Betapa
megahnya gedung-gedung kuno peninggalan Kompeni Belanda di daerah Kota Tua
Jakarta, ternyata bangunan-bangunan itu “hanya” ditopang oleh sejumlah tiang
kayu (cerucuk).
Cerucuk
itu terbuat dari kayu jati tua dengan berbagai ukuran, yang ujungnya dipotong
menajam seperti pensil, kemudian ditancapkan ke tanah. Ada kira-kira 10 hingga
15 batang kayu per meter persegi. Di atas cerucuk itu kemudian dibuat landasan
kayu lagi dan dari sinilah gedung-gedung bergaya Eropa itu dibangun.
Begitu
lihainya orang-orang jaman itu untuk mengakali alam, hingga sampai sekarang pun
para arsitek dan ahli teknik sipil mengaguminya dan justru banyak belajar pada
kearifan lokal yang digunakan dua ratus tahun lalu. Pada masa itu belum ada semen
portland seperti yang kita pakai sekarang ini. Para ahli teknik bangunan pada masa
itu nampaknya sadar betul akan kondisi tanah kota Batavia (Jakarta) yang
sebagian besar lunak, berlumpur. Tiang-tiang kayu itu rata-rata berkepanjangan
5 (lima) meteran. Ketika ditancapkan ke tanah dan terendam air selama ratusan
tahun, cerucuk-cerucuk itu berubah menjadi semacam tiang besi yang sangat keras
dan kuat.
Cerucuk
demikian ini ditemukan dalam jumlah banyak ketika Pemprov DKI menggali taman di
depan Stasiun Kota (Beos) untuk dijadikan terminal akhir busway Blok M-Kota.
Cerucuk itu demikian kuatnya sehingga ketika Dr. Ing. Josia Rastandi dari Fak.
Teknik UI mencoba menggeser tiang tersebut memakai alat kempa berkekuatan 1,5
ton, cerucuk itu tetap diam di tempat sedangkan besi alat pendorong itu malah
melengkung, kalah kuat.
Sebagian
cerucuk yang ditemukan itu kini disimpan di Balai Konservasi, Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta.
Komentar
Posting Komentar