Kasus korupsi yang melilit sejumlah
tokoh Provinsi Banten membetot ingatan pada 157 tahun lalu ketika Eduard Douwes
Dekker diangkat sebagai asisten residen di Lebak, Banten Selatan. Ketika itu Eduard
Douwes Dekker (paman jauh dari Douwes Dekker alias Setiabudi, pahlawan
nasional) melaporkan bagaimana nasib rakyat Lebak yang begitu terkebelakang
oleh sistem sosial-budaya, kepemerintahan Hindia-Belanda dan bupati mereka.
Akibatnya terjadi ketegangan antara
dirinya dengan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara. Laporan resmi itu
disesalkan atasannya, Residen Brest van Kempen serta Gubernur Jenderal A.J.
Duymaer van Twist (memerintah dari 1851 hingga 1856) yang tiga bulan sebelumnya
mengangkat Eduard Douwes Dekker karena mengagumi anak muda itu. Akibat laporan
itu Wedana Parangkujang Raden Wirakusumah dipecat dan Bupati Lebak mendapatkan
peringatan keras.
Gambar Bupati Lebak Kerta Natanegara |
Setelah mengalami kesulitan akibat
ulahnya Douwes Dekker pulang ke negeri Belanda kemudian menulis novel Max Havelaar di sebuah losmen sederhana
di Belgia. Ia memamakai nama samaran Multatuli (aku banyak menderita). Pada
penerbitan pertama tidak sukses karena penerbitnya seorang sastrawan ternama
saat itu merasa terganggu. Pada penerbitan berikutnya novel itu sukses hingga sekarang
diterbitkan dalam berbagai bahasa, dan difilmkan.
Apakah nasib rakyat Banten Kidul
(selatan) membaik setelah itu? Bahkan seorang teman saya, wartawan sebuah
harian ibukota, menceritakan bahwa semasa menjadi mahasiswa pada 1991 ia
mengadakan praktik lapangan ke Lebak. Ia terkejut sebab nasib rakyat di
pedesaan belum berubah seperti dilaporkan Douwes Dekker dalam Max Havelaar. Pada kira-kira tahun 2006
ia ke sana lagi karena tugas kantor, keadaan tidak berubah.
Informasi
teman tersebut tentu juga mengejutkan saya. Pada tahun 1986 yang bertugas ke
negeri Belanda dan masuk museum lilin Madamme Tussaud yang terkenal. Di sana
patung lilin almarhum Presiden Soekarno diletakkan berdampingan dengan patung
Douwes Dekker si Multatuli. Terbaca oleh saya bahwa tokoh kontroversial ini
meninggal pada 19 Februari 1887, artinya tahun berikutnya tepat 100 tahun ia
tiada. Sepulangnya ke Jakarta saya minta ijin atasan saya untuk menelusuri
jejak Multatuli di Lebak, tepat 100 tahun setelah meninggalnya bekas asisten residen
Lebak itu.
Gedung Multatuli “hilang”
Karikatur Multatuli dalam Het Oog |
Dengan
dipandu rekan reporter SKH Pos Kota
di Lebak, Sdr. Cheldrin, dan sejumlah teman dari harian lainnya saya menelusuri
apa yang pernah dilihat Multatuli di masa kerjanya sebagai asisten residen.
Perjalanan itu seperti sebuah mimpi yang membuai khayalan saya tentang masa
lalu Lebak. Pada tahun 1987 itu daerah Banten Kidul masih asri, rindang dan
sejuk. Beberapa “artefak” sebagai “peninggalan” Multatuli, sudah tidak tampak
lagi.
Bangunan
utama kantor asisten residen telah dibongkar waktu itu untuk dibangun rumah
sakit umum daerah. Gedung kantor serta kediaman resmi Multatuli diperkirakan
menhadap ke timur, berseberangan dengan rumah penjara, dibatasi sepotong jalan
yang kini bernama Jalan Multatuli. Sisa gedung besar itu ketika saya datang
tahun 1987 tinggal sisa-sisa lantai ubin dan bekas dapur yang ketika
digambarkan Multatuli sangat besar, tapi sayang janda Slotering (istri mendiang
residen Carolus yang meninggal dan menurut Multatuli akibat diracuni), tak mau memasak
bersama istrinya.
Pada
tahun 1987 dapur itu cukup untuk dijadikan kantor Askes plus sebidang ruang
rapatnya. Saya beruntung dapat bertemu dengan mantan Sekretaris Derah Lebak
saat pembongkaran gedung terjadi yaitu Bapak Kartadipura. Ia mengaku “bersalah”
terhadap pembongkaran gedung asisten residen saat itu karena keadaan mendesak
yang lebih penting yaitu untuk rumah sakit yang belum dimiliki Lebak. Menurut
Pak Kartadipura yang di tahun 1987 sudah sepuh sekali, usianya di atas 80
tahun, di awal tahun 1950-an ada tawaran dana dari pemerintah pusat untuk
membangun rumah sakit. Jangka waktunya sangat terbatas sehingga bila tidak
digunakan akan dipakai daerah lainnya.
Sebagai
Sekretaris Daerah, Pak Kartadipura cepat tanggap dan mengusulkan agar gedung asisten
residen Multatuli yang telantar kendati pun masih utuh, dibongkar untuk
membangun rumah sakit. Ketika itu pemerintah daerah sulit mendapatkan lahan
sesuai untuk keperluan tersebut. Ada banyak lahan, tapi letaknya di seberang
Sungai Ciujung yang di era Multatuli menjadi terkenal, namun sulit dicapai.
Maka atas usul Pak Kartadipura dibongkarlah gedung bersejarah itu.
“Memang
sayalah yang punya inisiatif itu. Kalau dibilang salah ya salah, tapi waktu itu
kami kebingungan mencari tanah untuk rumah sakit,” katanya ketika ditemui di
rumahnya di Jalan Patih Derus, Rangkasbitung (Harian Pos Kota, Kamis 19 Februari 1987). Itulah kenapa gedung asisten
residen itu “hilang” sedangkan gedung milik “musuh” Multatuli, yaitu Bupati
Raden Adipati Kartaneegara masih utuh hingga sekarang dipakai para bupati
Lebak.
Tidak berubah
Salah satu pose Multatuli yang terkenal |
Ketika kami mencari sisa-sisa
bangunan yang mungkin pernah dipakai Demang Parangkujang Raden Wirakusumah,
kami melewati daerah pedesaan Lebak, Banten Selatan itu. Pemandangan saat itu
cukup mengejutkan sebab rumah-rumah penduduk masih beratap rumbia, berdinding
anyaman bambu (gedhek) seperti yang
diceritakan dalam Max Havelaar. Harpan kami waktu itu agar keadaan cepat
berubah di tengah laju pembangunan masa Orde Baru yang lumayan pesat. Teman-teman
dari harian lain menemukan sejumlah gedung sekolah yang dibangun melalui dana
Inpres juga sudah rusak.
Jalan menuju Parangkujang juga tidak
mudah, ketika itu belum beraspal, berbatu-batu persis gambaran Multatuli, 100
tahun lebih sebelumnya. Harus diakui, alam Lebak tahun 1987 masih menyajikan
kesejukan alami dan damai.
Kantor wedana yang berada di Gunung
Kencana ini memang kami temukan, tapi menurut petugasnya, gedung ini masih
relatif baru dan dia tidak yakin setua dalam kisah Multatuli. Pak Ali, sesepuh
kampung Gunung Kencana ikut membangun kantor itu, berarti tidak lebih tua dari
pergantian Abad Ke-20. Berdasarkan informasinya, kantor lama berada di desa Parangkujang.
Guna mencapai desa itu, pada tahun 1987 sungguh bukan usaha mudah. Kami harus
menembus padang ilalang sejauh 50 meter kemudian untuk menyerahkan sepeda motor
kami ke tanah dan harus rela berjalan kaki menembus padang yang semakin rapat
dan setinggi manusia berdiri.
Makan Bupati Lebak Kerta Natanegara di belakang mesjid agung Rangkasbitung. Foto diambil tahun 1987. |
Sejak tahun 1982 Parangkujang
dimekarkan menjadi dua yaitu Desa Parangkujang dan Desa Kujangsari. Di ujung
perjalanan yang cukup avonturir ini kami temukan bukit yang terbelah dan di
sana ada makam dan 150 meter dari situ terdapat bekas bangunan kawedanaan
Parangkujang yang tidak bersisa kecuali tebaran pecahan keramik cina dan batu
bata kuno. Sulit memastikan apakah di sana pernah berdiri kantor Raden
Wirakusumah.
Max Havelaar dalam majalah Het
Oog
Baiklah itu semua sebagian kecil
dari perjalanan saya untuk menelusuri kembali jejak Multatuli di Lebak. Masa
kerjanya yang terlalu singkat, sekitar tiga bulan saja, tentunya tidak
memungkinkan bagi Eduard Douwes “Multatuli” Dekker untuk “blusukan” hingga ke Kecamatan Cileles yang berjarak sekitar 25 km
dari Rangkasbitung. Masih banyak lagi pengalaman menarik yang saya jumpai selama
“penelusuran” itu yang saya tuliskan untuk Harian Pos Kota edisi tanggal 17 hingga 21 Februari 1987.
Perjalanan menuju Desa Kujangsari. (Repro Het Oog) |
Satu hal yang menggembirakan saya
begitu tulisan itu diterbitkan Pos Kota,
seorang dosen Univ. Indonesia, Sdr. Kees Snoek, datang menemui saya bertanya
tentang perjalanan itu. Rupanya baru Pos
Kota yang memuat seratus tahun wafatnya Multatuli. Ia minta sejumlah foto
dokumentasi yang saya buat, antara lain yang menarik perhatian dia adalah makam
Raden Adipati Karta Natanegara di belakang mesjid agung Rangkasbitung. Makam
ini pada tahun 1987 biasa saja, tidak terawat. Berkat jasa Sdr. Cheldrin yang
pandai membaca aksara Arab, maka terkuak bahwa salah satu dari sekian puluh
makam yang kami periksa adalah makam Bupati Lebak Raden Adipati Karta
Natanegara. Foto kedua yang menarik perhatian Sdr. Kees Snoek adalah perjalanan
kami untuk menemukan kembali bekas gedung kantor kawedanaan Parangkujang. Maka
foto-foto itu menjadi bagian dari ilustrasi artikelnya di majalah sastra negeri
Belanda, Het Oog, edisi Juni 1987,
berjudul Multatuli herdacht in het land
van Saidjah en Adinda.
Kesan saya, Max Havelaar tetaplah hidup aktual selama nasib rakyat kebanyakan
di pelosok-pelosok Lebak, Banten Selatan tidak meningkat harkat-martabat
hidupnya. Kita percaya hal itu akan terjadi, sebab sudah sekian lama pemerintah
mengucurkan dana bagi pembangunan Banten, termasuk Lebak. Malahan selama 10
tahun terakhir mereka telah berpisah dengan Jawa Barat dan membentuk
provinsinya sendiri, Provinsi Banten, dengan harapan tentunya agar kegelisahan
Daouwes Dekker alias Multatuli lewat sosok Max Havelaar terobati.
Perjalanan sejarah
Membaca buku Max Havelaar adalah sebuah perjalanan panjang menelusuri sejarah
kepahitan hidup, baik warga Lebak maupun Douwes Dekker sendiri, lewat gaya
sastra yang menawan. Buku ini pertama kali terbit melalui Penerbit Djambatan,
pada tahun 1972, diterjemahkan oleh H.B. Jassin, dengan subsidi dari pemerintah
Belanda. Buku itu laris manis dan penerbitan selanjutnya berlangsung hingga
yang ke-6 tahun 1985.
Tahun 2013 Max Havelaar diterbitkan kembali lewat Penerbit Padasan (baca juga:
resensi buku Max Havelaar edisi 2013)
Teks foto paling atas:
Repro artikel mengenai 100 tahun wafatnya Multatuli di SKH Pos Kota . Insert adalah Pak Kartadipura (alm) Sekretaris Daerah Kab. Lebak yang mempunyai ide membangun rumah sakit di bekas gedugn asisten residen Lebak.
Komentar
Posting Komentar