Langsung ke konten utama

Jam Bisu Warisan Batavia




Mantan staf Kantor Pemugaran Jakarta Kota 1972-1974,Indro Kusumowardono, memeriksa mesin jam di Museum Sejarah Jakarta, 40 tahun setelah direparasi di pebarik aslinya di London, Inggris.

            Dulu sekali, ketika Jakarta masih bernama Batavia, lonceng berdiameter 50 cm dan tingginya 75 cm itu setiap sejam setia mengingatkan warganya lewat dentangannya, mengumandang ke seluruh penjuru kota. Ia begitu setia dan ajeg berputar seolah ikut menggelindingkan bumi ke arah timur.
             Dentangan itu berasal dari tuas pemukul lonceng besar yang digantungkan di satu kubah di bagian atas atap gedung Stadhuis atau Balaikota Batavia, sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Tuas itu bergerak memukul sesuai jumlah waktu yang ditunjukkan oleh jarum besar pada piringan yang terpasang di luar.
            Jantung dari itu semua, adalah seperangkat mesin jam yang terbuat dari besi tempa serta kuningan. Mesin ini didudukkan di kerangka besi kokoh sebesar lengan orang dewasa. Di sana sepuluh cakram bergerak berputar seiring perjalanan waktu. Tenaga putaran itu berasal dari sekumparan per baja yang ditaruh di sebuah tabung logam. Sebuah engkol, juga sebesar lengan, dipakai untuk memutar per tersebut sehari sekali. Nampaknya perlu orang bertenaga raksasa untuk memutar benda tersebut.
            Belum ditemukan catatan kapan jam raksasa itu dipasang di Stadhuis, tapi ada yang memperkirakan pada Abad Ke-18. Perkiraan itu didasarkan pada keterangan yang didapat dari pabrik tersebut yang hingga tahun 1973 masih beroperasi. Perusahaan jam yang berkedudukan di London itu sampai heran sebab produknya masih utuh terdapat di ibukota Indonesia, Jakarta. Bagaimana mereka tahu?
            Ceritanya pada tahun 1972 dimulai pemugaran gedung Stadhuis yang ketika itu masih dipakai oleh Markas Kodim 0503 Jakarta Barat. Pemrakarsa pemugaran itu adalah Sergio Dello Strologo yang mengajukan proposalnya bersama asistennya, Soedarmadji “Adji” Damais kepada Gubernur DKI Ali Sadikin. Proposal itu langsung disetujui saat itu juga.
            Tahun 1973 ketika kegiatan pemugaran berlangsung, Sergio minta bantuan perusahaan penerbangan Cathay Pasific untuk membantu memperbaiki jam besar seperti yang kita ceritakan tersebut. Pabrik pembuatnya ditemukan, dan jadilah jam itu diangkut ke London, Inggris, menggunakan pesawat Cathay  Pasific. Semua biaya perbaikan juga ditanggung maskapai penerbangan tersebut. Sebagai ungkapan suka cita bahwa produknya masih ada di Indonesia, pabrik jam itu memberikan potongan biaya.

Jamnya kok “bisu”
            Akhirnya jam itu dipasang kembali ke tempatnya semula. Ketika itu kubah harus diperbaiki, tapi bahan penutupnya ternyata berbeda. Aslinya berupa lempengan timah hitam tebal yang dipasang di bagian dalam berkeliling. Selain itu, nampaknya guna menghindari terpaan hujan, bagian atas kubah juga ditutup memakai kaca oleh Belanda. Oleh Sergio lembaran timah hitamnya diganti dengan bahan sintetis. Tibalah saatnya untuk uji coba yang dihadiri oleh Gubernur Ali Sadikin.
            Sayang dentang lonceng jam itu tidak terdengar sama sekali dari luar. Padahal di dalam, suaranya keras menggema. Sergio menjelaskan, nampaknya lonceng itu pun juga tidak terdengar sejak kubah ditutup pakai kaca dan timah hitam oleh Belanda. Yang menjadi pertanyaan kapankah lonceng itu terakhir berbunyi? Sebab kelihatannya Belanda segera menutup tempat itu guna melindungi jam dari cuaca. Lantas apa gunanya kalau lonceng tidak berbunyi? Apakah mereka memandang cukup memasang piringan dan jarum jam di luar? Belum ada jawaban pasti.
            Sementara itu ketika Adji Damais menjadi Kepala Museum Sejarah Jakarta, ia mengusulkan agar jam dipindahkan ke halaman belakang museum di puncak menara besi buatan, supaya suara loncengnya terdengar. Namun hingga sekarang tidak terwujud. Pada tahun 2006 ada perusahaan Belanda yang menawarkan perbaikan jam berlonceng itu, tapi Pemprov DKI tak punya biaya. Than 2011 ada seorang WN Belanda untuk membantu memperbaiki atas biaya pribadinya, namun tidak pernah terdengar lagi hingga sekarang.
            Jam  itu kini masih “nangkring” di tempatnya, warnanya kusam, terpasang di perancah kayu jati besar-besar.
            Entah siapa yang nanti mampu membunyikannya kembali, sama seperti ratusan tahun lalu.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima