Tampaknya
sudah jadi takdir sejarah untuk berulang, dan jika ia itu dibentuk lewat
gerakan massa atau demonstrasi, dus revolusi, maka dia akan memangsa
anak-anaknya. Tak peduli apakah yang jadi korban itu rakyat (sudah biasa)
ataupun tokoh sejarah itu sendiri.
Para mantan "pejuang" yang akhirnya jadi oportunis |
Dan,
tampaknya sudah jadi semacam takdir pula bahwa sejarah diukir dan ditempa oleh
manusia-manusia ambisius yang kehausan. Haus kekuasaan dan, serta merta, jika
sudah demikian, pastilah merujung haus harta juga. Jadi sejarah itu sebetulnya
tidak berubah, model dan pelakunya saja yang berbeda-beda. Satu steoreotip
hitam yang tidak bosan-bosan diulang manusia yang lucunya tidak juga belajar
dari sejarah itu. Maka Bung Karno selalu menyerukan “Jangan sekali-kali melupakan
sejarah”. Maksudnya agar manusia belajar darinya, menghindari kesalahan. Dan,
sebagai individu maupun kelompok, ternyata sulit sekali menjadi baik.
Bahkan
untuk mendefinisikan siapa rakyat sejati serta pemimpin sejati pun tidak mudah,
sehingga rakyat disebut sebagai pihak yang menderita tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Sedangkan pemimpin, tentu logikanya ya kebalikan dari definisi itu.
Inilah
yang dibeber oleh Teater Koma dalam lakon Demonstran
yang digelar di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 1 hingga
15 Maret 2014. Dalam produksinya yang ke 132, kelompok teater yang tetap
produktif ini – walaupun banyak halangan merintang, kata pimpinan produksinya,
Ratna Riantiarno – hendak menyindir polah-tingkah politisi kita sejak Orde Baru
hingga kini. Rentang yang cukup panjang ini dipicu oleh kemandegan proses
penulisan naskah oleh penulis sekaligus sutradaranya, N. Riantiarno. Naskah ini
ditulis tahun 1989 ketika Orde Baru (ketika masiah tiga aprtai) tengah megah-megahnya tapi terhenti ketika
aprtai sudah selusin jumlahnya.
Kini
Riantiarno bersemangat lagi untuk melanjutkan lakon itu terdorong oleh semangat
yang sama pada tahun 1989 yaitu jengah pada keadaan politik dalam negeri. Oleh
karena itu rentang cerita menjadi panjang dan pada awalnya seolah menjadi
ketinggalan jaman ketika bicara “kebocoran dana pembangunan” 30% yang pernah diletupkan oleh Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikusumo hingga para pejabat maupun istrinya yang gemar bermain
instagram alih-alih mengurusi nasib
rakyat. Pada kenyataannya, kini justru
bukan kebocoran lagi tapi satu “aliran besar” korupsi yang pelakunya justru
para elite partai yang berkuasa maupun yang tidak. Penyebabnya masih sama yaitu
para petualang yang menjadikan politik sebagai traktor untuk mengeduk kekuasaan
dan lalu kekayaan.
N. Riantiarno menjawab pertanyaan para wartawan |
Maka
revolusi, yang diawali demonstrasi, menjadi peralatan penting, dan akhirnya
seperti diketahui publik semua: amburadul politik; sebab sudah dicampuri
kepentingan-kepentingan pribadi. Di seberang Topan, sekelompok avonturir, petualang,
mengeduk keuntungan dari kemegahan nama mereka di masa silam. Menjadi pejabat,
baik di eksekutif maupun legislatif (terutama) menjadikan mereka kebanjiran
duit. Kerakusan memaksa mereka minta berlebih dan dalam mata uang dolar AS. Di
sini tak ada perbedaan gender sama sekali. Kedua jenis makhluk Tuhan itu telah
menjadi monster penelan uang haram dari manapun selagi dapat. Para petualang
itu diperankan apik oleh Ratna Riantiarno, Sari Madjid, Alex Fatahillah, dan
lain-lainnya.
Kekuasaan
dan kekayaan telah menjadikan mereka “banci-banci politik” yang penuh
interests.
Kegelisahan
ex-demonstrator
Topan gundah soal patungnya, dibujuk Bunga, istrinya yang oportunis |
Topan
(diperankan Budi Ros) adalah dedengkot demonstran pada masanya. Lalu ia mundur
dari hiruk-pikuk politik dan menjadi pengusaha sukses. Tidak jelas apakah
bisnisnya bersih atau tidak, tapi nyatanya ia merasa gerah dengan situasi yang
sudah mengarah ke chaos akibat
kegaduhan politik. Pejabat T (diperankan Emmanuel Handoko) seorang yang diduga
berpangkat jenderal, dengan ajudan, Bujok (Bayu Dharmawan Saleh) yang piawai
sebagai tukang kasak-kusuk, serta penata rambut yang nyasar ke sirkulasi politik
(diperankan oleh Subarkah Hadisarjana), menginginkan sesuatu dari keadaan itu,
yaitu apalagi kalau bukan berkuasa?
Celakanya,
orang-orang ini justru main kongkalikong dengan istri Topan sendiri yaitu Bunga
(diperankan bintang tamu Cornelia Agatha). Sebuah konspirasi yang meneguhkan
asumsi bahwa: istri-istri pejabat atau politisi itu tokoh di belakang layar
politik sejak Orde Baru hingga sekarang! Maka sebuah akal licik dimainkan,
yaitu memakai kebesaran Topan di masa lalu sebagai tokoh demonstran dengan cara
yang membikin jengah: mendirikan patung diri Topan. Tentu saja ini mengusik
ketenangan Topan yang sudah nyaman. Ia gerah sebab ia masih hidup masa
dibuatkan patung sebagai pahlawan?
Sabar (Semar) dan Alun (Bagong) ikut gundah melihat hiruk pikuk politik |
Demonstrasi
pun pecah dilakukan oleh para “topan” baru yang telanjur percaya bahwa
demonstrasi sebagai cara ampuh menjadi tokoh-tokoh negeri ini. Hanya lewat cara
itu untuk mendapatkan tiket toll
kekuasaan.
Topan
pun turun ke jalan guna mencegah cara-cara berdarah seperti itu, tapi sebutir
peluru yang diletuskan kaki tangan Pejabat T mengakhiri semua kisah heroik dan
sukses hidupnya. Kematian Topan menjadi kesadaran semua pihak yang amat
terlambat. Topan tetap menjadi pahlawan, jasadnya diabadikan di musoleum dalam
sarkofak kaca tembus pandang. Semua bersedih – sementara – untuk kemudian
(barangkali) mengulang lagi kesalahan sejarah nasional yang tak kapok-kapoknya
dilakoni karena kepercayaan pada revolusi yang menyesatkan.
Maka
situasi itulah yang memusingkan kepala dua punakawan penjaga kedamaian
Nusantara (jawa!) yaitu Sabar (diperankan Supartono JW) dan Alun (Dorias
Pribadi) yang merepresentasikan tokoh spiritual Sabdopalon (Semar) dan
Nayagenggong (Bagong) yang sering
dikaitkan namanya saat ada gejala pergeseran kekuasaan dalam gonjang-ganjing
negeri.
Guyonan
sarat makna
Sama
seperti penampilan Teater Koma sebelumnya, cerita berat ditampilkan dalam
format guyonan bermakna dalam. Dialog-dialog serius muncul untuk menjelaskan
esensi cerita, diselingi adegan konyol para pelaku politik yang piawai dan
konyolnya melebihi akting para aktor Teater Koma. Sederet wadam yang disebutnya
para Julini (mengacu pada lakon Julini) menari-nari menggelakkan penonton yang
tanpa sadar menertawai pada “banci politik’ di dunia nyata negeri.
Seperti
biasanya pula, tata panggung/dekorasi serta tata-busananya hebat sehingga
seolah mengukuhkan Teater Koma tak tergeserkan di dalam negeri. Di gedung
pertunjukan penonton disuguhi akting “makhluk lain” yaitu patung semacam
ondel-ondel betawi yang dapat digerakkan mulut serta kepalanya untuk ikut
bermain di panggung. Di samping itu koreografi massal sebagai gambaran
demonstrasi serta pergantian kostum yang cepat di panggung menjadi atraksi
menarik.
Para eks-demonstran berbagi-bagi tas duit. Minta dolar. Duduk kiri Alex Fatahillah |
Produksi
ke 132 Teater Koma ini diawaki Ratna Riantiarno sebagai penulis/sutradara,
Ratna Riantiarno sebagai pimpinan produksi, didukung Rima Ananda (penata
busana), Subarkah H (konsultan tata rias dan tata busana), Sari Prianggoro
(manajer panggung), Idrus Madani si Pak RW dalam Para Pencari Tuhan (penata musik), Fero A. Stefanus (aransemen
musik), Sena Sukarya (penata rias dan rambut), Onny Koes (pembuat panggung dan
instalasi luar), Taufan S. Chn (skenografi dan tata cahaya) serta belasan kru
lainnya.
Komentar
Posting Komentar