Jurnal yang “wajib” dibaca oleh pemerhati masalah
sosial-budaya, terutama Betawi yang termasuk jarang.
Judul :“Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies (Dari
Batavia sampai Jakarta)”.
Penerbit : Penerbit
Padasan dengan Betawi Center Foundation dan Forum Sastra Betawi.
Edisi : Pertama, terbatas 100 eksemplar
Dewan
Penasihat : Abdul Chaer, Ahmad Iskandar
Bait, Biem Benjamin, Ichsanuddin Noorsy,DR.Margani M Mustar, DR. Mona Lohanda,
Sarnadi Adam, Prof. DR. Wahyu Wibowo, DR. Zeffry Alkatiri.
Redaktur
Senior : David
Kwa, Heryus Saputro, Lilik Sofyan Ahmad, Sam Mukhtar Chaniago, Yahya Andi
Saputra.
Dewan
Redaksi : Chairil
Gibran Ramadhan (CGR), Fadjriah Nurdiarsih, Fadly Kurniawan, Fifi Firman
Muntaco, Kiftiawati, Mh Hamdan.
Produksi : Ali
Siregar.
Perancang
sampul & isi : Sarifudin Anwar.
Kertas : Bookpaper, soft-cover.
Ukuran : 15x23cm,
118 hlm.
ISSN: 2302-5484.
Harga : Harga: Rp. 65.000,- plus ongkos kirim Rp. 15.000,- (Jawa) dan
Rp. 20.000,- (luar Jawa).
Masih
banyak orang luar – non-Betawi – yang menilai sifat, watak, tindak-tanduk orang
Betawi seperti stigma yang diciptakan lewat cerita-cerita lenong, sinetron
murahan, dan dongeng dari mulut ke mulut. Padahal warga asli Betawi banyak
sekali yang sudah menyandang gelar kesarjanaan mulai dari Strata-1 hingga S-3,
bahkan hingga tingkat rektor. Ejekan
mengenai orang Betawi yang hanya pandai berjualan buah, kusir delman, dan supir
terhapus sudah ketika banyak sekali orang Betawi menjadi cendekiawan, negarawan,
pejabat tingkat kelurahan hingga tingkat nasional. Begitu banyak bidang yang
mereka kuasai.
“Kelemahan”
lain yang masih hidup di kalangan tertentu bahwa keluarga Betawi hanya “jago
kandang”, tak mau merantau, juga sudah terkikis dengan banyaknya generasi
mudanya yang bekerja di luar daerah. Memang, sebagai “orang Melayu di Pantura
Jawa” mereka sangat menyayangi keluarga besarnya. Mereka senang melakukan apa
saja bersama-sama, saling dukung, saling menolong di antara mereka,
gotong-royong. Kalau masih ada yang terpengaruh stigma lama seperti disebutkan
sebelumnya, berarti menafikan jerih-payah pemerintah selama ini guna
meningkatkan taraf pendidikan rakyat.
Satu
lagi hal yang cukup mengganggu, ada orang luar yang tidak mampu membedakan
antara “orang Jakarta’ dan “orang Betawi”, hanya karena keduanya sering memakai
dialek yang sama. Padahal banyak perbedaan adat-istiadat, filosofi,
tingkah-laku, kehidupan sosial mereka yang berbeda. Betawi memiliki budaya
sendiri setinggi suku-suku lainnya di Nusantara. Perbedaan antara dua kelompok
ini sering tidak disadari orang luar hanya karena mereka sama-sama memiliki KTP
DKI Jakarta, berbicara memakai dialek yang sama, dan lahir di ibukota negeri
ini. Distingsi keduanya hanya dapat terasa bila kita hidup intensif di kalangan
mereka.
Eksistensi Betawi masa lalu
dan kini
Sekelompok
anak muda Betawi mampu menunjukkan bahwa “orang Betawi” bukanlah apa yang
digambarkan dongeng-dongeng stereotipe. Mereka lewat Yayasan Betawi Center dan
Penerbit Padasan, berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi “orang Betawi”
dan orang Betawi “baru”, yang cerdas, bersemangat tinggi dan gigih sama seperti
suku-suku lain. Setelah sukses menerbitkan buku Kembang Goyang, yang mampu menarik perhatian stasiun TV nasional
untuk mewawancarai penerbitnya, mereka juga menerbitkan sejumlah buku bermutu.
Satu lagi yang mereka suguhkan ke publik nasional dan internasional adalah
sebuah jurnal sosial-budaya Betawi yang mereka beri nama Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies
(Dari Batavia sampai Jakarta). Jurnal ini berisi berbagai artikel, sesai
dan karya tulis lain mengenai Betawi kontemporer terentang dari sejak kota ini
bernama Batavia hingga Jakarta sekarang ini. Sebuah usaha keras untuk
mengenalkan satu generasi baru “orang Betawi”, yang kritis, obyektif, dan
terbuka dan mampu menjawab serentetan pertanyaan dan tantangan jamannya.
Tidak
mengherankan bila sejumlah perpustakaan dalam dan luar negeri menjadikan jurnal
ini koleksi mereka guna memungkinkan berbagai pihak mengadakan studi lanjut.
Bahkan Prof. Dr. Wahyu Wibowo dari FIB Univ. Indonesia mengatakan dalam
pengantarnya, “…suatu kebudayaan tanpa pengawalan
penulisan jurnal, diandaikan akan mematikan nilai-nilai kebudayaan tersebut.”
Dr. Wahyu
Wibowo menyatakan hal ini harus dianggap penting, mengingat eksistensi Stamboel akan kian mantap justru sebagai
wadah percurahan pemikiran kalangan akademik yang bergerak di lapangan
kebudayaan Betawi, baik mereka yang berasal dari kalangan Betawi sendiri maupun
yang berasal dari perguruan tinggi
Sebagaimana
visi yang diharapkan, yakni sebagai ”wadah percurahan hasil penelitian
kebudayaan Betawi dan sekaligus wadah ekspresi seni dan budaya Betawi”, Stamboel
memang diharapkan menampilkan diri sebagai sosok kuat pengawal kebudayaan
Betawi. Tentu saja harapan ini mudah dipahami, mengingat penelitian dan hasil
ekspresi seni dan budaya Betawi tersebut mewujud sebagai ”rekaman” karena
ditulis. ”Rekaman” ini pada akhirnya akan menjelma sebagai dokumentasi yang
dapat dijadikan rujukan oleh generasi muda Betawi dalam berkehidupannya, atau
kalangan lain yang menaruh perhatian pada luasnya Dunia Betawi. Ingatlah,
bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki budaya tulis-menulis. Semoga
saja.
Akhirnya,
Stamboel harus dipandang sebagai sumbangan kaum muda Betawi maju yang ingin
mengekspresikan eksistensi Betawi baik di masa lalu maupun tentu saja masa
kini. Tentu saja mereka akan menghadapi banyak tantangan dan justru inilah daya
tarik si jurnal.
Sebuah
jurnal yang “wajib” dibaca dan diikuti terus oleh para pengamat-pemerhati
seni-budaya, khususnya Betawi yang termasuk jarang.
Komentar
Posting Komentar