Warung ikan bakar Mak Etek (Si Paman kecil) di Pasar Menara, di tengah Kota
Pontianak, Kalbar, ini sederhana saja. Tempatnya di tengah los-los pasar
seperti yang lain. Tapi ketika kita mendekati warung milik Mak Etek yang nama
aslinya Bagindo Alizar (82 tahun) ini, maka indera pertama yang terangsang
adalah bau harum ikan bakar yang dijamin menggugah selera makan. Kemudian indra
penglihatan segera menangkap kepulan asap tebal dari proses pembakaran ikan
yang dikerjakan di samping warung itu.
H. Bagindo Alizar alias Mak Etek (82). |
Warung
berukuran empat kali sepuluh meter ini dipenuhi delapan meja plastik bundar,
dengan masing-masing empat kursi. Hampir setiap saat meja-meja itu dipenuhi
pelanggan yang begitu nikmat menyantap ikan bakar, ikan gulai, gulai petai, taoge
rebus, daun ubi kayu. Suasana di warung ikan bakar Mak Etek bertambah khas
dengan teriakan pelanggan yang meminta tambah nasi atau ikan, serta teriakan
pelayan. Begitu riuh, dan berselera di tengah udara panas Pontianak yang berada
di garis khatulistiwa, kendati oleh Mak Etek di pasang tiga kipas angin
besar-besar. Ramuan antara bumbu ikan khas, kepadatan pengunjung dan
teriakan-teriakan inilah yang membuat pelanggan warung Mang Etek rindu. Bahkan
pengunjung yang datang dari kota lainnya seolah tidak puas sebelum makan di
warung ini.
Asap ikan bakar mengepul dan kuah bumbu bergolak di warung Mak Etek |
Bagi
pelanggan yang kurang suka suasana riuh rendah itu Mak Etek menyediakan rumah
makan yang berkonsep lebih formal di ruko seberang warung ini. Maka tidak
mengherankan kalau setiap harinya, warung Mak Etek menghabiskan 2 (dua) kuintal
ikan, atau 5 (lima) hingga 6 (enam) ton ikan per bulannya.
Tidak
sembarang ikan dipilih Mak Etek. Warung yang berdiri sejak tahun 1990 ini hanya
menyediakan ikan “mahal” seperti baronang, tengiri serta kakap merah. “Ini demi
kepuasan pelanggan, yaitu menikmati ikan mahal dengan bumbu yang cocok sesuai
selera mereka tapi harganya terjangkau,” kata Mak Etek. Demi menjamin mutu
dagangannya, Mak Etek tetap mendatangkan beras merk tertentu dari Jakarta
selama 16 tahun terakhir sebanyak 3 (tiga) ton per bulan. Guna menjamin
pasokan, ia membuat gudang beras di pasar Menara.
Coba-coba
lantas disuka
Pria
kelahiran Sungai Limau, Pariaman, Sumbar, ini menetap di Pontianak sejak tahun
1957, setelah sebelumnya berkelana berdagang ke berbagai daerah seperti Padang,
Medan, Riau, Bangka-Belitung, Jakarta, dll. Di Padang ia bertemu jodoh dengan
istrinya (almarhumah) kemudian baru pindah ke Pontianak. Pasangan ini memiliki
lima putri dan dua putra. Semula Mak Etek berdagang rokok, kopi, dan
sebagainya.
Ia melihat,
produk ikan di Pontianak luar biasa banyak, namun belum diolah secara maksimal.
Menurut Mak Etek ikan di Pontianak lebih enak sebab kadar garam laut di
perairan sekitarnya rendah, katanya sekitar 20%. Kalau di perairan Sumbar
sekitar 60% sehingga jarang ikan berkualitas dijumpai di sana, apalagi perairan
Madura yang mencapai 80% sehingga ikan tengiri, baronang, serta kakap merah
jarang dijumpai di situ.
Mak
Etek kemudian mencoba mengolah ikan-ikan mahal itu dengan mengacu pada selera
orang lokal, berbeda, tapi murah. Akhirnya setelah mencoba-coba, ia mendapatkan
resep baru yang berbeda dengan masakan Minang tempat asalnya, atau orang-orang
Melayu Pontianak. Ternyata resep “penemuannya” itu disukai, dan laris hingga
sekarang. Berbagai kalangan yakni dari orang biasa hingga pejabat menyukai ikan
bakar dan gulai kepala ikannya. Bulan Desember 2012 ia mendapat pesanan 15 kg
ikan bakar dan gulai dari pelanggan untuk dibawa ke Bandung. Sejumlah pejabat
yang telah pindah tugas ke daerah lain sering rindu akan masakan Mak Etek dan
kerap pesan dengan berbagai cara.
“Masakan
saya harus disukai orang setempat, murah dan harus berbeda,” katanya.
“Anak
muda tak perlu harta”
Bagindo
Alizar alias Mak Etek ini mengaku Pontianak menjadi persinggahannya terakhir
dan tidak ingin merantau ke lain tempat. Ia sempat naik haji tahun 2007 lalu
yang semula tidak diduganya karena ia belum punya uang cukup. Rupanya Tuhan
sudah menentukan, maka jadilah ia naik haji.
Seorang pelanggan menyantap hidangan |
Perjuangan
hidupnya begitu panjang dan berat. Ia mengaku merantau untuk berdagang sejak
usia remaja. Ia haus untuk mencari pengalaman dan “ilmu” baru, yang dapat
dipakainya sebagai prinsip hidup. Ia menemukan, sebenarnya anak muda tidak
perlu harta. Yang mereka perlukan adalah ilmu dan pengalaman itu. Mak Etek sempat
membiayai abangnya untuk belajar dan kemudian bekerja sebagai penilik keuangan.
Abangnya masih hidup pada usia 85 tahun.
Mak
Etek muda terus menuntut ilmu, ketrampilan, seperti membuat sepatu, jaring dll.
Ia, hingga usianya yang tidak muda lagi sekarang, membuat sendiri alat
pemanggang ikan warungnya. “Orang harus maju, tidak perlu menjadi pekerja
seumur hidup. Ia harus membangun usahanya sendiri, seberapa pun besarnya,”
begitu petuah Mak Etek. Maka jadilah warung ikan bakar yang tetap disukai
setelah 20 tahun lebih beroperasi.
Oh,
ya, satu lagi pesan Mak Etek pada anak muda, “Uang bukan satu-satunya ukuran
keberhasilan, tapi memberi kepuasan pada orang lain, memberi kesempatan kerja
pada mereka juga bisa disebut berhasil.”
hmm... enaaakkk.. salam pak adji
BalasHapus