- Warung para seniman beken
- "Galeri luar" mahasiswa IKJ
Menjelang bulan puasa tahun
1433 H ini tepat setahun Bu Haji yaitu “Ibu” para seniman besar Jakarta yang
dulu sering “mangkal” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat,
meninggal dunia.
Dapat dikatakan, ialah tokoh di luar
bidang seni atau birokrasi yang membesarkan para seniman tersebut yang kemudian
nama mereka berkibar di forum nasional maupun internasional. Hampir semuanya
mengenal Bu Haji. Sehingga Bu Haji inilah yang benar-benar menjadi ibu bagi
para seniman besar – sebagian kini telah tiada – ketika mereka masih merintis
karir seninya. Bu Haji menjadi tempat berlindung, tempat berkeluh-kesah,
terutama – apalagi – kalau bukan soal uang dan – terutama sekali – tentang salah
satu naluri manusia yang paling dasar yaitu: makan.
Para seniman dan para calon seniman
yang kelaparan kala itu menjadikan warung Bu Haji tempat berlabuh paling aman.
Mereka mendapatkan makan dan minum secukupnya, lalu ketika semuanya sudah
kenyang, mereka tersenyum. Bu Haji mengerti, dan tanpa ekspresi emosi apa pun
ia akan menjawab, “Ya, sudah entar aja,” dalam logat Jawa Cirebon yang kental.
Akan tetapi para seniman itu banyak
yang tahu diri. Mereka lantas mencatat segala jenis hutangnya di satu buku
ekspedisi yang kecil panjang itu dan dibayar kalau, sekali lagi kalau, mereka
mendapatkan rejeki. Kalau tidak, mereka sering menunda, bahkan ada beberapa di
antaranya menunjukkan ekspresi seni mereka yaitu dengan cara: Menghilang!
Artinya tak nampak batang hidungnya lagi. Baru setelah lama sekali mereka pun muncul,
ada yang pura-pura lupa dan ada yang minta diskon hutangnya.
Sekali lagi Bu Haji tak pernah
marah. Wajahnya tetap tenang, tak ada nampak emosi senang, sedih, apalagi marah.
Biasa saja.
Bu Hasan, menantu almarumah Bu Haji yang meneruskan warung dengan gaya baru |
Nama kecil Bu Haji adalah Turina,
lahir pada tanggal 15 Mei 1930, berasal dari Kelurahan Kasugengan Kidul,
Kecamatan Plumbon, Kab. Cirebon, Jabar. Jadi kalau masih hidup, bulan Mei tahun
ini ia genap berusia 82 tahun. Ia menikah di usia muda dengan Pak Karsita,
tetangga kampungnya lantas dikarunia putra tunggal yaitu Hasan yang sudah
mendahului ibunya ke alam baka beberapa tahun silam.
Wajahnya yang tenang, bijaksana,
berawakan sedang, berkulit putih bersih, membuat Turina muda yang sudah jadi
janda itu dikejar-kejar pria yang ingin memperistrinya. Beberapa kali ia
membangun rumah tangganya dengan pria lain tapi selalu gagal sehingga Turina
memilih pergi merantau ke Jakarta bersama Hasan. Di ibukota Turina kebingungan
bagaimana melangsungkan hidupnya bersama si anak semata wayang.
Ketika itu Taman Ismail Marzuki
belum lama diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin tepatnya tahun 1968. Tursina
melihat ketika itu begitu banyak kegiatan di tempat tersebut, banyak orang ke
luar masuk, hilir-mudik di TIM. Tentunya mereka perlu makan dan minum, tapi
belum ada yang melayaninya. Akhirnya muncul ide untuk membuka warung makan sederhana
di seberang kompleks TIM, di bawah sebatang pohon kersen (widoro) yang rindang.
Si empunya rumah juga tak berkeberatan trotoar di depan tempat tinggalnya
dijadikan warung nasi. Pada awalnya warung berdiri aman, teduh, sejuk di bawah
kerindangan pohon kersen yang rimbun. Orang suka berteduh di tempat ini untuk
minum kopi, makan, atau sekedar melepas lelah. Bu Haji tak pernah
mempersoalkannya.
Tursina melihat, orang yang hilir
mudik umumnya dekil, rambut gondrong dan berpakaian awut-awutan, sehingga tidak
mungkin mereka membeli makanan mahal-mahal. Oleh sebab itu masakan warungnya
sederhana saja sehingga harganya terjangkau. Yang penting nasinya cukup
sehingga membikin pembelinya kenyang.
Langganannya selain para seniman
yang sering “nyaba” ke TIM juga para
tukang becak atau tukang helicak. Waktu itu becak masih boleh mondar-mandir di
daerah Cikini. Beberapa seniman yang sering mengunjungi warung Bu Haji antara
lain, Gerson Poyk, WS Rendra, Putu Wijaya, Cok Simbara, El Manik, dan Torro
Margens. Malahan Bu Haji pernah difilmkan oleh Putu Wijaya dan Torro Margens.
Dia sendiri tak tahu film apa dan kapan diputarnya.
Selain nasi, warung Bu Haji
menyajikan sayur labu siam, rendang daging, ati-ampela ayam, tempe orak-arik,
sayur tahu, telor ceplok, dan sop sederhana. Di samping itu ia juga menggoreng
tempe yang ukurannya lumayan besar, tahu, serta ikan kembung.
“Kitab
Perjanjian Lama”
Buku ekspedisi seperti yang sudah
disebutkan tadi penuh berisi daftar “dosa” para seniman. Jelasnya saja jumlah hutang-hutangnya,
persis seperti pembukuan harian dalam ilmu akuntansi, sekaligus pihutang Bu
Haji kepada para “calon orang besar”. Banyak dari mereka yang di kemudian hari
hilir mudik memakai kendaraan beroda empat, sedangkan Bu Haji tetap saja
berjualan nasi seperti dulu-dulu juga. Tak sedikit yang mengunjungi kembali Bu
Haji untuk beramah-tamah, bernostalgia rindu pada masakan warung yang sebetulnya
sangat standar. Memang, boleh dikatakan menu warung itu sejak berdiri di akhir
dekade 60-an tidak berubah. Kendati monoton, warung itu tetap dikunjungi para “debtor” alias tukang hutang.
Tentu saja tak semua seniman
menggunakan “fasilitas kredit lunak” Bu Haji. Tak sedikit yang membayar kontan.
Sedangkan bagi yang menghutang, ya
itu tadi, mengisi buku ekspedisi. Tentu saja buku daftar dosa itu cepat penuh,
sehingga perlu buku baru. Sedangkan yang lama tentu saja tak bakal dibuang
karena berisi “aset terhutang”.
Ya, namanya saja seniman, maka tak
elok kalau tak usil. Energi kreatifnya disalurkan ke mana saja asal muncul,
hingga tak urung buku ekspedisi pun menjadi sasaran. Buku catatan hutang yang
lama diberi judul tulisan “Kitab Perjanjian Lama”. Sedangkan buku hutang yang
baru diberi nama “Kitab Perjanjian Baru”. Celakanya ketika Kitab Perjanjian
Lama sudah habis maka muncul buku baru lagi, sehingga yang ketiga diberi judul “Kitab
Perjanjian Paling Baru karangan X (nama seseorang) dari Cirebon”.
Selain berisi daftar hutang makan,
kitab itu pun berfungsi sebagai sarana komunikasi antarmereka. Maklum pada saat
itu telepon masih sangat jarang, dan HP baru muncul 40 tahun kemudian sehingga
berisi pesan-pesan penuh pertanda, simbolisasi, dan kadang-kadang “fatwa”.
Para seniman yang sudah menghutang
makan itu terkadang masih pinjam uang kepada “Ibu” mereka dengan alasan untuk
ongkos pulang. Dan itu diberikan, tanpa persyaratan apa-apa.
Aneh memang kenapa Bu Haji begitu
murah hati memberi mereka pinjaman. Tapi justru itulah yang mengesankan dari
almarhumah.
Ikhlas, berkah
Menurut menantunya, Bu Hasan,
almarhumah sering memberi makan para seniman atau para sopir becak yang
kelaparan dan tak punya uang. Ia rela, ikhlas memberinya sehingga tak pernah
bertanya-tanya lagi. Kalau dibayar ia hanya mengucapkan, “Alhamdulillah, emang
sudah ada rejeki?”.
Rupanya kebaikan hati Bu Haji mendapatkan
berkah Illahi. Dengan warung nasi yang sederhana dan sering memberi hutang,
bahkan memberi makan mereka yang memerlukan, almarhumah ternyata mampu melaksanakan
rukun Islam yang kelima yaitu pergi berhaji pada tahun 1974 bersama anak
tunggalnya, dan diulanginya empat tahun kemudian. Siapa sangka?
Jadi sebenarnya almarhumah bergelar
Hajjah, tapi para pelanggannya sejak awal sudah terbiasa memanggilnya Bu Haji
hingga akhir hayatnya.
Warung Bu Haji Turina ini punya ciri
khusus. Menjelang bulan puasa, yaitu beberapa hari sebelum tiba Ramadhan, siapa
saja yang makan di warungnya diberi gratis, malahan boleh menambah.
“Silakan saja, ini munggahan,” ujarnya. Bagi yang
betul-betul kelaparan dan sedikit punya semangat nekad, kesempatan itu akan
digunakan sebaik-baiknya. Munggahan atau doa serta kenduri biasa dilakukan
masyarakat Jawa untuk menyongsong bulan Ramadhan.
Tetap eksis
walau sederhana
Menjelang adanya pelebaran Jalan
Cikini Raya, Bu Haji sudah pasang kuda-kuda. Ia mencari tempat berikutnya. Mungkin
karena terpesona oleh kedermawanan Bu Haji, sebuah perusahaan swasta yang ada
di sebelah kanan TIM memberinya tempat. Dinding gedung yang mengelilingi
halaman belakang dijebol, untuk warung Bu Haji di mana akses utamanya langsung
ke Jl. Cikini 9.. Rupanya tak sedikit karyawan perusahaan tersebut, dan juga
karyawan perusahaan lainnya di sektiarnya sering makan di warung
murah-meriah-berkah tersebut.
Bertahun-tahun tempat itu dibiarkan
apa adanya, segala perabotan masih seperti dulu juga. Malahan kaca etalase
sayurannya sudah bertahun-tahun dibiarkannya pecah. Kendati begitu warung tetap
ramai oleh para mahasiswa IKJ, seniman-seniman yang masih datang ke TIM,
karyawan swasta dan PNS. Tetap ramai sampai malam.
Galeri “luar”
Nampaknya kebiasaan menjadikan
warung Bu Haji sebagai sarana berkomunikasi masih berjalan, bahkan hingga jaman
HP ini. Sejumlah mahasiswa meninggalkan catatan-catatan di warung itu. Bahkan
warung kecil itu berubah menjadi semacam sanggar atau galeri bagi mahasiswa
IKJ. Mereka sering mendandani interior warung dengan barbagai macam kreasinya.
Setelah beberapa lama, lantas diganti oleh temannya yang lain.
"Galeri seni" di warung Bu Haji. Insert, almarhumah Bu Haji (Foto: Repro Tabloid Bersatu, edisi 2-10 Okt 2000 |
Jadi meskipun sempit, sederhana,
interior warung Bu Haji di samping TIM lantas berubah menjadi galeri di luar
arena TIM. Ini dapat dipahami sebab untuk memamerkan karya-karya mereka
memerlukan biaya. Maka tumbuhlah kerjasama antara pemilik warung dan seniman
muda itu, dan pengunjung lain dapat menikmati dekor yang selalu berganti dari
waktu ke waktu.
Warung Bu Haji
kini
Sesuai dengan tuntutan jaman, maka
warung Bu Haji yang “begitu-begitu saja” pun mulai berubah. Pemilik lahan
membuatkan tempat makan yang lebih bersih, teratur dan rapi. Warung Bu Haji
digusur dan sekarang sudah menempati pojok yang bersih, dengan etalase
aluminium menggantikan etalase yang kacanya sudah pecah.
Selain itu sudah ada beberapa kios
makan lainnya sehingga tempat itu kini lebih lengkap, bersih dan teratur.
Suasana Warung Bu Haji model lama kini hanya eksis di dalam sanubari para
pelanggan warung yang pernah mengalami kedermawanan Bu Haji. Sejak warung itu
diperbaiki seperti sekarang, Bu Hajjah Turina tidak lagi terjun langsung.
Fisiknya sudah renta dan sakit-sakitan. Semula pengelolaan diserahkan kepada
keponakannya, Tholib. Namun karena yang bersangkutan punya kesibukan sendiri,
Bu Haji mempercayakannya kepada menantunya yaitu Bu Hasan.
Menu warung ini sudah semakin
komplet dan penampilannya bersih, “modern”. Tapi bagi mereka yang pernah
menjadi pelanggan warung Bu Haji lama, maka tempat itu tinggal menjadi
“sejarah” dalam ingatan masing-masing.
Banyak seniman besar yang dulu
pernah menjadi pelanggan dan mendapatkan kemurahan hati Bu Haji kini sudah tak
pernah mengunjunginya lagi hingga meninggalnya Ibu yang dermawan itu setahun
lalu.
Semoga arwahnya diterima di sisi
Allah SWT, diampuni segala dosa dan kesalahannya dan diterima segala amal
ibadahnya. Amien ya robbal alamien.
Mengharukan
BalasHapus