“Jenderal Sembako” Pimpin Perang? Ya Kalah
Oleh Adji Subela
Judul :
Perang Napoléon di Jawa 1811
Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal
Janssens
Penulis :
Jean Rocher
Pengantar :
Asvi Warman Adam
Penerjemah :
Rahayu Surtiati Hidayat
Penerbit Penerbit : Buku Kompas, PT Kompas
Media Nusantara bekerja sama dengan
Forum Jakarta-Paris
Jakarta, Agustus 2011
Jumlah halaman :
xxiii + 280
Ukuran buku :
14 cm x 21 cm
Jan Willem Janssens |
Jenderal
yang sepanjang karirnya berkutat di bidang administrasi dan logistik, tentu
gamang memimpin pasukan perang. Tapi karena ia tukang intrik dan penjilat
pantat Napopelon nomer satu (Hlm.29), pandai menyusun laporan dan pintar menggelembungkan
imej dirinya, maka kekalahan atas Inggris di Tanjung Harapan dan penyerahannya
dibalik menjadi laporan menawan dengan menutupi dan menyamarkannya. Hasilnya?
Dia justru diangkat sebagai Menteri Peperangan Kerajaan Belanda 7 Desember 1807
(Hlm. 16).
Jawa, “surga
dunia”
Ambisi
untuk berkuasa di Jawa, surga dunia yang menawarkan kekuasaan besar dan hidup
mewah terpenuhi, ketika Jan-Willem Janssens (Jean-Guillaume Janssens) si
Jenderal tersebut, diangkat menjadi Gubernur Jenderal, menggantikan Herman
Willem Daendels yang terkenal sebagai Marsekal Besi. Jabatan basah dengan
penghasilan 500.000 rijksdaalder per
tahun (Hlm.57) jelas menggoda, walaupun bakal bertemu dengan para penipu,
penjilat, dan oportunis segala warna, Eropa, Jawa, dan China (Hlm. 7). Ketika pasukan Inggris menyerang Batavia tahun
1811, kontan pasukan gabungan Prancis dan Belanda yang mewakili kekuasaan Napoléon
Bonaparte pun keok.
“Jenderal
Sembako” ini (Hlm.15) terbiasa menyusun daftar, inventaris, menghitung,
menambah dan mengurangi tapi tak mampu menyusun taktik, tak memiliki mata
seorang jenderal yang mampu dalam seperempat detik mengukur pasukan lawan,
jumlah dan jenis senjata mereka, mampu menduga keuntungan dari perbukitan,
tanjung tersembunyi, dll (Hlm.14).
Contoh
ketidakbecusan Janssens adalah begitu dinobatkan 16 Mei 1811 ia merombak sistem
pemerintahan sesuai gaya Prancis, yang dinilai Rocher agenda bukan main
(Hlm.62).
Perang
yang dilupakan
Herman Willem Daendels |
Buku
langka hingga perlu dan enak dibaca ini tulisan Jean Rocher, mantan Atase
Militer di Kedubes Prancis di Jakarta (1993-1997). Masa kekuasaan Prancis atas
Jawa 200 tahun lalu jarang diketahui generasi muda kita. Dr. Asvi Warman Adam
dalam pengantarnya di buku ini menyebutkan, perang dahsyat di Meester Cornelis (Jatinegara)
Agustus 1811 tersebut bahkan juga dilupakan orang di Eropa (xiii). Perang ini
mungkin terbesar sepanjang Abad ke-19 (xvii).
“Buku
sejarah” ini ditulis Rocher dalam gaya novel, menjadi, katakanlah, novel
sejarah, dengan gaya kocak dan “sangat Prancis”, tak hirau “kaidah-kaidah
penulisan novel yang baku”. Asvi menyebutnya New Historicism (xv). Ini menariknya. Mirip gaya penulisan New Journalism yang terkenal berkat
tulisan Truman Capote, In Cold Blood tahun
1959. Rocher mengarang kalimat-kalimat yang bahkan mungkin tak pernah diucapkan
pelaku aslinya 200 tahun lalu. Tapi bukankah sekarang ini siapa pun juga berhak
menafsirkan teks-teks?
Rocher
mendasarkan tulisannya pada jurnal kejadian antara Oktober 1810 hingga 18
September 1811, saat menyerahkan bendera Prancis yang sempat berkibar di Jawa
hanya 211 hari.
Bercerita
sambil membanyol
Buku
ini menyeritakan kronologi peristiwa besar itu dengan bumbu banyolan khas
Prancis yang bikin pembaca geli tersenyum simpul. Contohnya dialog dua prajurit
yang merayakan pengangkatannya dengan sebotol gin. “Ingat Charles. Kalau mau
hidup sampai kakek-kakek, jangan pernah minum air!” (Hlm.68). Benar-benar gendeng.
Persoalan
yang dihadapi Janssens cukup kompleks yaitu selain pasukan Inggris juga
perilaku tentara Eropa, dan penyakit Batavia. Rocher memperkirakan itu malaria.
Perlu diketahui, kolera pernah menyerang Batavia bertahun-tahun sampai J.P.
Coen tewas karenanya. Hanya etnis China yang bertahan, sebab mereka minum air
yang dididihkan lebih dahulu untuk membuat minuman teh.
Kelemahan
lain Janssens ia tak suka Daendels hingga sampai rekomendasi agar memperkuat
pertahanan di Cilicing pun diabaikannya, karena pendahulunya itu yakin Inggris
pasti mendarat di sana. Penguasa baru tak suka taktik perang, dan lebih memerhatikan
hal-hal remeh-temeh, seperti mengatur seragam baru (Hlm.88). Bahkan jenderal
yang “santun” dan “elegan” ini mengajak perwira kapal Inggris yang tertangkap
di Cilincing dalam misi pengintaian awal, untuk makan malam bersama para
jenderalnya (Hlm.90).
Menyerah
(lagi)
Sir Samuel Auchmuty |
Pasukan
Inggris di bawah Sir Samuel Auchmuty dan Kolonel Gillespie benar-benar-benar
mendarat “damai” di Cilincing Minggu, 4 Agustus 1811 (Hlm.103). Kesalahan demi
kesalahan dibuat Janssens sampai ia kabur ke Semarang lewat daerah Puncak. Sayang
Jenderal Auchmuty yang membikinnya tak bisa tidur membuntuti terus dan tiba di
kota itu 10 September 1811. Delapan hari kemudian Janssens menyerah (lagi) kepada
Inggris. Penyerahan kepada pasukan Inggris kali ini menjadi penyerahan kedua
Janssens setelah menyerahkan Tanjung Harapan, Afrika Selatan, yang strategis
tahun 1806 setelah dikalahkan Jenderal Baird (Hlm.93).
Janssens
dibawa ke Inggris, dan setelah berjanji takkan angkat senjata melawan Inggris
(!) ia direpatriasi ke Prancis. Anehnya Napoléon justru mengangkatnya sebagai
baron kekaisaran, diangkat sebagai komandan divisi militer ke-31 di Groningen,
Belanda, dan menempati berbagai kedudukan, bahkan mendapatkan jabatan Chancelier de l’Orde van
de Nederlandse Leeuw (Ksatria Singa Belanda). Peristiwa pasukannya yang
“kocar-kacir” telah dilupakan sama sekali, tulis Rocher (Epilog Hlm.274-Hlm
276).
Jean
Rocher yang lahir di Bois-Colombier, Prancis, 1 Februari 1950 ini membikin PR
pada pembaca. Di Epilog ia tak lupa menyeritakan Letnan Charles Beauchat yang
katanya menikah dengan Yati, menetap di desa tak jauh dari Semarang dan membuka
kebun teh. Apakah informasi ini benar atau karangannya sendiri, itulah yang
membikin buku ini jadi pikiran terus.
Selain
buku Jean Rocher, pada waktu hampir bersamaan terbit pula terjemahan buku
mengenai perang memalukan ini dari kacamata orang Inggris, karya Mayor William
Thorn.
Komentar
Posting Komentar