Keliek "Doyok" Siswoyo (latar depan, kiri) |
- Baca juga artikel berkaitan, 35 tahun Doyok, di JURNAL BELLA juga
Telepon
saya berdering Jumat pagi, 3 Agustus, 2012 lalu. Dari seberang terdengar suara
teman saya Gunarso TS. Agak lama ia tidak berkata-kata.
“Lelayu (berita duka, pen). Sudah
dengar?” tanyanya dengan suara serak.
“Belum,
siapa?” tanya saya.
“Keliek
meninggal semalam,” ujarnya lagi, lebih pelan.
“Keliek
siapa?”
“Keliek
Siswoyo.”
“Innalillahi
waina illaihi rojiun,” jawab saya sambil tertegun tak mengira sama sekali rekan
kartunis pencipta tokoh Doyok di SKH Pos
Kota itu berpulang. Gunarso TS, “orang serius” yang gemar berhumor itu
lantas terisak, “Padahal semalam jam sepuluh saya masih bercanda, lewat hape
dengan aku.”
Pemimpin
redaksi tabloid Oposisi, M. Djoko
Yuwono, mengalami hal yang sama. Ia malam harinya masih bercanda dengan Keliek,
yang menjadi salah seorang ilustratornya.
Saya
ingin tidak menangis, sebab hidup, mati, jodoh, dan rejeki ada di tangan Allah
SWT. Tapi belum lagi lima menit sambungan telepon ditutup, air mata saya tak
terasa mengalir sendiri. Terbayang kembali pertemanan saya dengan Keliek
Siswoyo ketika saya masih bekerja untuk Pos
Kota.
Kedudukan
saya dahulu di Pos Kota paling
tinggi. Artinya ruangan kelompok kami, peliput berita Poleksosbudhankam, berada
di tingkat ke-4, atau paling atas dari gedung yang dipakai untuk kantor
suratkabar itu. Di lantai atasnya lagi adalah tempat yang paling didambakan
karyawan dan wartawan saat lepas lohor, sebab di sana ada kantin (tentu saja
gratis dari perusahaan).
Ruangan
kelompok kami bersebelahan dengan ruangan “orang-orang aneh” yaitu para pelukis
serta kartunis Lembaran Bergambar
(Lembergar), sisipan Pos Kota yang
pernah melambungkan tiras harian itu mejadi tertinggi di Indonesia kala itu.
Maka kami pun cepat akrab dengan mereka.
Saya
merasa cocok dengan kelompok orang aneh itu sebab ternyata mereka adalah
seniman tulen, bekerja di bidang seni yang mereka kuasai. Orang-orang itu tak
pernah membikin masalah dengan siapa pun. Kalau pun ada, menurut saya dalam
skala minor dan biasanya selesai lewat ketawa bersama-sama. Dalam pergaulan
kami, mereka hanya sekali membuat masalah dengan manajemen. Itu pun karena saya
“provokatori”.
Tentu saja
mereka orang-orang cerdas, pintar, memiliki banyak referensi, kreatif (tuntutan
utama), dan humoris (modal penting). Katanya hanya orang pintar dan bijaksana
saja yang mampu berhumor. Tugasnya setiap hari adalah berkreasi, berbeda dengan
kami para wartawan yang hanya sebagai “pemulung dan pengemas informasi” saja.
Kami jelas tak boleh mengarang-ngarang. Saya dan teman-teman wartawan di
kelompok kami sering mengatakan, orang-orang di Lembergar itu jauh lebih cerdas daripada kami, para wartawan.
Keliek Siswoyo
adalah seorang di antaranya yang paling senior, ketika Lembergar masih diasuh oleh Pak Leo Purwono. Tak ada hari tanpa
ketawa di ruangan mereka. Masing-masing punya gaya ketawa sendiri.
Dengan
berpulangnya Keliek Siswoyo maka sudah ada 4 (empat) pelukis/kartunis Pos Kota yang meninggal dunia, di luar
Pak Leo, senior mereka yang “berangkat” lebih dulu. Mereka adalah
·
Yudhi Rehatta. Nama aslinya Wahyudi, pria kelahiran
Prembun, Jateng. Sejak masih remaja ia sudah melukis komik remaja yang laku di
pasaran. Ia memakai nama Yudhi Takarada, dan populer di kampung halamannya. Di Lembergar ia yang tertua usianya.
Senyumnya manis, dan tutur katanya lembut. Obsesinya menjadi orang kaya. Entah
bagaimana caranya dia sendiri kebingungan. Dia mengendarai Vespa setiap hari
yang kemudian malah terjual karena “bisnis rel”. Yudhi Rehatta spesialis komik
remaja di Pos Kota sehingga tak ayal
banyak cewek yang kesengsem pada wajahnya yang lumayan ganteng. Ia meninggal
karena sakit jantung.
·
Sabaryadi. Pria kelahiran Kebumen, Jateng, ini juga
mengenal Yudhi Takarada ketika masih duduk di bangku SD. Ia penggemar komik,
dan tak disangka-sangka mereka bertemu di Lembergar
beberapa tahun kemudian. Pria bujangan ini juga meninggal dalam usia muda
karena penyakit ginjal. Dia banyak disukai teman-temannya sebab kalau pergi
bersamanya, pasti teropeni dengan baik. Ia rajin membawa makanan dan
buah-buahan, persis seperti bapak kost.
·
Suparno biasa dipanggil Supar. Pria kelahiran desa
Giritantra, Baturetno, Wonogiri, ini punya ciri tokoh kartunnya mirip Petruk
anak Semar. Sama seperti teman-temannya ia sulit untuk marah. Ia pun meninggal
dalam usia muda, meninggalkan seorang istri dan seorang putra berusia dua tahun
waktu itu. Ia paling tak suka masuk ke mall, karena terlalu banyak lampu dan
bising terlalu banyak orang.
·
Keliek Siswoyo. Kepergiannya tidak diduga sama sekali,
seperti diutarakan terdahulu. Kawan-kawannya di Facebook pun kaget, sebab beberapa saat sebelumnya mereka sempat chatting.
Provokator
Beberapa pelukis
berikutnya yang ikut bergabung ke Lembergar
antara lain Dhika Kameswara, Aziz
Gaurav, Hadi Noor, Koeswondo, Ucha, dll. Seperti yang sudah saya singgung, saya
pernah memprovokasi untuk mengadakan rekaman lagu lama yang diperbarui. Judul asli
lagunya saya lupa, mula-mula dilantunkan Yudhi Rehatta. Syairnya a.l. : Aku menanti kasih / di bulan Agustus / hari
demi hari aku menanti….dst.
Pada waktu itu pembagian
bonus bagi karyawan terlambat, dari biasanya diberikan di bulan Juli ternyata
hingga bulan Agustus belum muncul. Maka saya dan teman-teman Lembergar sepakat membuat rekaman lagu
itu dengan syairnya diubah sesuai keinginan kami. Penyanyi “tiban” alias dadakannya adalah Yudhi Rehatta, sedangkan
backing vocalnya a.l. Keliek Siswoyo itu. Suaranya memang lumayan, kecuali
isinya yang membikin merah telinga manajemen.
Ketika rekaman saya
putar di depan ruangan bidang keuangan, maka Direktur Keuangannya, seorang ibu
yang penyabar, marah-marah lantas melaporkan kami ke Wakil Pimpinan Perusahaan.
Ternyata para pimpinan kami malah ketawa terpingkal-pingkal.
Hasilnya memang hebat,
bonus segera diturunkan dan ganti kami yang ketawa bahagia. Tetapi asal bertemu
dengan saya, ibu itu selalu menuding dan percaya sayalah penyanyinya, bukan
Yudhi.
Rasa humor tinggi
Almarhum Haji Keliek
Siswoyo memiliki postur tubuh atletis, dengan kulit kecoklatan, lahir di Kuta
Gede, Yogyakarta 59 tahun lalu. Salah satu kebiasaan yang sulit dia lepaskan
adalah rokok kretek. Nampaknya rokok tak bisa dilepaskan dari rata-rata
seniman. Katanya, orang yang tidak merokok berarti tidak kreatif. Tentu saja
itu hanya gurauan.
Setiap hari saya selalu
menyempatkan diri ke ruangan Lembergar
guna “mendinginkan otak”. Dan gurauan-gurauan pun meluncur. Terbukti dengan
jelas bahwa mereka benar-benar kreatif, sebab gurauan itu setiap hari selalu
baru. Dari sekian bunyi tawa, punya Keliek yang paling terdengar keras.
Ketika saya mendapatkan
fasilitas kendaraan roda empat, maka teman-teman Lembergar ramai menyindir saya lewat karya-karyanya. Maka sebagai
“solusi damai”, saya ajak mereka keliling kota selesai bertugas, saya traktir
minum dan durian Parung. Kami semua bahagia. Pada suatu hari Sabtu kami
memotong seekor kalkun untuk dimasak. Seharusnya kalkun itu disuruh dipelihara
oleh almarhum Suparno, tapi nasib unggas itu tragis sekali sebab berakhir di
panggangan sate di halaman belakang rumah saya. Ketika itu Keliek menjadi
“peserta aktif” penikmat sate kalkun yang memang lebih lezat dan lebih sehat
ketimbang sate kambing yang dianggap “berbahaya” bagi kami semua yang masih
membujang.
Seekor kalkun lainnya
diminta Yudhi Rehatta untuk dipelihara, tapi beberapa minggu kemudian dia
menemui nasib yang sama dengan saudaranya!
Penyabar
Setiap kali kami
mencoba menggoda almarhum Keliek hanya sekedar ingin tahu bagaimana dia kalau
marah. Selalu gagal. Orang ini tidak pernah marah sama sekali, sebab baginya
dunia ini macam kartun hasil karyanya, menggelikan. Saya cocok dengan daya
ungkapnya, sehingga ketika saya diberi tugas oleh Pemkab Gorontalo untuk
membangun suratkabar harian dalam tempo 10 hari, saya minta bantuan karikatur
Keliek. Begitu juga ketika saya menerbitkan tabloid sendiri, ia saya minta bantuannya.
Gaya kritik almarhum Keliek “Doyok” Siswoyo halus, lembut, tapi membikin orang
tersenyum geli. Tak pernah ada kekasaran atau “kekerasan fisik” di dalamnya.
Ketika saya menulis 35
tahun Doyok di JURNAL BELLA ini juga,
tak terbersit pikiran apa pun. Saya hanya ingat dia dan bertanya berapa lama
Doyok sudah tampil di SKH Pos Kota.
Ternyata sudah 35 tahun, satu usia yang cukup panjang. Artikel itu selama ini
menempati urutan kedua terbanyak dibaca orang dalam statistik kami.
Selamat jalan Mas Keliek,
doa kami selalu untukmu. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan
kesalahannya dan menerima segala amal-ibadahnya. Amien ya robbal alamien.
❤😍❤
BalasHapus