Tak
dapat disangkal, Jakarta memerlukan sarana angkutan massal, Mass Rapid Transportation (MRT), guna
meringankan beban kepadatan lalulintas di jalan raya. Mantan Gubernur DKI
Jakarta Fauzi Bowo sudah menandatangani pembangunan MRT tersebut. Jalur MRT
dari Lebak Bulus hingga Dukuh Atas berada di atas (elevated) sedangkan jalur
dari Dukuh Atas hingga Kampung Bandan berada di bawah tanah (subway).
Jalur
terowongan ini akan melewati bawah Sungai Kalibesar di Kota Tua Jakarta, kemudian
berbelok ke arah timur di dekat Menara Syahbandar, Museum Bahari, menuju ke
Kampung Bandan. Rencana ini dibuat oleh badan kerjasama internasional Jepang
dan tengah dipelajari oleh Pemprov DKI Jakarta. Malahan dikabarkan PT KAI sudah
menyiapkan stasiun Kampung Bandan.
Sejumlah
konservasionis, pemerhati masalah pelestarian Kota Tua Jakarta, mengingatkan
agar pembangunan terowongan MRT tidak membahayakan kelestarian bangunan tua
berusia ratusan tahun di wilayah Kota Tua. Mereka mengkhawatirkan getaran tanah
dari terowongan akan akan merusak bangunan kuno yang berstruktur bata merah.
Apalagi sifat tanah di Jakarta Kota adalah lunak berbeda dengan Eropa daratan.
Bahkan di daerah itu, getaran kereta bawah tanah masih bisa dirasakan dari
permukaan tanah.
Museum Sejarah Jakarta (MSJ) bekas gedung Balaikota VOC (Stadhuis) selesai dipugar tahun 1974. Gedung ini menjadi ikon Kota Tua Jakarta. (Foto: Ir. W.P. Zhong) |
Para pakar pelestaraian bangunan kuno mengingatkan
agar Pemprov DKI Jaya, PT KAI, dan instansi terkait dengan proyek itu
mengadakan penjajakan serta studi analisa dampak lingkungan yang komprehensif
agar pembangunan MRT tidak mengganggu lingkungan Kota Tua. Peringatan itu
mengemuka dalam “Workshop Konservasi Bangunan Struktur Bata” yang
diselenggarakan oleh Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, di
Gedung Candranaya, Jakarta Kota, pertengahan Oktober 2012.
Praktisi, pelatih senior bidang konservasi yang
berpengalaman dalam pelestarian candi Borobudur dan lain-lainnya yaitu Hubertus
Sadirin, mengatakan bahwa terowongan MRT akan dibangun 20 meter dari permukaan
tanah, sehingga diperkirakan tidak terlalu mengganggu bangunan tua. Namun ia
mengingatkan perlu studi yang mendalam dan komprehensif mengenai dampak getaran
karena struktur bangunan kuno di Kota Tua sebagian besar menggunakan bata yang
rentan getaran. Mengenai ide agar jalur
MRT dibelokkan ke timur sebelum daerah Glodok, Sadirin mengatakan, yang penting
stasion pemberhentian dapat bersambung dengan stasiun yang ada serta dekat
dengan terminal Transjakarta. “Barangkali berbelok di bawah stasiun Jakarta
Kota menuju ke Kampung Bandan tidak terlalu mengganggu bangunan tua, masih
bersinggungan dengan terminal-terminal busway serta stasiun Jakarta Kota,”
ucapnya.
Untuk kedalaman 20 meter, menurutnya masih cukup aman
bagi artefak sejarah Batavia (Jakarta), karena biasanya benda cagar budaya
semacam itu terdapat di kedalaman maksimal 10 meter. “Namun bila di kedalaman
20 meter masih terdapat artefak, maka harus dipikirkan kembali jalur di bawah
Kalibesar tersebut,” tambahnya. Ia berpendapat, pelestarian benda cagar budaya
di Kota Tua sangat penting.
Perlu diketahui, pemugaran wilayah Jakarta Kota dilaksanakan
di era Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta, dimulai tahun 1972 dan harus
rampung di tahun 1974. Ide pemugaran datang dari seorang pakar keramik UNDP (United Nations Development Programme)
asal Amerika Serikat berdarah Italia, Sergio Dello Strologo dan asistennya,
Soedarmadji (Adji) Damais. Pemugaran itu pertama dilakukan di Indonesia dan
Asia Tenggara terhadap satu kawan perkotaan yang begitu luas dan meliputi
sejumlah gedung kuno. Sejumlah ahli dari Singapura dan Malaysia datang ke
Jakarta untuk belajar mengenai pemugaran bangunan kuno tersebut.
Ratu Elizabeth II mengunjungi Stadhuis Maret 1974, didampingi Gubernur Ali Sadkin (kiri). (Foto: Ir. W.P. Zhong). |
Ir. Han Awal, arsitek sekaligus konservasionis yang
pernah menangani pemugaran Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada,
mengatakan, pembangunan MRT memang harus dilaksanakan, tapi perlu studi
mendalam bersama dinas-dinas serta institusi/lembaga yang terkait. Memang sulit
mempertimbangkan masalah teknis dengan konservasi, namun pasti bisa dicarikan
jalan keluar.
Sementara itu pakar teknik sipil dari Fak. Teknik
Universitas Indonesia, Dr. Ing. Josia Rastandi, mengatakan pembangunan
terowongan MRT di bawah Kota Tua perlu berhati-hati sebab kondisi tanah di
Jakarta yang aluvial lebih peka terhadap getaran, dibandingkan dengan struktur
tanah di Eropa yang padat. Di negara-negara itu pun getaran masih bisa dirasakan
hingga ke permukaan tanah. “Harus dicari kendalanya dulu, jangan sampai setelah
bangunan jadi, lalu muncul masalah, kita baru cari-cari penyebabnya,” katanya.
MRT a la
Bang Ali
Sebenarnya
Memorandum of Understanding (MOU)
proyek Mass Rapid Transportation (MRT) itu sudah ditandatangani sejak masa
Gubernur Ali Sadikin pada hari Selasa, 1 April 1975 (Merdeka, 2/8/1975, Hlm.2). Pada waktu itu namanya Samaja (Sistem
Angkutan Umum Massal Jakarta). Rencananya Samaja akan dibangun oleh konsorsium
swasta asing, dengan partner konsorsium dalam negeri a.l. terdiri dari PT
Lamtorogung Persada, Steady Safe, Bukaka, Bakrie, Pembangunan Jaya. Ketika itu
rute yang direncanakan berasal dari Blok M menuju ke Jakarta Kota sepanjang 14
Km, dan jalur lain sekeliling Jakarta sepanjang 480 Km. Akibat berbagai
kendala, pembangunan angkutan massal cepat itu tertunda hingga baru sekarang
dilanjutkan lagi.
Di bawah pemerintahan Gubernur DKI Jaya yang baru,
Joko Widodo, skema pembiayaan MRT ditinjau ulang guna mendapatkan efisiensi
yang tinggi.
Teks foto paling atas:
Ir. Han Awal (kiri) menjelaskan proses pemugaran Gedung Arsip Nasional, didampingi Hubertus Sadirin (tengah, bertopi).
Komentar
Posting Komentar