Roket Kartika I kebanggaan Indonesia (dulu) sebelum diluncurkan pada 14 Agustus 1964. |
Bulan Agustus mendatang – tepatnya 14 Agustus 2014 – persis 50 tahun kita
meluncurkan roket pertama yaitu Kartika I di pantai Cilauteureum, Kawedanaan
Pameungpeuk, Kabu. Garut, Jabar.
Namun perkembangan
roket Indonesia seolah “jalan di tempat”. Tahun 2009 Lembaga Penerbangan
Antariksa Nasional (LAPAN) dikabarkan bertekad untuk meluncurkan roket dan
mengorbitkan satelit sendiri tahun 2014. Banyak pemerhati antariksa dan roket
nasional berharap banyak agar ambisi itu terwujud.
Tak dinyana, alih-alih
meluncurkan satelit buatan sendiri pakai roket made in dalam negeri, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin menyatakan,
kita akan meluncurkan roket dan mengorbitkan satelit sendiri nanti 25 tahun
lagi ! (Kompas, Sabtu, 10 Mei 2014 halaman 13).
Rupanya sudah menjadi “penyakit” bangsa kita – yang
seolah ditularkan oleh pemerintah – selama 10 tahun terakhir, kita biasa
menunda harapan kebahagiaan. Sering kali pejabat pemerintah menyebutkan,
Indonesia mencapai kemakmuran pada tahun 2030. Artinya mereka seakan minta
rakyat agar memahami bahwa sekarang ini pemerintah tak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan harapan saja harus tertunda begitu lama. Begitu juga roket yang
seharusnya menjadi kebanggaan bangsa dan mampu sebagai alat “penggentar” bagi pertahanan
Indonesia.
Jika roket dan satelit itu benar-benar terwujud
(marilah kita doakan dengan sepenuh hati yang tulus bersih dan dengan penuh
permohonan ampun kepada Tuhan YME, agar janji yang berkepanjangan itu
terpenuhi) maka baru tahun 2039 rakyat Indonesia yang sekarang masih bayi
menyambut gembira momentum itu. Sedangkan yang sekarang berada pada tingkat
lansia dan pernah menyaksikan kejayaan dan kebanggaan bangsa Indonesia tahun
1964 semua sudah mati! Atau yang lebih parah lagi kita semua sudah lupa.
Oh, ya, doa kita tadi termasuk permohonan agar janji
itu pada tahun 2039 tidak mundur lagi hingga tahun 2100 misalnya. Masalahnya
jangan sampai pada saat itu yang namanya satelit dan roket rancangan kita sudah
jadi barang antik mainan anak-anak.
Sebelumnya ada harapan
lembaga itu mengembangkan roket berbahan bakar cair dan serangkaian percobaan
roket serie 240-X. Lembaga itupun sudah berhasil membuat satelit A-1
bekerjasama dengan salah satu universitas di Jerman, serta A-2 yang sudah
dibuat sendiri. Roket berukuran nano serta mikro berbentuk dadu.
Roket “penggentar”
Marilah kita tinggalkan
kisah pilu ini, dan kembali “memamah biak” mengunyah kebanggaan masa lalu (mau
apa lagi?), di mana kita sebagai bangsa benar-benar merasa memiliki harga diri
dan harapan besar. Ekonomi saat itu boleh saja menderita, akan tetapi kita
punya kebanggaan lain selain capaian fisik serta pengenyangan perut semata.
Bung Karno sering mengatakan (mengutip peribahasa Belanda) bahwa manusia tidak
hanya hidup dengan roti, “de mens leeft
niet van brood aleen”. Kemudian olehnya diterjemahkan lebih jauh sebagai “een natie leeft niet van brood aleen”,
sebuah negara tidak hanya hidup dengan roti (makanan pokok lain). “Ada national pride,” kata Bung Karno dalam
pidato pelantikan Ali Sadikin sebagai Gubernur Daerah Khusus Istimewa Jakarta
28 April 1966.
Ada kebanggaan nasional! Itulah intinya, bukan sebagai
bangsa budak yang diperintah, didikte negara asing sedangkan secara ekonominya
pun tidak membanggakan apa-apa.
Maka Kartika I menjadi
salah satu upaya strategis berupa roket sepanjang 10,5 meter dan berbobot 220
kilogram buatan dalam negeri, sebagai hasil kerjasama Angkatan Udara RI, LAPAN, ITB, dan Pusat
Industri Angkatan Darat (PINDAD), dalam Proyek Pengembangan Roket Ilmiah dan
Militer Awal (PRIMA). Ini merupakan sub-proyek dari Proyek Roket Ionosfer
Angkasa Luar atau Proyek S, dipimpin Laksamana Muda Udara Budiardjo dan Kolonel
Udara J. Salatun.
Sebuah proyek ambisius
yang didorong oleh Bung Karno untuk memacu kemampuan ruang angkasa Indonesia mendahului
negara-negara berkembang di dunia, utamanya Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Bahkan di Asia waktu itu baru Jepang yang berhasil meluncurkan “roket pensil” mereka di Tanageshima.
Ketika itu Bung Karno
berambisi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang pertama
yang meluncurkan roket, satelit dan bom nuklir. Tentu saja ambisi itu
menakutkan negara-negara yang ia sebut sebagai neo-kolonialis atau nekolim.
Jika sekarang kita
mendengar kejayaan roket pendorong yang mampu berfungsi sebagai misil balistik
antarbenua buatan Korea Utara, Tiongkok, India, Pakistan, Iran, maka pada tahun
1964 negara-negara tersebut belum “berbunyi” sama sekali.
Kepeloporan Indonesia
dalam bidang peroketan (antariksa) sekarang disalip secara menyedihkan oleh
negara-negara tersebut.
Bulan Agustus 2009 lalu Korea Selatan meluncurkan
satelit pertamanya memakai wahana roket buatan dalam negerinya, Vehicle-1
(KSLV-1). Roket sepanjang 33 meter, berbobot 140 ton dan senilai US$400 juta
(Rp.3 trilyun) dibuat atas kerjasama para ahli Korsel (negeri sekutu
AS) dengan Rusia, diluncurkan dari Goheung. Di
bulan yang sama AS meluncurkan lagi pesawat ulang alik Endeavour-nya.
Republik Rakyat China berhasil
mengorbitkan astronot pertamanya tahun 2008. Tak disangka, negeri Tirai Bambu
itu diam-diam mengembangkan roket mereka di Gurun Gobi, yang menurut
desas-desus dibantu oleh ahli roket dari Jerman yang ikut mengembangkan
perekonomian Tiongkok hingga seperti sekarang ini. Malaysia tahun 2009
mengorbitkan satelitnya sendiri lewat roket Rusia. Bukan tidak mungkin negeri
jiran ini kelak menyalip kita.
Roket Kartika I buatan Indonesia melesat ke angkasa pada 14 Agustus 1964, tepat pada HUT Pramuka. |
Qua vadis
roket Indonesia
Nilai strategis
peroketan dan persatelitan tentu tak usah diragukan sama sekali. Ketika manusia
sudah mulai melirik planet lain untuk berimigrasi dari bumi yang sudah renta
penuh sampah, jelas sekali antariksa menjadi strategis, apalagi dikaitkan
dengan fungsi pertahanan atas kedaulatan bangsa dan negara.
Kita bisa lihat
bagaimana pentingnya memiliki satelit sendiri ketika sebuah bank plat merah,
BRI, akan membeli satelit untuk urusan bisnis mereka. Sebelumnya berbagai
satelit komunikasi sudah kita miliki walaupun (mohon ampun kepada Allah SWT)
harus dibeli atau disewa (!) dari negara asing. Satelit Palapa menjadi
kebanggaan Indonesia sebab ketika itu negara anggota ASEAN lain belum
memilikinya.
Ketika dengan bangganya
seorang menteri memamerkan satelit Palapa, seorang wartawan muda yang agak
“bodoh” bertanya kenapa Indonesia tidak membuat sendiri satelitnya? Jawaban pak
menteri cukup “hebat”, katanya kenapa harus susah-susah bikin, membeli lebih
hemat. Masya Allah ampuni kami ya Allah, mendapatkan pejabat yang bermental
pedagang atau makelar seperti itu.
Memang selama Orde Baru
masalah antariksa dan peroketan dikesampingkan secara meyakinkan. Pertama
pemerintah harus memberi makan rakyat yang sudah kelaparan parah. Kedua, harus
memenuhi kebutuhan mereka akan sandang, papan, serta alat transportasi. Maka
masalah antariksa benar-benar ada di awang-awang jauh di sana, apalagi semangat
Orba ya seperti kata menteri di atas itu: beli saja daripada bikin sendiri.
Maka semangat seperti
itu kemudian keterusan, apalagi pemerintah Orba lebih memilih mengembangkan
sistem ekonomi “kekeluargaan” alias mementingkan bisnis keluarga pejabat saja.
Proyek antariksa
merana. Tidak ada perhatian serius apalagi dana, selagi para ahli peroketan dan
satelit bertambah banyak.
Kalangan peroketan pun
mengeluh katanya sulit bekerjasama dengan negeri lain sebab roket dan satelit
menjadi obyek strategis. Bahan bakar roket pun, kabarnya, baru bisa dibuat di
dalam negeri sendiri baru beberapa tahun belakangan.
Tapi pertanyaan
besarnya kenapa negara lain bisa mengembangkannya? India diduga mendapatkan
keahlian itu dari Uni Soviet (waktu itu), Pakistan juga, Korea Utara apalagi.
Iran mendapatkan kemampuannya atas “bocoran” dari China.
Kenapa Indonesia tidak
bisa?
Jerman berhasil
membangun roket berbahan bakar cair pertama di dunia melalui proyek Peenemunde
selama 10 tahun, meskipun tidak dihargai apalagi dibantu oleh Adolf Hitler.
Hanya Angkatan Darat mereka yang bersikukuh hingga dihasilkan roket V-1 dan V-2
yang pada saat-saat terakhir kekalahan Jerman justru terbukti berhasil memporak-perandakan
Sekutu.
Kita berharap jangan
sampai “kebodohan” Hitler itu terulang justru di Indonesia.
Beruntung sekali,
alih-alih tidak jadi-jadi membuat roket besar dan tidak kunjung mengorbitkan
satelit sendiri, LAPAN kini bekerja sama dengan Kemhan, PINDAD, dan lain-lainnya
memproduksi alat utama sistem pertahanan (alusista) .
Jangan sampai keenakan
“berdagang” lantas menunda harapan rakyat akan satelit dan roket Made in
Indonesia.
Kini kita di
persimpangan jalan. Apakah kita membuat sendiri roket dan satelitnya atau cukup
mengimpor atau menumpang saja. Ini sekaligus mengukuhkan kemampuan baru bangsa
kita yaitu apa-apa serba impor, mulai dari daging sapi, garam, bawang, cabai,
dan sebagainya hingga singkong. Ada alasan yang bagus, yaitu roket dan satelit
adalah obyek strategis sehingga kita pun harus didikte negara asing. Sudah
tanggung, semua arah hidup bangsa disetir negara lain bahkan untuk mengurusi
Taman Kanak-kanak pun harus kalah (semoga tidak) dengan negara besar patron
kita.
Semoga kita segera
mampu meluncurkan roket dan mengorbitkan satelit yang semuanya Made in
Indonesia sebelum saksi sejarah kebanggaan Kartika I pada mati kehabisan umur, yaitu
mereka yang juga sekaligus saksi kelambanan sebuah pemerintahan!!
Komentar
Posting Komentar