Mungkinkah
membangun satu suratkabar harian hanya dalam waktu 10 hari? Kemudian tetap
hidup berjalan kontinu? Jawabnya bisa, kalau semua bersedia “kesetanan”, kerja
keras siang dan malam, dengan semangat tempur yang serempak.
Tulisan
ini dibuat dalam rangka ikut-ikutan memperingati Hari Pers Nasional 9 Februari 2013 dan
menjelang 10 tahun saat pendirian
SKH Limboto Express,
di Kab. Gorontalo, 4
Agustus 2013.
Kenapa harus saya tulis? Karena ini pengalaman yang cukup menarik – minimal bagi
saya sendiri – serta mungkin amat jarang terjadi, di mana proses pembangunan
sebuah suratkabar harian yang kami lakukan waktu itu menyebal dari prosedur
yang umum dilakukan penerbitan yang sejenis.
Memang,
terkadang keadaanlah yang memaksa orang untuk dapat berbuat di luar nalar pada
umumnya serta di atas kemampuannya sendiri, dan terbukti kemudian tidak ada
yang tidak bisa dikerjakan selama semua tenaga, pikiran dan usaha difokuskan
kepada tujuan itu secara kompak, serempak. Memang tidak mudah, dan hanya
pertolongan Allah Yang Maha Kuasa sajalah yang mengijinkan semuanya terjadi.
Umumnya orang membangun koran harian
dengan cara bertahap, dan dengan uji coba berkali-kali sehingga mendapatkan format
yang pas.
Pertama-tama tentu merumuskan ide,
gagasan, cita-cita, visi-misi koran harian tersebut, disusul penentuan bentuk
fisik, seperti layoutnya, ukurannya, jenis hurufnya, dan sebagainya. Tidak lupa
proyeksi anggaran atau dana yang diperlukan.
Pada tahap berikutnya, atau bisa juga secara simultan, dilakukan
penentuan kriteria Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan mengawaki koran
tersebut, dimulai dari pengisian para anggota redaksi, staf administrasi
sebagai pendukung, kemudian perekrutan wartawan, serta staf pra-produksi atau para layoutmen.
Umumnya pula setelah mendapatkan
tenaga calon wartawan, mereka ini diberi kursus atau pendidikan, agar sesuai
dengan keperluan (visi-misi) koran harian tersebut. Bagi para calon wartawan
yang masih belum memiliki pengetahuan mengenai jurnalisme, maka perlu dididik,
dibimbing, atau dibina. Sedangkan bagi calon yang telah memiliki pengetahuan
jurnalisme, diarahkan kembali (re-orientasi) agar selaras dengan haluan koran
nantinya. Ini bukan pekerjaan mudah, sebab umumnya wartawan yang telah lama
bekerja dalam satu sistem atau ritme tertentu tidak mudah menyesuaikan dengan
suasana yang baru.
Melihat pekerjaan yang begitu banyak
dan panjang, maka jelas diperlukan waktu yang cukup lama guna melahirkan sebuah
koran harian yang sesuai dengan cita-cita.
Berawal dari telepon teman
Pada awal tahun 2003, penulis
mendapatkan kontrak kerja jangka pendek di Provinsi Riau. Sementara itu
menjelang akhir masa kerja saya
seorang kawan yang dahulu sama-sama bekerja untuk Harian Terbit, Sdr. Abdullah Lahay, menelepon. Ia saat itu sudah
berada di kampung halamannya di Gorontalo setelah memasuki masa pensiunnya.
Bung Abdullah Lahay
minta saya membantu dia mendirikan koran harian di kota itu, milik
Pemkab Gorontalo.
Pada prinsipnya saya setuju tentu setelah menyelesaikan kontrak. Akan tetapi menjelang
akhir pekerjaan, dia terus menerus mendesak saya segera datang ke Gorontalo,
karena menurutnya semuanya sudah siap hingga penyediaan mesin cetaknya
segala.
Pada akhir bulan Juli 2003 saya berangkat
juga ke provinsi yang masih baru itu. Bagi saya ini kesempatan baik untuk
mengenal lebih dekat daerah tersebut. Daerah baru tentu memerlukan
perangkat-perangkat baru, dengan demikian akan ada dinamika yang menarik di
sana.
Salah
satu semangat yang mendorong saya untuk menyanggupinya adalah mereka sudah punya
mesin percetakannya sendiri,dan personelnya (saya kira) sudah siap. Apalagi?
Saya amat yakin pada awalnya namun kemudian “lemas” ketika menghadapi kenyataan
sesungguhnya.
Pada
hari pertama, setelah mendarat di Gorontalo, saya minta Bung Abdullah Lahay dan
Bung Dani Kairupan untuk melihat mesin cetak mereka. Kantor calon suratkabar
ini terletak di Jalan Ade Irma Suryani Nasution, Limboto, hanya beberapa ayun
langkah dari kantor Kabupaten Gorontalo. Saya temukan seperangkat mesin cetak offset lembaran (sheet) dan bukan mesin cetak offset
rol sebagaimana lazimnya bagi koran harian. Saya tanya Pak Suwarno,
operatornya, berapa kapasitas mesin ini per jam. Dia bilang antara 3.000 hingga
4.000 exemplar per jam. Saya mendadak lemas, sebab Bung Abdullah bilang pada
saya koran itu nanti bertiras 10.000 per hari, 12 halaman, mana berwarna lagi!
Artinya untuk mencetak saja memerlukan waktu lebih dari dua jam untuk satu
muka, dan untuk dua muka berarti lipat dua lamanya. Itu pun jika prosesnya lancar-lancar
saja. “Matik aku!” teriak saya dalam hati.
“Modarrrr…”
Kalau
koran ini muncul ke pasar pukul 05.00 pagi berarti proses cetak harus dimulai
pukul 24.00 tanpa tawar menawar, itu pun kalau tak ada problem. Lantas deadline untuk layout harus pukul 23.30,
dan deadline berita dari redaksi mau
tak mau pukul 21.00. Apa mungkin? Bisa saja, tekad saya.
Saya tengok kantor redaksi masih melompong
lebar-lebar, belum ada perkakas apa pun juga. Okelah, bisa sembari berjalan.
Saya tanya apakah semua ijin sudah ada, Bung Lahay dan Bung Dani serempak
mengiyakan.
“Sip,” kata saya, “sudah ada wartawan? Redaksi?”
“Belum semua,” jawab mereka nyaris serentak. Baiklah.
“Pernah ada rekrutmen calon wartawan?” tanya saya.
“Ada, beberapa mahasiswa Universitas Gorontalo pernah
mengikuti kursus dasar jurnalisme singkat oleh salah seorang pengurus PWI Pusat
waktu itu, Pak E. Subekti.”
“Berapa hari?” lanjut saya. “Hanya beberapa hari
saja.”
Matik aku. Itu artinya saya harus merekrut wartawan
sekaligus redaksi, staf redaksi dan tata usaha sekaligus. Okelah, ini
tantangan.
Sekitar tiga hari saya menikmati pemandangan Gorontalo
serta kulinernya yang khas. Pada saat yang bersamaan, persiapan terus digesakan.
Pada hari keempat, datang berita seperti geledek tanpa hujan tanpa mendung.
Bung Lahay bilang, koran harian itu harus terbit tanggal 4 Agustus 2003,
tepatnya hari Senin.
“Modarrrrr…,” teriak saya spontan. Masalahnya terbitnya
si koran harian tinggal 11 hari dari hari itu.
“Tolong sampaikan pada Pemkab bahwa membangun koran
harian tidak segampang itu, tidak secepat itu, Anda ‘kan paham?” kata saya.
“Sudah, saya berkali-kali menjelaskan, tapi pak Bupati mengharuskan terbit hari
itu,” jawab Bung Lahay.
“Oke, kita menghadap Sekda sekarang, ini harus
dijelaskan,” kata saya. Pendirian suratkabar harian ini di bawah koordinasi
Sekretaris Derah Kabupaten Gorontalo.
“Beliau sibuk sekali, sudah saya coba,” jawabnya.
Saya mendesak, hari itu juga harus bertemu Pak Sekda
yang waktu itu dijabat Pak David Bobihoe, yang hingga 2013 menjabat Bupati Kab.
Gorontalo. Tidak bisa tidak, kalau kepingin terbit 4 Agustus 2013 nanti.
Akhirnya kami bertemu dengan Sekda, didampingi Kepala
Dinas Ekonomi Hamzah Yusuf, bagian keuangan dan bagian umum. Kebetulan Pak
David pernah memangku tugas di bagian humas Provinsi Minahasa sehingga mengerti
kesulitan saya.”Pak ini benar-benar permintaan abnormal, karena bapak tahu guna
membangun koran harian memerlukan waktu berbulan-bulan, saya minta dukungan
penuh Pemkab. Kalau tidak, percuma saya ke sini, lebih baik pulang ke Jakarta,”
tutur saya. Jelas ini kalimat kasar kepada pejabat, tapi saya tak punya
lainnya.
Saya menuntut segera diadakan 14 unit komputer untuk
reporter, empat untuk redaksi, tiga untuk tata muka (layout) dalam tempo lima hari.
“Untuk pertama apa tidak bisa empat unit dulu pak?”
tanya pak David.
“Mohon maaf pak, kalau waktunya sebulan saja, saya
bisa menyanggupi, tapi karena ini10 hari, mohon diadakan, tidak peduli dari
mana asalnya, boleh pinjam dahulu,” jawab saya.
Saya juga menuntut agar pada hari H-4 mesin harus sudah
bisa berputar penuh, sebab ternyata mesin ini masih baru hingga perlu dirakit
secara sempurna kembali sementara aliran listrik belum terhubung. Mungkin ada
sederet tuntutan lainnya, saya sudah lupa karena kepala langsung terasa pening
seperti anak SD minum tuak Cap Tikus.
Petang hari kami bertiga berunding disertai seorang
calon sekretaris yaitu Bu Anti Karyawanti Samad. Dia lulusan sebuah PTN di
Makassar, dan aktivis kampus. Maka semangatnya sungguh luar biasa, tahan
banting, siap bekerja siang-malam meninggalkan dua putra dan suaminya di rumah.
Untung ada Bu Anti! Dengan dia saya bisa bekerja cepat, segala keperluan dapat
ditanganinya, walaupun sering tersendat, karena harus sesuai proses birokrasi.
Dalam pertemuan dengan Sekda, saya sudah mendesak agar proses birokrasi
dikesampingkan dulu karena ini keadaan “super darurat”.
Rekrut
para “pemberontak”
Saya tanya Bung Abdullah Lahay, apakah kenal dengan
para aktivis kampus Univ. Gorontalo (UN), kalau bisa yang “badung”, “agresif”,
dan “sulit”. Tentu saja ini rekrutmen “ajaib”, tapi bagi saya perlu untuk
proyek “gila-gilaan” ini. Kami memerlukan anak-anak muda yang siap “kesetanan”,
bukan tipe anak muda kantoran berpakaian necis dan wangi. Maka lewat Bu Anti
yang suaminya dosen universitas itu terkumpullah 10 mahasiswa, aktivis kampus,
tukang demo yang rajin, termasuk mendemo Pemkab Gorontalo sendiri. Nah, lho!
Biar saja, saya perlu pemuda-pemuda aktivis, “pemberontak” semacam ini.
Sebagian dari mereka telah mengikuti kursus dasar jurnalistiknya Pak Subekti,
sebagian tidak.
Sudahlah, tugas saya selama lima hari berikutnya
adalah menggembleng “anak-anak badung” ini menjadi wartawan profesional. Memang
gila, tapi saya tak punya cara lain. Dari kesepuluh mahasiswa itu hanya seorang
mahasiswi yang ikut, kelihatannya dia dari spesies tahan banting dan gemar
bertualang pula.
“Pendidikan super kilat” itu berlangsung dari pukul
10.00 hingga petang, hari, malahan sering hingga malam hari. Sistem pendidikan yang
“saya ciptakan saat itu” juga, jangan-jangan belum pernah ada baik dari pengalaman
atau buku-buku di mana pun, termasuk buku di sekolah komunikasi massa dan
pengalaman wartawan jempolan dunia. Cihui. Saya dipaksa untuk menjadi “jenius”
dadakan karena tuntutan keadaan.Biasanya saya adalah pria tolol.
Redaktur
datang, satu!
Untungnya, dua hari kemudian datanglah calon
redakturnya, yaitu Lili Supaeli dari Jakarta. Ia tak banyak bicara, lugu, tapi
pekerja tak pernah lelah dan tak pernah mengeluh. Saya gembira, paling tidak
ada teman berdebat habis-habisan dengan dua orang rekan lokal sebelumnya.
Kesepuluh “patriot” karbitan itu saya gembleng sampai termehek-mehek untuk menjadi wartawan klas Jakarta! Dan Bu Anti
mendukung terus logistik dan keperluan administratif kami, dan ia sering
berdebat keras dengan para pejabat setempat untuk menggoalkan tuntutan saya.
Saya pun minta Bung Dani Kairupan untuk mencarikan
tiga orang operator komputer yang menguasai Pagemaker sebagai layoutmen. Disanggupi, dan
mendapatkannya dua hari kemudian! Terimakasih ya Tuhan. Nantinya saya akan
terkejut dan pusing setengah mati dengan para layoutmen ini.
Pada sore seusai kursus “semi militer” itu saya
bekerja dengan Kang Lili hingga esok paginya menyiapkan artikel-artikel,
laporan jurnalistik di kantor yang sudah punya dua komptuter baru. Kami
menginap di kantor, tidur beralaskan kertas dan koran bekas. Ini sudah biasa
kami alami. Setiap pagi Bung Lahay membawakan sarapan berupa nasi kuning,
secara kontinu, konsisten tidak pernah berubah! Hingga H-3 sudah ada 14 unit
komputer.tersedia, entah dipinjam dari mana masa bodoh amat. Sehari kemudian
komputer layout sudah tiba sebanyak
tiga unit dan saya minta para operator untuk mengetestnya.
Saya pun harus mengurusi mesin cetak. Saya tanya Pak
Suwarno mengenai ukuran kertas dan ukuran muka cetaknya. Ia menyebutkan ukuran
tertentu, yaitu sama dengan tabloid umumnya. Hal itu saya sampaikan pada layoutmen, agar mereka menyesuaikannya.
Para cawar (calon wartawan) sementara itu sudah saya oprak-oprak untuk turun ke lapangan
sesuai tugas yang telah kami tentukan, lantas setibanya di kantor saya “paksa’
menuliskan laporannya. Pak Abdullah ikut kebagian pusing menuliskan kembali
tulisan yang tidak jelas itu menjadi layak baca untuk “manusia umumnya” dan
layak muat. Kang Lili terus mengungkungi komputernya mengejar target untuk
laporan-laporan, artikel pengisi halaman, dsb, dan saya kesetanan sendiri
antara menulis di komputer saya, mengecek wartawan, komputer layout, mesin cetak, dan Bu Anti yang
mondar-mandir, pontang-panting termasuk merangkap sebagai pelayan pembuat
minuman air teh. Kami belum punya tenaga pembantu kantor.. Tenaga tambahan kemudian
muncul yaitu Rice Bobihoe, yang membantu Bu Anti sedapat-dapatnya. Kemudian
saya harus berkoordinasi dengan Bung Dani untuk mengira-ngira ruangan iklan,
dsb.
Redaktur lainnya kemudian tiba yaitu Ibrahim Adji. Dia
sejenis manusia yang tahan banting, tak banyak bicara tapi suka humor dan
bekerja nyaris seperti mesin buatan Jerman. Kontan ia pun langsung terlibat
“huru-hara” kerja “gila” ini. Kami semuanya – tanpa pilih-pilih – hampir kesetanan,
tidak ada yang tidak.
Kiamat
betulan, bukan hampir!
Akhirnya
kiamat pun tiba terlalu cepat bagi saya. Hari itu adalah Minggu tanggal 3
Agustus 2003, artinya esok hari pukul 07.00 koran yang oleh Bung Abdullah dan
Pemkab Gorontalo dinamai Limboto Express,
harus sudah bisa disuguhkan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi (d/h
Deppen) Safii Muarif yang akan meninjau Kab. Gorontalo, diterima di kantor
Kabupaten oleh Bupati Pakaya, dan lalu akan diantar menyaksikan acara akbar, yaitu
pembukaan kantor dan peresmian terbitnya
SKH Limboto Express. Artinya koran
harus sudah jadi pukul 07.00 tanggal 4 Agustus, esok pagi.
Redaktur
baru akan tiba esoknya juga, yaitu Ken Nagasi, yang sudah saya kenal ketika ia
menangani mingguan di Cirebon, Jabar. Ia sejenis manusia trampil, serba bisa,
dan lebih cenderung sebagai seniman ketimbang wartawan. Satu kejadian lucu,
yaitu ketika masih di dalam pesawat, bersama Pak Menteri, ia berinisiatif
mewawancarainya. Sayangnya ia lupa nama harian itu dan menyebutnya sebagai Libido Express. Pak Menteri tentu
terperanjat, tapi langsung mahfum dan melayaninya. Sebelumnya kami sudah
mengirim pertanyaan kepada menteri agar pada penerbitan perdana berita tentang
beliau sudah ada.
Saya
katakan tadi bahwa hari Minggu malam itu sebagai kiamat, sebab ternyata saya
baru tahu kalau dua di antara tiga layoutmen
ternyata belum menguasai programnya, bahkan belum lama kenal komputer. Waktu
saya tengok, teks berita meloncat-loncat, bergeser-geser di layar monitor
seperti sebuah atraksi video game! Ampun, mak! Saya tentu senewen dan
marah-marah pada Bung Dani. Saya minta “kepala” layout untuk bertanggung jawab. Tak ada waktu belajar lagi, tapi
langsung bekerja untuk koran perdana esok hari! Dia sanggup. Okelah, tapi hati jadi
kebat-kebit.
Masalah
kedua muncul, ketika Pak Warno terengah-engah dengan beribu-ribu permohonan maaf
yang mungkin baru dikatakan sekali itu dalam hidupnya, meluncur dari mulutnya
bahwa format yang sudah disampaikan itu keliru! Ya, Allah ya Tuhanku! Kenapa
tidak mengatakannya dari kemarin? Sangking kesalnya saya menendang kursi lipat yang
masih baru hingga terpental. Tambahan lagi asistennya belum menguasai mesin
itu, bahkan belum bisa mengocok kertas agar tidak lengket. Saya minta Pak Warno
menggembleng anak buahnya dalam tempo semalam. Pendek kata semua persoalan
besar, mendasar harus selesai dalam waktu semalam, persis seperti legenda rakyat
Jawa Tengah mengenai pembangunan candi seribu dalam tempo semalam. Semua orang
waktu itu dituntut menjadi Raden Bandung Bondowoso untuk menyelesaikan tugas
berat dalam tempo kurang dari semalam.
Masalah
berikutnya yang menambah senewen, ternyata mereka tidak punya mesin pelipat
kertas, sehingga harus pakai “peralatan anugerah Tuhan yang serba guna” yaitu
tangan. Tapi bagaimana merekrut orang pagi-pagi buta nanti? Kepala Dinas
Ekonomi ikut sibuk menangani mesin, yang aliran listriknya baru menyala pagi
harinya! Asyik betul semua kehebohan itu, tapi tak ada waktu untuk protes,
merenung, menganalisi, berdebat. Semua harus kerja apa pun itu bentuknya.
“Kita
pikirkan besok”
Mendadak
kepala saya pusing sekali. Saya keluar, berjalan-jalan malam-malam di alun-alun
di depan kantor kabupaten. Di masa itu di sana masih sepi sekali, hanya ada
satu gerobak penjual rokok. Saya berjalan mondar-mandir, berdoa mohon ampun
kepada Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan saya selama ini sehingga
mendapat pekerjaan tersebut. Belum lagi ada “pencerahan” tiba-tiba saya bertemu
pria yang berjalan menunduk. Ternyata dia Pak Warno yang juga pusing
berjalan-jalan cari angin. Dari mulutnya keluar bau bir!
Di
kantor, Bung Abdullah, Ken Nagasi, Lili Supaeli, Ibrahim Adji, Bung Dani dan
semuanya juga pasti kesetanan bekerja luar biasa dahsyat.
Ketika
saya kembali ke kantor, jam menunjukkan kira-kria pukul 22.00. Ternyata di sana
sudah ada Sekda yang dari raut wajahnya tidak bisa dipungkiri, ikut tegang.
Barangkali, beliau telah mendapatkan informasi awal dari Bung Abdullah.
Saya
datang, dan langsung disambut Sekda, Pak Daivid Bobihoe tersebut.
“Bagaimana
pak?” tanyanya dengan terbata-bata. Keadaan di kantor waktu itu luar biasa
sibuk, centang-perenang.
“Saya
konsentrasi agar besok aman, bisa terbit tepat waktunya, Pak,” jawab saya.
“Bagaimana
esoknya lagi? Bisa terus terbit?” sambungnya.
“Akan
saya pikirkan besok pak,” jawab saya dengan sekenanya mengandung nada fals,
kebingungan.
Sekda
mengangguk-angguk tapi jelas terbaca kecemasannya, tak bisa disembunyikan oleh
senyumnya. “Besok saya pastikan terbit pak, pagi-pagi, tapi kami tidak punya
tenaga pelipat kertas. Kita tak punya mesin lipat pak, jadi harus manual.”
Pak
David mengangguk-angguk dan tak lama kemudian meninggalkan kantor. Tanpa
dukungan penuh tokoh ini, kiranya Limboto
Express belum bisa terbit Senin, 4 Agustus 2003.. Saya tahu kemudian
sebagai project officer beliau
bekerja luar biasa guna memenuhi tuntutan kami.
Saya masuk ke ruang wartawan sembari berteriak:
“Hai..prajuritttt, gimana? Masih mau bertempur?” Teriakan saya belum ada yang
menjawab, semuanya tenggelam dalam rasa yang sulit digambarkan. “Gimana
kawan-kawan? Masih sanggup maju terus?” ulang saya. Beberapa calon wartawan
yang sangat energik menjawab : “Siap bosss.. maju terus!” Beberapa di antaranya
diam, menatap monitor komputer dengan tegang, beberapa di antaranya
berkeringat. Entah kenapa.
Tahan
dulu! Tahan dulu!
Maka
“neraka yang sebenarnya” pun tiba. Pagi-pagi buta kami ramai-ramai berkutat di
mesin cetak, semua berita sudah masuk, walaupun terlambat, tapi sudah jadi
plat. Maka plat-plat itu dipasang dan mesin dinyalakan. Mogok! Putar sana putar
sini, periksa sana periksa sini, sampai Pak Hamzah Yusuf pun turun tangan hanya
berkaos kutang, tangan Pak Warno berlepotan, maka mesin pun berputar juga
akhirnya. Hingga pukul 06.00 pagi saat para karyawan Kabupaten sibuk menata tempat
upacara, koran belum kelar semua. Saya lihat sejumlah PNS sibuk melipat kertas
koran yang selesai dicetak bolak-balik. Mereka baru mendapatkan ketrampilan
melipat pagi itu juga dari seorang teman. Agar segala “huru-hara” di dalam
kantor tidak nampak dari luar, maka semua jendela yang menghadap ke tempat upacara
kami tutup rapat-rapat.
Pukul
06.00 diberitakan pesawat Menteri telah mendarat dan segera ke kabupaten. Semua
sibuk, terlebih-lebih kami karena ditambah ketegangan tak terkira-kira.
Singkatnya acara sudah dimulai, Menteri sudah hadir, begitu pula Gubernur
Gorontalo waktu itu Ir. Fadel Muhammad, Bupati Gorontalo dan pejabat penting
lainnya.
Saya
segera membisiki ketua panitia dan pembawa acara, seorang ibu-ibu yang bersuara
merdu, agar mengulur waktu seperlunya menunggu koran rampung. Mereka mengerti
dan menjalankan pesan saya dengan sangat sempurna. Mungkin acara penting itu
agak terulur waktunya dari jadual seharusnya, tapi semuanya berjalan lancar,
gembira.
Akhirnya!
Hingga
pukul 07.00 lebih sedikit, beberapa belas koran telah rampung dicetak dan
dilipat, maka segera kami bagikan kepada tamu dan hadirin, terutama untuk Pak
Menteri. Untuk beliaulah kami selama ini semuanya jungkir balik dengan beban
stress tinggi!
Saya
lihat dari jauh, Pak Menteri mengangguk-angguk, membaca edisi perdana SKH Limboto Express, dalam sajian empat
warna di halaman 1 dan 12 didampingi Bupati Gorontalo. Sekilas Pak Sekda
melihat kepada saya sambil mengacungkan jempolnya..Saya pun membalasnya.
Saya
tidak dapat mengikuti seluruh acaranya, karena langsung jatuh terduduk di
kantor kelelahan sekaligus puas bahwa hari itu kami semuanya, tanpa pandang
bulu, baik unsur Pemkab, redaksi, tata usaha, produksi, dan lain-lainnya,
berhasil menerbitkan sebuah suratkabar harian baru lewat cara-cara yang tidak
biasa. Limboto Express telah kami
lahirkan secara sesar, tapi berhasil.
Sementara
itu mesin cetak terus menderu-deru meneruskan pekerjaan perdananya di Limboto.
Secangkir teh manis saya teguk dengan rasa puas, seolah lepas dari beban
berton-ton di pundak dan kepala. Entah ke mana teman-teman lainnya, saya
tertidur di kursi.
Terus
Pak!
Petang
harinya kami bekerja keras lagi, memikirkan apa yang harus kami sajikan
esoknya. Pak David rupanya kaget juga pada hari kedua kami terbit terus
walaupun muncul kesiangan karena memang kami masih bayi berusia 10 hari.
Alhamdulillah, sejak tanggal 4 Agustus 2003 itu Limboto Express hidup terus sampai saya meninggalkan Gorontalo
empat bulan kemudian. Ia tetap hidup terus tutup dua tahun kemudian karena
berbagai sebab.
Profesional?
Lama
setelah pengalaman di Gorontalo itu, saya bertemu dengan salah seorang mantan karyawatinya
yang baru masuk bekerja sepeninggal saya. Saya mendapatkan cerita menarik
mengenai apa yang kami kerjakan waktu itu, terutama saya, si bawel, tukang goprak.
Rupanya,
para wartawan muda itu mengeluh selama saya pimpin, menggerutu namun tidak
berani mengatakannya di hadapan saya.
“Pak
Adji Subela itu orangnya keras,” kata seorang di antaranya. Mereka bercerita
bagaimana cara saya memimpin selama empat bulan. Sering, kata mereka, dia
(maksudnya saya) menendang pintu bila terlambat, atau berteriak-teriak. Tapi
katanya, saya pun ramah setelah lepas dari pekerjaan dan suka bercanda-ria.
“Kami
dipaksa untuk menjadi wartawan profesional. Mana mungkin kami ‘kan masih baru
semua,” keluh seorang di antaranya.
Saya
tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Saya tahu betul kalau dinilai mereka punya
kemampuan rata-rata katakanlah, 10 poin. Kalau mereka saya dorong dengan
kapasitas bernilai 10 juga, maka paling-paling mereka muncul dengan hasil 7
atau 8 saja. Maka saya geber mereka dengan
kapasitas 15, maka rata-rata mereka mampu mencapai nilai 10 bahkan ada yang lebih.
Beberapa di antara mereka menunjukkan kemajuan fantastik, lebih dari yang kami
harapkan semula. Kami para redaktur mengajarkan mereka untuk menulis dengan
teknik jurnalisme dan bahasa Indonesia standard, serta memegang teguh kode ethik
jurnalistik.
Setelah Limboto
Express berhenti terbit, mereka berpencar dan mendapatkan pekerjaaan sesuai
dengan kemampuannya.Mereka memang pemuda yang tangguh, sesuai dengan
predikatnya dahulu sebagai aktivis kampus.(Adji Subela)
mantap pak...sayang bubar. resiko lahir prematur...mungkin karena orang tuanya tidak paham penanganan kelahiran prematur hehhehe
BalasHapusItulah pak, hasil operasi sesar... hehehehe... tapi saya betul-2 terimakasih pada Bu Anti. Luar biasa dia itu, tahan banting !!
BalasHapus