Judul : Suara Sunyi
Kurator :
Malkan Junaidi
Desain isi dan sampul :
Malkan Junaidi
Lukisan sampul dan isi :
Andry Deblenk
Penerbit : Indie Book Corner
Yogyakarta
Edisi : Cetakan pertama, April
2014
Jumlah
halaman : x + 130
Ukuran
buku : 15 cm x 21 cm
ISBN :
978-602-1599-75-4
Tiga
puluh enam tahun lalu. Seorang reporter muda mengajukan pertanyaan bodoh kepada
salah seorang maestro pelukis tanah air, S. Sudjojono, ketika ia sedang
mengadakan pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta: “Pak, lukisan
Bapak ini termasuk aliran apa?”
Pertanyaan
dungu ini mendapatkan jawaban cerdas dari sang maestro.
“Sebagai
seniman kita ndak usah berpikir atau
terikat pada aliran-aliran, isme-isme. Berkarya saja sesuai keinginan. Aliran
atau isme-isme itu urusan para kritikus, biarkan saja,” begitu kira-kira jawaban
Sudjojono sambil mengorek cangklong kesayangannya dengan sebatang paku.
Jawaban
itu seakan sekilat petir yang gelegarnya masih terngiang hingga sekarang ini di
dalam ruang telinga sebelah kanan si
wartawan muda, yaitu (harus saya akui dengan rasa sesal) adalah saya.
Geledek
kedua saya terima di pertengahan dekade 1980-an, ketika sutradara Prancis
kondang, André Tessiné, berkunjung ke Indonesia untuk promosi filmnya bersama
aktris cantik Sandrine Bonaire. Ketika itu “aliran” (nah) strukturalisme masih
dianut dengan setia oleh sejumlah pengamat dan seniman barangkali sebagai
simbol intelektualisme. Saya pun dengan lancang bertanya mengenai bagain akhir
film André yang mematikan semua tokoh di dalam filmnya saat itu. Begitu
mudahnya seolah ia lari dari beban untuk menyelesaikan masalah dalam cerita.
Dengan enteng sekali André menjawab: “Saya membuat
film, bukan membuat skripsi.” Nah, lho. Ini tamparan bagi orang sok tahu
seperti saya, yang begitu ngawur tidak mempertimbangkan filosofi dasar seniman
Prancis yaitu l’art pour l’art serta l’art est l’art. Seni untuk seni, dan
seni adalah seni itu sendiri. Begitu liberal, bebasnya orang Prancis memaknai
seni dalam setiap cabangnya, sehingga ide-ide “gila” sering muncul dan beberapa
di antaranya diadaptasi bulat-bulat oleh “kapitalis seni” di Hollywood.
Jawaban itu terus mengiang di rongga telinga saya
sebelah kiri hingga kini.
Oleh sebab itu ketika membuka-buka buku antologi
“puisi” karya Rose Widianingsih yang berjudul Suara Sunyi, saya sudah siap untuk tidak mempersoalkan bentuk, atau
alirannya tapi tetap tertarik pada gaya, teknik atau daya ungkapnya. Menyimak
karya Rose ini maka lupakanlah isme-isme itu karena yang terutama adalah sejauh
mana karya itu memengaruhi pembacanya. Itu intinya ketika seorang seniman atau
pekerja seni berkarya.
Buku ini kumpulan karya Rose Widianingsih, seorang ibu
rumah tangga dari kota Pasuruan, Jawa Timur, antara tahun 2010 hingga 2011.
Hanya dari rentang waktu setahun itu, Rose menghasilkan 72 karya yang terpilih,
tidak terhitung berapa jumlah karya lainnya.
Karya Rose memang cenderung “feminin” oleh karena ia
memang seorang perempuan. Satu deretan panjang pengamatan dan pengalaman pasif
atas satu keadaan tertentu. Kalau saja harus diberi bentuk, maka tulisan Rose
memang mirip prosa liris, namun tidak sepenuhnya demikian, sehingga seperti di
awal tulisan ini, bentuk tidak menjadi penting. Penuangan renungannya amat
ekspresif penuh perenungan dalam.
Dalam
Ayunan di Tiang Gantungan (hlm.7) ia
bercerita tentang dirinya yang hanya pecundang yang menyerah pada waktu, seakan
terlilit tiang gantungan berupa sulur tanaman anggur. Satu keputusasaan khas
cucu Hawa yang hanya mau menerima nasib yang tiba.
Rose
pun merasakan tekanan rindu yang ia gambarkan sebagai mantra doa yang
bersambung-sambungan (litani), di tengah gelora hati yang digambarkannya
seperti ombak yang menampari batu karang di lautan. Lewat Litani Rindu ia seolah menyerahkan rasa rindu yang membedah hatinya
pada angin yang ternyata juga menyerah pada nasib, dan rindu itupun ia biarkan
tenggelam dalam lautan yang ia gambarkan berwarna biru safir (hlm. 31-32).
Lagi,
sebentuk rindu atau barangkali rasa cinta yang terpendam, ia sebut sering
menyusup ke dalam hatinya yang tak berbentuk. Satu tempat yang menurutnya
justru tidak ia ketahui sendiri. Ia akhirnya tetap pada kepasrahan pada si dia
yang ia rindui tanpa tahu seberapa besar telah menyesaki hati, yang menurutnya tidak
mampu ia kenali sendiri. Tempat Tak
Berwujud Bernama Hati (hlm. 104-105, 2011).
Satu karya singkat yang ia namai Buat Lampu, berisi betapa benda ciptaan Thomas Alva Edison di Abad
Ke-19 tersebut mampu mencengkeram dirinya karena dapat merekam memori ketika
kekasihnya mengecup dirinya pada suatu malam. Atau ketika ia menitipkan hatinya
di lampu itu agar setiap keremangan tiba dapat menyala kembali. Dan, sisi
romantik yang agak nakal muncul saat Rose menulis, ia berterimakasih pada si
bola lampu untuk meredupkan sinarnya agar kekasihnya dapat menjangkau dirinya. Buat lampu (hlm.110. 2011).
Membaca buku Suara
Sunyi, kita bersiap dan harus sabar mendengarkan keluhan atau desahan
gelisah seorang putri cantik yang merajuk ingin meremas perhatian kita. Tegakah kita
meninggalkannya sendiri? Buku yang nampaknya merupakan hasil kolaborasi kompak antara para seniman dari empat kota, yaitu Ponorogo, Pasuruan, Blitar, serta Yogyakarta, itu menarik. Ilustrator buku ini seorang muda dari Kota Reog, Ponorogo, Andy Deblenk, yang memang kuat dalam aliran (nah!) kubisme a la Picasso.
Sebaiknya bacalah karya ibu dari empat orang anak
kelahiran Yogyakarta, alumnus Fakultas Hukum Univ. Brawijaya yang lebih suka
menorehi buku hariannya ketimbang membolak-balik KUHAP yang pasal-pasalnya
sering dipelintir oleh para koruptor itu. Ia sekarang tinggal di Pasuruan,
Jatim, sebagai ibu rumahtangga dan mengelola toko jamu tradisional. Dan
catatan-catatan buku hariannya mungkin mampu menjadi jamu inspiratif untuk isi
kepala yang mulai pejal oleh berita-berita politik selama 2014.
Membaca karyanya seolah kita menyumbu seorang putri cantik itu tadi, bukan menyumbui pria seniman muda berkulit legam berambut panjang yang suka bergadang nongkrong di warung kopi atau nasi pecel di tengah pasar!
Komentar
Posting Komentar