Langsung ke konten utama

"Salah" Habibie Soal Timtim



       


    BUKU



Judul                            : Timor Timur, The Untold Story
Penulis                         : Letjen TNI (Purn.) Kiki Syahnakri
Penerbit                        : PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, Januari 2013
                                      Jl. Palmerah Selatan 26-28, Jakarta 10270
Editor                            : Rikard Mosa Dae, Valens Daki-Soo
Prolog                           : Letjen TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo; Jendral TNI (Purn.) Wiranto; Dubes F.X.   Lopez da Cruz
Epilog                           : PM Timor Leste Xanana Gusmao; Mgr. Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB               
Jumlah halaman                        : xliv + 436 halaman
Ukuran buku                  : 15 cm x 23 cm

            Timor Timur lepas dari tangan Indonesia 12 tahun lalu, setelah kita pertahankan dengan biaya tinggi berupa darah, nyawa, dari para prajurit ABRI (TNI-Polri), para pejuang pro-integrasi, penduduk yang tak berdosa, dan finansial yang tak terhitung. Ketika referendum ditawarkan oleh Presiden B.J. Habibie tahun 1999, kebijakan tersebut bagai petir di siang hari bolong. Masalahnya ketika itu para pejabat sipil-militer di provinsi ke 27 RI (ketika itu) sedang mengajukan opsi otonomi khusus. Pilihan itu terbukti mampu menurunkan tensi ketegangan di Timtim, bahkan sejumlah tokoh pro-kemerdekaan tertarik pada pilihan tersebut. Gereja Katolik pun menyambut baik.
            Harapan itu sirna dan Indonesia justru sangat terbebani oleh tugas penyelenggaraan referendum dengan segala akibatnya, selagi PBB tidak diikutkan menanggung risiko akiabt pergolakan kedua belah pihak yang berseberangan di Timtim.
            Letjen TNI (Purn.) Kiki Syahnakri, terakhir menjabat sebagai Wakil KASAD, menuliskan segala pengalamannya selama 13 tahun bertugas di Timor Timor. Buku berjudul Timor Timor The Untold Story, merupakan salah satu buku penting mengenai sejarah Timtim sejak  masa Portugal meninggalkan daerah itu dalam perang saudara hingga mencapai kemerdekaan akibat referendum yang “menyakitkan” itu. Kiki Syahnakri pantas menulis buku ini sebab sejak awal karirnya sebagai arbituren Akabri Angkatan 71, ditugaskan di daerah NTT, khususnya perbatasan Timor Indonesia dan Timor Portugal. Dia pula yang kemudian menutup era Timor Timur di bawah kekuasaan Indonesia, dan menanggung segala konsekuensi akibat referendum. Ia “berkeringat” dan “berdarah-darah” bertugas di wilayah itu kendati ia menemukan kehidupan berkeluarganya yang bahagia dengan menikahi gadis lokal, Ratnaningsih, yang berayah Jawa dan beribu Timor.
            Kiki Syahnakri mengaku, pengalaman selama 13 tahun di Timtim telah mengukir karir kemiliterannya, membikin matang sebagai seorang prajurit. Ia, yang di masa konflik harus berhadapan dengan Xanana Gusmao, Taur Matan Ruak, dkk, di masa Timor Leste Kiki justru bersahabat dengan mereka dengan semangat menghargai sebagai prajurit yang menjalankan tugas masing-masing. Xanana Gusmao menuliskannya dalam epilog buku tersebut.
            Ada tiga kesalahan utama yang dilakukan Habibie dalam mengumumkan referendum, menurutnya, pertama terlalu buru-buru ketika kedua belah pihak belum siap menerima kekalahan, ketegangan di wilayah itu masih tinggi, apalagi kemudian 30.000 orang pengungsi Timtim di wilayah RI tidak diberi hak suara. Kedua, alangkah bodohnya ketika banyak LSM dari LN, dan sejumlah pemerintah Barat (seperti AS dan Australia) tengah mengritik Indonesia, tapi justru kita menerima tugas dan tanggung jawab mengendalikan keamanan referendum. “Mengapa tidak dari awal diserahkan saja kepada PBB?” tulis Kiki Syahnakri (Hlm. 225). Ketiga, kebijakan menetapkan keadaan darurat militer dalam suasana begitu emosional sama saja menjadi mission impossible (Hlm.225).
            Keadaan setelah referendum yang dimenangkan pro-kemerdekaan sebanyak 78% membikin Indonesia terutama TNI dan Polri-nya kalang kabut mengamankan situasi selagi rongrongan dari LN kian kuat, banyak isu negatif dilontarkan yang jelas-jelas tidak benar. Bahkan Menko Polkam SBY waktu itu ikut termakan isu bahwa ada gerakan 150 truk para pejuang pro-integrasi dari Belu untuk menyerang orang asing di Hotel Crystal, Atambua. Kenyataannya, mencari 10 truk di Belu saja sudah sulit (Hlm.298).
            Fitnah-fitnah keji terus dilancarkan baik oleh PKF, Unamet, Untaet untuk mendiskreditkan Indonesia terutama ABRI dengan tuduhan pelanggaran HAM. Sangking jengkelnya, Menhan Yuwono Sudarsono memarahi Sergio Viera de Mello dari UNTAET yang sering membuat berita bohong dan provokatif (Hlm.306).

Pelanggaran HAM?
Mengenai pelanggaran HAM, seorang intelektual asal Timor Timur, Florencio Mario Viera, menyatakan barometer pelanggaran HAM di Timtim semestinya diletakkan pada situasi masa lalu ketika Indonesia dengan dukungan luar negeri (baca: Amerika) masuk ke Timtim. Jika saja Presiden AS Gerald Ford dan Menlunya Henry Kissinger tidak berkunjung ke Jakarta menemui Presiden Soeharto, mungkin tidak secepat itu Indonesia menggerakkan pasukan gabungannya ke Dili (Hlm. 362).
Bahkan Xanana Gusmao “musuh bebuyutan” Kiki Syahnakri yang kemudian malah menjadi sahabat, menjawab tekanan petugas PBB untuk “mengurus” para jenderal Indonesia dan menyeret mereka ke pengadilan internasional dengan mengatakan kalimat cerdik. “Baik, saya akan urus mereka,” tulis Xanana Gusmao, akan tetapi sebagai jaminan keadilan, berimbang, tokoh Timor Leste itu minta mereka harus menyeret semua pihak yang telah memberi lampu hijau kepada Indonesia, semua pihak yang menjual senjata, amunisi, pesawat pembom, tank, mortir dan meriam kepada Indonesia untuk membunuhi kami. Juga semua pihak yang yang mendukung Indonesia secara moral, politik, material dengan jaminan mereka tepat, benar dan universal. (Hlm. 378).
Xanana Gusmao menambahkan, perlu reformasi mentalitas para politisi serta institusi negara adidaya untuk “menjunjung tinggi kedaulatan bangsa-bangsa entah itu besar atau kecil” (Hlm 379). Sebuah kalimat kunci yang menarik dari seorang pejuang kemerdekaan Timor Leste yang berjuang “berdarah-darah” di dalam negeri, dan bukan mereka yang “berjuang” di tempat sejuk nyaman dalam “pengungsiannya” di luar negeri yang nikmat.
Kiki Syahnakri mencatat, Indonesia dalam masa transisi peralihan Timtim yang begitu berat, dan penuh keringat, mendapatkan serangan-serangan dari unit damage control negara adidaya (baca; Amerika) untuk mendiskreditkan Indonesia dengan TNI-nya. Seorang mantan perwira Peace Keeping Force (KF) asal Singapura menuturkan pada Kiki Syahnakri, bahwa UNAMET (Misi PBB Untuk Timtim) punya unit khusus di bawah kendali divisi politiknya untuk menciptakan isu strategis dan kelancaran misinya, menutupi kecurangan, pelanggaran  prosedur personel PBB sendiri.
Mungkin unit ini berperan sebagai damage control seperti yang dimilki pasukan multinasional di Iran dan Afghanistan (Hlm. 302). Kiki Syahnakri juga mendengar informasi bahwa Amerika Serikat mengucurkan dana sebesar 400 juta dolar AS guna membiayai “perang media” melalui unit damage control semacam itu (Hlm.362.). Pantaslah kalau Indonesia, khususnya TNI, menjadi bulan-bulanan pers asing dan dalam negeri.

Kritik konstruktif
Kiki Syahnakri, setelah bergelut dan bergulat dalam konflik begitu lama dan mendalam di Timtim dan daerah perbatasannya, sampai pada beberapa kesimpulan penting untuk dipelajari, direnungkan sehingga menjadi bahan acuan utama di masa mendatang. Ia berpendapat bahwa sejak semula pemerintah Pusat tidak mengikutsertakan para ahli anthropologi, sosiologi untuk memecahkan masalah di Timtim. Seharusnya Indonesia merebut hati nurani rakyat Timtim dulu ketimbang ukuran-ukuran fisik dan kuantitas seperti berapa banyak lawan ditahan, berapa senjata direbut dan sebagainya. Prinsip operasi gerilya melawan gerilya ditinggalkan, dan pendekatan kesejahteraan tidak tepat sasaran karena tidak mengikutsertakan dan mempertimbangkan kepentingan penduduk lokal, adat istiadat, dsb (Hlm.335, 332, 340).

Pertentangan dengan Prabowo
Mantan Wakasad ini pernah bertentangan dengan Mayjen Prabowo Subianto yang menerapkan Operasi Melati dengan membuat massa tandingan di Timtim, dan hendak membangun suratkabarnya sendiri, padahal pihak Korem Timtim telah merintis cara yang lebih mempertimbangkan kondisi sosial, psikologis penduduk. Pertentangan kedua adalah dengan istri (waktu itu) Prabowo yaitu Titiek yang juga anak presiden Soeharto. Putri Soeharto itu hendak membangun pabrik semen tiga kali lipat Indocement di Cibinong, artinya bakal memerlukan 6.000 pekerja. Kiki percaya, hal itu akan mendapat tentangan warga lokal, karena jelas tenaganya akan didatangkan dari luar daerah, sementara dampak lingkungan tidak diperhitungkan (Hlm.344).
Pendek kata buku ini tepat menjadi acuan dalam mempelajari kesalahan kita di Timtim, serta kritik-kritik yang perlu diperhitungkan di masa mendatang, dari seorang yang matang di medan tempur serta teritorial, ketimbang bergualt dengan kertas-kertas.
Buku ini menarik, wajib dibaca oleh pengamat politik, pertahanan, budaya, dan sejarah.
   
           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima