring atau bersih-bersih, dan minta digaji
Rp750 ribu per bulan, plus hari libur Sabtu Minggu.
“Bukan
main deh,” tutur pria yang murah senyum ini kepada JURNAL BELLA, “itu aja kalau
betah beberapa bulan masih mendingan. Umumnya baru dua bulan sudah minta
berhenti, dan kita harus membayar lagi lima ratus ribu kalau pesan lewat agen
di kampung.”
Ahmad memeriksa koleksi buku di rumahnya di Kampung Kresek, Pondok Melati, Bekasi |
Maka
dari itu sejak beberapa tahun terakhir ia turun tangan sendiri bersama
istrinya. Pelanggan warung tegalnya lumayan banyak, terutama para karyawan
kantor di sekitarnya plus para pedagang keliling. Mereka akrab dengan si
pemilik warung, karena selain menikmati makanan mereka bisa mengisi jiwa mereka
dengan membaca atau berkonsultasi dengan pemilik warung yagn memang ramah.
Masakan
di warung ini lumayan enak untuk klas warteg yang sederhana. Ahmad menyediakan
banyak menu guna melayani pelanggan yang selera dan minat makanannya
berganti-ganti setiap harinya.
Hasil
dari wartegnya itu ia sisihkan sebagian untuk Taman Bacaan serta nantinya ia
berambisi untuk mendirikan pos bantuan hukum bagi warga kebanyakan.
Tulisannya sangat menginspirasi
BalasHapusMaju terus jurnal bella :)