Langsung ke konten utama

Mutiara Hati - 8

Penulis Adji Subela
Bagian Ke-8

Kunjungan kejutan seorang sahabat
Setelah sederet upacara kami jalani, maka selama seminggu saya masih tinggal di rumah di Jalan Yogya. Saya hanya mendapat cuti dua hari. Kami semua masih berkumpul di rumah istri saya dengan segala keriangannya. Selama itu sejumlah sahabat masih juga datang menemui saya dan istri. Biasanya kami duduk mengobrol hingga malam larut.
Dalam pada itu, saya mendapat tugas untuk memperbaiki asrama kami yang sudah tua. Anggaran sudah kami ajukan ke Jakarta untuk perbaikan kesatrian itu. Saya juga sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kami berdua. Rumah ini cukup besar, memiliki tiga kamar yang luas-luas, halaman belakang yang cukup untuk membua lapangan badminton, sebuah garasi dan halaman depan yang lega. Tanah keseluruhannya mencapai luas kurang lebih 400 m persegi.
Pada suatu petang, ketika saya duduk-duduk di beranda bersama istri untuk menikmati sore yang cerah, tiba-tiba masuklah seorang pria yang gagah ke halaman rumah. Sekilas saya tak mengenalinya. Tapi ketika sudah dekat dan dia tersenyum, maka ingatlah saya akan seorang sahabat saya ketika masih duduk di MULO di Jakarta dulu.
Pria itu adalah putra Sunan Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Namanya Gusti Pangeran Haryo (GPH) Suryo Suksoro. Saya kaget sekali, bagaimana mungkin dia menemukan alamat saya dan datang ketika saya sedang menjalani bulan madu seperti itu.
“Lho, kamu tahu dari siapa aku ada di sini?” tanya saya. Dia cuma tertawa, sambil menjabat tangan saya erat-erat.
“Ada yang memberitahu. Selamat ya?” ucapnya.
“Aku benar-benar enggak sangka kamu datang ke sini Sur,” sambut saya, “apa kamu ada bisnis di Medan?”
“Tahu enggak? Aku dapat kabar dari kakak iparmu Tengku Kamaliah, aku senang ketemu kamu lagi setelah sekian tahun.”
Setelah duduk, Suryo bercerita bahwa dia punya hubungan bisnis dengan Tengku Kamaliah di Jakarta. Tanpa diduganya, kakak istri saya itu bercerita bahwa dia habis mengawinkan adiknya dengan seorang perwira asal Jawa Barat, namanya Barkah Tirtadidjaja. Mendengar nama itu, Suryo berteriak bahwa itu nama yang bukan asing lagi baginya. Memang, kami bersahabat. Ia bergabung ketika saya sudah berada di klas 3 MULO Jakarta. Kami sering bermain bridge, atau piknik bersama-sama. Ia tahu saya ikut berjuang selama perang kemerdekaan. Maka kami pun mengobrol ke sana ke mari. Sudah bertahun-tahun kami berpisah, terutama sejak Jepang menduduki tanah air, hingga perang kemerdekaan. Baru sekarang saya bertemu kembali dengannya. Dia sendiri hanya ngobrol soal kenangan masa lalu kami, dan tidak bicara masalah bisnis sama sekali. Pada malam harinya dia pamit pulang ke hotelnya. Teman saya semasa di MULO itu sekarang sudah almarhum.
Pindah rumah
Sepekan setelah itu, kami pindah ke Jalan Supeno No. 4. Bersama kami ikut pula beberapa orang keluarga, yaitu Tengku Seri Banun, yang kehilangan suaminya dalam kerusuhan dulu. Empat putranya tinggal bersama sanak keluarga lainnya yang selamat. Seorang anak angkat Kucik, gadis kecil bernama Hetty, ikut kami serta seorang pembantu.
Rumah ini besar, halamannya di depan maupun di belakang luas. Jalan Supeno ini mengambil nama seorang Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Muhammad Hatta (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949). Menteri ini gugur dalam Agresi Militer II, diberondong serdadu Belanda di Nganjuk, Jatim, 24 Februari 1949, dan ia disebut sebagai Menteri termuda di dunia waktu itu.
Saya juga mengajak seorang kopral anak buah saya, bernama Salam, untuk tinggal di Jalan Supeno dengan istrinya. Mereka belum punya anak waktu itu. Rombongan keluarga besar ini menyemarakkan rumah kami. Dengan demikian itu Kucik tidak pernah merasa kesepian setelah menikah dengan saya. Sekali lagi ini tidak biasa saya jumpai di kampung halaman saya di Jawa Barat. Biasanya kami dilepas berdua setelah menikah. Semangat kekeluargaan yang tinggi dan selalu ingin bersama merupakan salah satu ciri orang-orang Melayu. Saya pun tidak merasa kikuk untuk hidup berumah tangga untuk pertama kalinya, karena saya sejak kecil sudah terbiasa mandiri. Selama masa perjuangan di hutan dulu pun saya juga hidup sendiri.
Kami sering mengundang kawan-kawan untuk bermain badminton di rumah kami, setelah itu makan bersama. Hobby saya yang lain adalah menyetir mobil hingga ke luar kota. Demikian pula Kucik. Ia pandai menyetir mobil, sehingga sering mengantar Ibunya untuk berobat atau berbelanja. Dahulu ketika almarhum ayahandanya masih hidup, istri saya itu sering menemaninya berkendara mobil mewahnya. Di masing-masing pintu mobil tersebut, terutama Maibach-nya, terdapat simbol kerajaan Langkat.
Kucik pun punya hobby bermain piano. Ia sudah belajar sejak berusia sembilan tahun dan suka berlatih pada saat-saat luangnya. Selain istri saya itu, di Istana ada Tengku Latifah yang piawai sekali memainkan alat musik akordion. Biasanya alat ini dimainkan para pria saja, tapi ternyata dia mampu menggunakannya.
Agar hobby dan kemampuannya bermain piano itu terpelihara, maka saya menemui sahabat saya, seorang Belanda yang menjadi aneemer atau kontraktor, namanya van der Heuvel. Ia punya toko peralatan musik yang cukup terkenal di kota Medan. Ia menjual sebuah baby piano kepada istri saya. Kelak di Singapura saya juga membeli piano untuknya. Istri saya itu memang penggemar seni, seorang seniwati, bukan saja pandai bermain musik tapi pandai mengarang lagu pula. Banyak lagu-lagu yang ia ciptakan, terutama lagu-lagu yang bernada melankolik seperti lagu-lagu perpisahan, dan sebagainya. Kemungkinan karena dia lahir dan hidup di lingkungan Istana yang serba berkecukupan dan termanjakan itulah sehingga ia justru suka pada suasana melankolis, romantik semacam itu.
Kelak ketika kami bertugas di Kairo, Mesir, ia mengumpulkan para istri diplomat dan staff lainnya untuk bermain musik. Istri saya bermain organ untuk mengiringi nyanyian rekan-rekannya. Itu dilakukan pada pagi hingga tengah hari. Oleh karena ruang kerja kami tak jauh dari tempat mereka bermain, maka suara-suara mereka itu bisa kami dengar pula dari kantor.
Demikianlah kehidupan kami mengalir dengan indahnya, seperti aliran Sungai Deli yang saat itu masih jernih airnya dan sejuk suasananya.
Akhirnya pada tanggal 4 Oktober 1951, anak kami yang pertama lahir, yaitu seorang putri, lalu kami beri nama Maurina. Ia lahir di rumah sakit milik dokter Belanda.
Menurut adat istiadat Melayu, pada usianya yang ke 40 hari, bayi diberi upacara khusus, namanya turun sungai. Berbeda dengan tedhak siten untuk masyarakat Jawa, atau turun tanah untuk bayi berusia tujuh bulan, upacara ini sekaligus juga dilaksanakan dengan potong rambut. Oleh karena Ibunya keturunan ningrat, maka sebelum mengikuti upacara potong rambut, orang menguncir rambut si anak, kemudian memasanginya cincin emas. Nantinya kunciran atau ikatan itu akan dipotong oleh para keluarga, pejabat, atau tokoh masyarakat, dan cicin akan menjadi kenang-kenangan untuk mereka.
Upacara itu meriah, apalagi karena kedua orang tua saya juga datang untuk menjenguk cucunya. Mereka berdua naik kapal KPM dari Tanjung Priok, dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka pergi berlayar ke tanah seberang selama tiga hari. Baginya ini pengalaman yang menarik. Kepada saya mereka bercerita alangkah indahnya perjalanan memakai kapal laut itu. Banyak kenalan baru mereka dapatkan, dan umumnya ramah-ramah. Saya sendiri menjemput ayah dan ibu yang datang dari jauh itu, ke Pelabuhan Belawan memakai kendaraan dinas, dan langsung ke rumah kami di Jalan Supeno. Kedua orang tua saya begitu gembira melihat cucunya lalu dibacakannya doa keselamatan untuknya.
Permata mutiara dari Kesultanan Langkat itu telah menghadiahi saya seorang putri yang cantik, mungil, dan menggemaskan. Segera saja bayi itu menjadi rebutan pada saudara untuk menggendongnya. Saya merasakan semangat hidup saya bertambah besar. Ada semacam kebanggaan memiliki bayi putri mungil itu, dan semangat kerja saya pun meningkat. Ada semacam rasa bahagia luar biasa dan bahagia tak terperikan saat memandangi anak kami itu. Masa depan menanti kami sekeluarga entah di mana, hanya Tuhan yang tahu ……..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par