-
- Setiawan Jodhi, Abdel, dan artis populer lain pelanggan setianya
Warung
mie Jawa satu ini tak punya nama atau merk apa-apa. Tempatnya agak terpencil di
sudut barat pasar pisang Pisangan Lama, Jatinegara, sisi utara. Tapi warung ini
nyaris tak pernah sepi pengunjung sejak mulai buka pukul 17.00 sampai 23.00. Istimewanya,
para pelanggan setianya turun-temurun dari orangtua, anak, cucu, bahkan sampai
ke cicit pula.
Bentuk
warungnya pun tak banyak berubah sejak awal thun 1963, hanya ada perbaikan
sekedarnya serta warna cat yang berganti-ganti. Warung mie Jawa gaya Yogyakarta
ini dirintis oleh almarhumah Bu Marsiyem, sejak awal tahun 1956-an. Semula Bu
Marsiyem berjualan di depan kantor Perusahaan Film Negara (PFN) di Jalan
Otista, Bidaracina, Jaktim. Suaminya memang bekerja di perusahaan negara
tersebut. Di sana ia mendapat langganan lumayan banyak. Akan tetapi karena
keadaan, ia memindahkan tempat berjualannya ke pasar pisang Pisangan Lama,
Jatinegara, pada tahun 1963. Di sana ia mendapat tempat sempit tapi cukup
strategis karena banyak orang berbelanja di situ dan mudah dicapai.
Kebetulan
pada saat itu sedang dilaksanakan pembangunan jalan by pass dari Tanjung Priok
hingga Cililitan, sehingga banyak pekerja yang menjadi langganannya.
Lama-kelamaan
langganannya semakin banyak. Promosi tak pernah dilakukan, sesuai dengan gaya
berjualan warung tradisional, akan tetapi lidah tak dapat ditipu oleh gembar-gembor
iklan. Maka popularitas warung mie Jawa ini didapat dari berita mulut ke mulut.
Para pelanggan membawa keluarganya ke warung mie ini sehingga dari pertengahan
dekade 50-an banyak penikmat yang menurun hingga ke cicitnya, mungkin bisa
lebih lagi.
Langganan artis
Walaupun
tempatnya sangat sederhana, diam-diam popularitas warung Bu Marsiyem ini
merambat ke mana-mana, hingga ke kalangan artis. Tercatat
seniman-budayawan-pengusaha Setiawan Djodhi sebagai langganan setianya sejak
lama. Setiap kali ada latihan musik Kantata Takwa, warung mie Jawa ini
dipanggil ke Kebon Jeruk, tempat tinggal Djodhi. Di sana Bu Sulastri, penerus
Bu Marsiyem, memasak mie rebus gaya Jawa Yogyakarta untuk para anggota band dan
krunya.
Selain
itu komedian-pembawa acara Abdel juga tercatat sebagai pelanggan setianya.
Belum lagi almarhum Ade Namnung, yang sangat tergila-gila pada mie gorengnya.
Dua porsi bisa ludes. Padahal Ade memiliki resto sendiri di daerah Kuningan.
Tapi untuk mie rebus gaya Yogya, ia memilih warung terpencil di Pisangan Lama
ini.
Bawang khusus, ayam kampung, telur itik
Warung
mie satu ini memang terkenal dengan mie rebusnya dibanding mie gorengnya. Rasanya
berbeda dengan racikan bumbu mie tradisional daerah lainnya. Kalau pun mirip,
mie rebus di sini lebih legit. Bu Marsiyem (kini sudah lamarhumah) menuturkan
kepada saya bahwa bawang putih yang dipakai bukan bawang sembarangan yang dapat
dijumpai di pasaran.
Ia mendatangkan
bawang dari daerah Temanggung. Menurutnya bawang putih dari satu daerah di
Kabupaten ini sangat kuat aromanya, sehingga masakan menjadi lebih sedap.
Selain itu warung mie Jawa satu ini hanya menggunakan ayam kampung serta telur
bebek/itik, dan kecap Cap Bango.
Daging
serta kaldu ayam kampung mempertebal rasa mienya, sedangkan telur itik lebih
kuat rasanya dibandingkan telur ayam biasa.
Bagi
pelanggan yang ingin membawa pulang mie Jawa rebus, warung ini memiliki teknik
tersendiri. Mie dipisah dan dibungkus memakai daun pisang, sedangkan kuahnya
dibungkus ke dalam plastik. Cara ini sudah dilakukan sejak dulu dan tetap
dipertahankan hingga sekarang guna menjaga kesegaran dan cita rasanya.
Generasi kedua
Warung
mie Jawa gaya Yogyakarta ini sekarang dikelola oleh putri kedua Bu Marsiyem
yaitu Bu Sulastri. Ia sudah “dikader” sejak muda dan akhirnya diserahi
tugas untuk melanjutkan usaha ini, agar tidak mengecewakan pelanggan setia yang
semakin banyak. Selama ditangani putri kedua dari dua putrinya, Bu Marsiyem hanya
mengawasi saja, hingga ia meninggal dunia pada tahun 1996 pada usia 76 tahun. Dulu
Bu Marsiyem sendiri yang memasak, tapi
lantaran usianya kian menua, ia menyerahkannya kepada orang yang dipercayanya yaitu seorang pria yang
sudah dipercaya selama 30 tahun. Rasanya tetap bertahan hingga sekarang karena
almarhumah sangat ketat mengawasi resep/formulanya. Bu Sulastri sendiri tidak
pernah mengubah resep keluarga itu.
Sedih bila….
Oleh
karena Bu Sulastri sudah begitu akrab dengan para langganan warung ibunya itu,
maka dia dapat mengenali satu per satu palanggannya.
“Yang paling sedih
itu kalau para pelanggan itu tahu-tahu datang sendirian tanpa suami atau
istrinya, lalu saya tanya kenapa. Ternyata suami atau istri mereka telah
meninggal sebelumnya. Saya ikut sedih,” ujarnya.
Diakui Bu Sulastri,
kebanyakan pelanggannya adalah pria atau perempuan tengah umur, bukan anak-anak
remaja yang lebih suka masakan bergaya Barat.
“Tapi satu dua orang
ada yang ikut orang tua mereka lantas malah jadi pelanggan warung mie ini,”
tambah Bu Sulastri.
Di
tengah kesibukan orang berlalu-lalang berbelanja di pasar pisang, atau sekedar
lewat saja, ditambah bila malam hari ada grup kesenian kliningan asal Krawang
di bawah jembatan tol, maka menikmati mie rebus gaya Yogya ini semakin nikmat
saja.
Komentar
Posting Komentar