Ramai-ramai ingin berkuasa. Untuk apa?
Oleh Adji Subela
Bangsa kita ramah, murah senyum. Tapi nanti dulu. Ada kelakuan yang bikin bangsa asing (baca: Barat) menggigil ketakutan. Kalau kita berselisih, kita bernafsu menghilangkan nyawa lawan kita. Rohaniwan asal Belanda, almarhum M.A.W. Brouwer menulis, negeri ini serba aneh, sangat aneh, dan penuh rahasia. Orang selalu ketawa, selalu senyum, selalu bersenda gurau, tapi bila berselisih pendapat.....simsalabim dan hilanglah kepalamu (Kompas, 18 Januari 1971).
Kita tak kuat berbeda pendapat, atau ingin menang sendiri melulu. Kalah itu memalukan. Ini baik, cuma kalau harus menang lewat cara apa pun – halal atau haram – ini sangat tidak baik. Kita ingin menang, karena juara akan dihargai, punya hak istimewa, dihormati rakyat di mana-mana, lalu kita merasa boleh berbuat seenaknya. Nikmatnya orang berkuasa bisa mengecoh akal sehat dan akhlak. Setelah mengecap kekuasaan (politik) kita lantas kepingin nikmat lainnya. Yang paling dekat itu nikmatnya harta (halal-haram tak jadi soal). Lalu wanita (bukan istri). Belum jelas bagaimana bila yang berkuasa perempuan. Nenek moyang sudah wanti-wanti, bahwa tiga “ta” (tahta, harta, wanita) itu berbahaya, karena ketiganya taut-bertaut sama-sama mampu mengajak ke neraka.
Tapi kita selalu ingin menyoba apa peringatan tadi benar. Maka tak heran dari jaman ke jaman orang berkuasa kerap bolak-balik kejeblos ke jurang nikmat neraka dunia itu. Tak ada yang kapok. Kalau kapok, ya kapok lombok, setelah kepedasan bakal diulang lagi.
Trias politika membagi kekuasaan menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja ini, kekuasaan eksekutif dipakai untuk mengeksekusi semangat enaknya berkuasa itu. Boleh memalsu surat keputusan, menyelewengkan dana, memperkaya keluarga, dan rakyat yang akan membayar. Di yudikatif, kita boleh jual-beli perkara. Mau hukuman ringan, bebas lepas? Ada harganya. Anda boleh lari ke luar negeri, dan jangan khawatir karena utang yang Anda bawa kabur bakal dibayar rakyat. Legislatif punya modus lain. Setelah terpilih, mereka lupa sumpahnya lalu memilih siapa yang bisa diperas. Mau bikin undang-undang? Bayar dulu. Mau konversi lahan? Itu melanggar aturan, tapi pssst, psst, psst. Tahu bereslah.
Dijamin, orang berkuasa itu enak sekali, mak nyuss. Maka orientasi orang kita adalah pertama-tama mencari kekuasaan untuk menyukupi nafsu-nafsu duniawiahnya.
Kita menunggu orang berbudi yang punya orientasi untuk berkarya, menghasilkan sesuatu yang mampu menyumbang kemajuan bangsa tercinta, tak peduli nantinya berkuasa atau tidak.
Budi baik itu sudah satu kekuasaan yang tiada taranya, karena dapat melumatkan rasa jahat, dengki, dan memiliki nilai dunai akhirat yang besar.
Oleh Adji Subela
Bangsa kita ramah, murah senyum. Tapi nanti dulu. Ada kelakuan yang bikin bangsa asing (baca: Barat) menggigil ketakutan. Kalau kita berselisih, kita bernafsu menghilangkan nyawa lawan kita. Rohaniwan asal Belanda, almarhum M.A.W. Brouwer menulis, negeri ini serba aneh, sangat aneh, dan penuh rahasia. Orang selalu ketawa, selalu senyum, selalu bersenda gurau, tapi bila berselisih pendapat.....simsalabim dan hilanglah kepalamu (Kompas, 18 Januari 1971).
Kita tak kuat berbeda pendapat, atau ingin menang sendiri melulu. Kalah itu memalukan. Ini baik, cuma kalau harus menang lewat cara apa pun – halal atau haram – ini sangat tidak baik. Kita ingin menang, karena juara akan dihargai, punya hak istimewa, dihormati rakyat di mana-mana, lalu kita merasa boleh berbuat seenaknya. Nikmatnya orang berkuasa bisa mengecoh akal sehat dan akhlak. Setelah mengecap kekuasaan (politik) kita lantas kepingin nikmat lainnya. Yang paling dekat itu nikmatnya harta (halal-haram tak jadi soal). Lalu wanita (bukan istri). Belum jelas bagaimana bila yang berkuasa perempuan. Nenek moyang sudah wanti-wanti, bahwa tiga “ta” (tahta, harta, wanita) itu berbahaya, karena ketiganya taut-bertaut sama-sama mampu mengajak ke neraka.
Tapi kita selalu ingin menyoba apa peringatan tadi benar. Maka tak heran dari jaman ke jaman orang berkuasa kerap bolak-balik kejeblos ke jurang nikmat neraka dunia itu. Tak ada yang kapok. Kalau kapok, ya kapok lombok, setelah kepedasan bakal diulang lagi.
Trias politika membagi kekuasaan menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di negeri kita yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja ini, kekuasaan eksekutif dipakai untuk mengeksekusi semangat enaknya berkuasa itu. Boleh memalsu surat keputusan, menyelewengkan dana, memperkaya keluarga, dan rakyat yang akan membayar. Di yudikatif, kita boleh jual-beli perkara. Mau hukuman ringan, bebas lepas? Ada harganya. Anda boleh lari ke luar negeri, dan jangan khawatir karena utang yang Anda bawa kabur bakal dibayar rakyat. Legislatif punya modus lain. Setelah terpilih, mereka lupa sumpahnya lalu memilih siapa yang bisa diperas. Mau bikin undang-undang? Bayar dulu. Mau konversi lahan? Itu melanggar aturan, tapi pssst, psst, psst. Tahu bereslah.
Dijamin, orang berkuasa itu enak sekali, mak nyuss. Maka orientasi orang kita adalah pertama-tama mencari kekuasaan untuk menyukupi nafsu-nafsu duniawiahnya.
Kita menunggu orang berbudi yang punya orientasi untuk berkarya, menghasilkan sesuatu yang mampu menyumbang kemajuan bangsa tercinta, tak peduli nantinya berkuasa atau tidak.
Budi baik itu sudah satu kekuasaan yang tiada taranya, karena dapat melumatkan rasa jahat, dengki, dan memiliki nilai dunai akhirat yang besar.
Komentar
Posting Komentar