Buku
Judul : Max
Havelaar
Penulis : Multatuli (Eduard Douwes Dekker)
Penerbit : Padasan
Jakarta
Edisi :
Cetakan pertama, November 2013
Jumlah
halaman : 488 halaman
Ukuran
buku : 14 cm x 21 cm
Jenis kertas :
book paper
Cover : hard cover
ISBN :
978-602-19280-9-7
Harga :
Rp. 150.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan : Telp. 021-8023-6822 (atau melalui inbox fanpage
dan facebook) Fanpage: https://www.facebook.com/pages/MAX-HAVELAAR/589139877798104?ref=hl
Facebook: https://www.facebook.com/penerbit.padasan?fref=ts
Para pengagum Multatuli – dengan masterpiece-nya
yaitu Max Havelaar – tidak perlu
menunggu lama lagi untuk mendapatkan buku tersebut. Di penghujung akhir tahun 2013, Penerbit
Padasan di Jakarta, akhirnya menerbitkan kembali novel Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, yang telah
dipersiapkan sejak Desember 2012. Buku yang didasarkan pada terjemahan karya ‘Paus
Sastra Indonesia’, HB Jassin ini, dirilis pada 10 November 2013, atas dukungan Nederlands Letterenfonds (Amsterdam) dan
majalah sastra Horison (Jakarta).
Novel ini diberi
tujuh endorsements dari kalangan
sastra di Indonesia, Belanda dan Jerman, yakni:
·
Langkah Penerbit Padasan menghadirkan kembali roman biografi bernafas satir
politik yang pernah diajukan Universiteit van Amsterdam ke UNESCO untuk menjadi
salah satu world heritage pada 2012, serupa langkah Multatuli menghadirkan
Lebak yang miskin bersanding kemegahan kolonialisme lewat Max Havelaar pada 1860: Menyentak dan membuat decak; karena sangat
berbeda dari yang kebanyakan ada. Kehadiran novel yang kini menjadi bacaan wajib
sekolah-sekolah di Belanda dan diakui sebagai karya sastra dunia (Hermann
Hesse: Eine Bibliothek der Weltliteratur, 1929) adalah hal yang sangat
membanggakan bagi kita di Indonesia dan itulah sebabnya harus dibaca. Sebuah
karya besar tentu jangan dilewatkan. - Ahmadun
Yosi Herfanda, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
·
Penerbitan kembali Max Havelaar
tidak harus dimaknai sebagai pengingatan atas luka lama dari praktik negatif
kolonialisme, melainkan sebagai semacam penyadaran mengenai kemanusiaan yang
sangat mungkin terjadi kapan dan di mana pun. Kekecewaan Multatuli berkenaan
dengan sistem tanam paksa yang sangat merugikan kaum bumiputera di Lebak hanya
semacam penampang atau representasi dari ekses gelap kekuasaan. Dengan kata
lain, bukan hanya di wilayah Banten telah terjadi penistaan menjijikkan atas
kehidupan, namun sangat mungkin juga di wilayah lain belahan dunia. Demikian
pun, bukan hanya di masa kolonial praktik penindasan terhadap kaum lemah
terjadi, sebab di masa yang konon sudah merdeka seperti sekarang ini, hal
seperti itu—atau bahkan lebih keparat lagi—masih terjadi. Itu sebabnya, membaca
novel ini seolah-olah kita diberi cermin untuk melakukan refleksi. - Ibnu Wahyudi, Pengamat Sastra &
Pengajar di FIB-UI
·
Max Havelaar adalah bukti bahwa
kekejaman terhadap manusia, betapapun dijalankan dengan rapi, secara dialektis
akan mendorong lahirnya perlawanan terhadap kekejaman itu sendiri. Tidak saja
dari kalangan korban yang tak berdaya, melainkan juga dari kalangan pelaku yang
digdaya. Max Havelaar dengan baik
melukiskan derita manusia akibat kekejaman sistem sosial yang berkelindan
dengan sistem kolonial. Di atas semuanya, ia adalah lambang abadi perlawanan
terhadap kekejaman manusia, perlawanan mana secara tak terduga bisa meledak
bukan dari "luar", tapi justru dari "dalam". - Jamal D. Rahman, Pengamat Sastra &
Pemred Majalah Sastra Horison
·
Menerbitkan ulang Max Havelaar,
sebuah karya sastra Indisch fenomenal, merupakan usaha menekuri perjalanan
sejarah bangsa dalam menjadikan kearifan yang didapat dari pengalaman tersebut
sebagai peneguhan jati diri bangsa. - Dr.
Mona Lohanda, Sejarawan & Arsiparis ANRI
·
Max Havelaar karangan Multatuli,
buku terbesar kesusasteraan Belanda. - Dr.
Pieter Steinz, Direktur Nederlands Letterenfonds, Amsterdam
·
Jika Gubernur Jenderal Duymaer van Twist tidak memecat Eduard Douwes Dekker
sebagai Asisten Bupati Lebak pada 1856, apakah Max Havelaar yang sangat kondang ini akan lahir? Sejarah mencatat,
roman biografi yang ditulis dalam kesepian dan kemiskinan di loteng-kamar di
Brussel ini menarik perhatian karena selain mengungkapkan ketidakadilan dan
korupsi yang dilakukan pejabat pribumi dan Belanda di Lebak, juga menegaskan
bahwa tidak semua orang Belanda menyukai praktik kolonialisme. Kekuatan Max Havelaar terletak pada ketepatan
memotret dan memaknai konteks zaman yang bertaburan semangat antikorupsi dan
antipenindasan, yang jika ditarik ke konteks kekinian, sangat relevan. - Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Pakar Filsafat
Bahasa & Guru Besar Universitas Nasional, Jakarta
·
Tampilnya kembali Max Havelaar
merupakan hadiah luar biasa untuk khazanah kepustakaan Indonesia masa kini dan
ke depannya. Pembaca akan diajak kembali melanglangbuana ke situasi kompleks
masa lalu, namun dalam banyak hal masih relevan dengan situasi masa kini. - Yanti Mirdayanti, Pengajar Sastra dan
Budaya di Universitat Hamburg, Jerman
Laora Arkeman selaku penyunting, dalam sebagian catatannya menulis:
·
Pembicaraan mengenai Max Havelaar
seolah tak ada habisnya. Kontroversi terjadi sejak buku ini terbit pada 1860, berkisar
pada nilai kesusasteraannya dan terutama apakah benar atau tidak kisah yang
ditulis di dalamnya. Di Indonesia dan dunia, Max Havelaar menjadi istimewa karena merupakan roman pertama yang
secara terbuka mengungkap nasib buruk penduduk pribumi di bawah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Di Belanda sendiri, novel ini menggoncangkan
pandangan umum mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan
negeri jajahannya.
Sementara itu, tanpa
maksud membenarkan perilaku bupati yang memerintahkan rakyat untuk menyerahkan
upeti dan kerja paksa, sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu yang “wajar”
dan terjadi di beberapa daerah pada masa tersebut. Fenomena dalam novel memang
berlangsung di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.
Hadirnya Max Havelaar dalam konteks kekinian
adalah masih berlangsungnya tindakan korup dari pihak penguasa, dalam hal ini
Banten yang bahkan saat ini sedang menjadi perbincangan berbagai kalangan.
Novel yang berlatar
budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak ini memberi perubahan besar
terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel dihapuskan pada 1870.
Bola salju yang
digelincirkan melalui Max Havelaar
menggelinding kian besar. Van Deventer menulis artikel di De Gids pada 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah
kolonial berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras
demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi surat kabar
berbahasa Belanda De Locomotief yang
berpusat di Semarang, menyuarakan perlunya pemerintah Kolonial menjalankan
kewajiban moral pada masyarakat Bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft
menulis pamflet berjudul “Haluan Etis
Dalam Politik Kolonial”. Dengan makin deras arus gerakan kaum Etis
menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina
mengesahkan politik Etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia
Belanda.
Max Havelar juga menjadi salah
satu tonggak baru bagi sastra modern di Belanda. Perspektif kepenulisan yang
dipakai Multatuli memengaruhi kecenderungan baru penulisan sastra. Karya ini
memperlihatkan bahwa sudut pandang tak sekadar pilihan bagi penulis untuk
menjadi orang pertama atau ketiga, namun menjadi pilihan sadar atas keterlibatan
lahir batin yang melebur dalam objek cerita yang hendak ditulis. Gaya tuturnya
pun hidup dan mengajak pembaca seolah-olah hadir dalam setiap peristiwa.
Memahami sejarah
dalam beberapa hal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah
sejarah itu sendiri. Dan Eduard Douwes Dekker melalui Max Havelaar telah membuat sebuah karya yang melampaui zamannya.
Karakter tokoh-tokohnya menakjubkan, dengan cerita yang akan terus menuai
kontroversi.
Komentar
Posting Komentar