Langsung ke konten utama

"Tukang kayu" Tapi Akuntan







                Sering sekali profesi seseorang itu berbeda atau tak ada hubungannya sama sekali dengan jenis kegemaran atau hobby mereka. Tentu saja yang ideal adalah jika jenis pekerjaan sesuai dengan hobby sehingga diharapkan mampu berprestasi lebih baik.
                Tapi tidak selamanya demikian. Ada orang yang merasa kegemarannya yang berbeda dengan jenis pekerjaannya membuat ia semakin bergairah, karena tidak bosan, dan menganggap sebagai selingan yang inspiratif.
                Bagaimana ya kira-kira kalau seorang auditor atau akuntan pemerintah yang ternyata sekaligus merangkap sebagai “tukang kayu”?  Pria kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, 63 tahun yang lalu ini semula adalah PNS di Kementerian Keuangan sebagai auditor di Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP). Menjelang memasuki masa pensiunnya ia kemudian pindah ke Direktorat Jenderal Anggaran.
H. Untung Sunaryo
                Di sela-sela kesibukannya ia mengerjakan hobby yang sudah ditekuninya sejak remaja yaitu bertukang, baik untuk pekerjaan kayu maupun bangunan. Di kota asalnya, Haji Untung Sunaryo, nama pria itu, aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat seperti “sinoman” atau menjadi peladen pada pesta hajatan, lalu Karang Taruna, serta kerja bakti. Sebagaimana kebiasaan masyarakat waktu itu, gotong royong merupakan kebiasaan untuk saling membantu sesama tetangga bersama-sama. Biasanya untuk pekerjaan pembangunan atau perbaikan rumah, pekerjaan musim tanam maupun panen, hajatan untuk pernikahan, dan masih banyak lagi.
                Dari kegiatan kerja bakti atau gotong royong itulah H. Untung banyak belajar mengenai seni bertukang. Ketika lulus SMA, ia meninggalkan rumah neneknya di Kutoarjo dan bergabung dengan orangtuanya di Depok, Jawa Barat, tahun 1970. Ia diterima bekerja di Departemen Keuangan sebagai staf biasa. Di waktu luangnya ia banyak belajar pada tetangganya yang tukang bangunan dalam ketrampilan pertukangan. Ia belajar lebih lanjut bagaimana menguasai teknik menggergaji, menyerut (mengetam), melepa dinding, mengaduk semen, dan masih banyak lagi.
                Ketika menikah dan berpindah ke Perumnas Depok Timur, H. Untung rajin membantu para tetangganya yang sama-sama baru menghuni perumahan itu sehingga perlu membangun lebih lanjut.
                Lama kelamaan ia dimintai tolong tetangganya untuk membuat almari, bupet, dan lain-lainnya. H. Untung mengerjakan itu semua secara suka rela tidak pernah menghitung biaya, kecuali paling-paling rokok atau kopi hitam. Sudah. Maka namanya pun populer di lingkungannya sebagai orang yang gampang membantu khususnya bertukang.
                Tentu saja para pemesan itu harus bersabar, tidak boleh menentukan batas waktu jadinya karena H. Untung sering bertugas ke luar daerah. Selama beberapa hari ia bertugas kemudian pulang lantas berangkat kembali. Oleh karena itu ia sering mengerjakan garapannya pada malam hari. Kembali, semua dikerjakan karena kecintaannya pada seni bertukang, tidak pernah menghitung untung rugi.
H. Untung sedang bekerja. Nampak sejumlah perabotan yang belum selesai di belakangnya
                “Beliau selalu untung,” komentar tetangganya, merujuk pada nama Untung miliknya itu.
                Tentu saja kegiatannya bertukang menarik perhatian orang yang lewat di depan rumahnya yang tidak jauh dari Pasar Musi, Depok Timur. Dahulu  umumnya orang mengira H. Untung memang seorang tukang kayu profesional, tidak tahu apa yang menjadi pekerjaan sebenarnya.
                “Tidak jelas apakah profesi beliau ini PNS Departemen Keuangan atau tukang kayu,” kata tetangganya yang lain berseloroh.
                Memasuki masa pensiunnya beberapa tahun lalu, kegiatan bertukang H. Untung bertambah. Ia mendapatkan banyak “order” dari para anggota keluarganya sendiri. Sebagai anak sulung dari delapan bersaudara, ia sering membantu adik-adiknya membuat perabotan rumah tangga. Kini, setelah pensiun, “order” bertambah banyak dari keluarganya.
                Yang lucu, orang-orang yang lewat di depan rumahnya lama-lama memperhatikan kegiatan H. Untung, dan mengira dia sudah menjadi tukang kayu betulan. Mereka sering mampir untuk memesan dibuatkan perabotan rumah tangga. Dengan sabar H. Untung menjawab akan menerima pesanan tersebut jika pekerjaannya sudah selesai.
                Menurut para tetangga dan kawan-kawan yang pernah memesan perabotan, buatan H. Untung memang kuat. Ada sebuah bupet yang bertahan selama 25 tahun walaupun terendam banjir setiap musim hujan.
                Karena hobby yang tidak sesuai dengan pekerjaannya itu, tentu saja ia sering menjadi sasaran salah sangka. Suatu saat ada yang mencoba memasukkan dia pada acara kuis “Siapa Dia” di stasiun TVRI di awal dekade 80-an, tapi belum sampai terlaksana acara itu keburu ditutup.
               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima