Buku
Memaknai Aksara, Mengungkap Misteri Masa Lalu
Judul : Membaca dan Mengungkap Kearifan Masa Lalu
AKSARA DAN MAKNA
Penyusun : Dr. Machi Suhadi, dkk
Penerbit : Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia (AAEI)
BKKI (Badan Kerjasama Kesenian Indonesia)
BPKKI (Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia)
Juml Hlm : 274 halaman
Jenis kertas : HVS 80 gram
Ukuran : 16,5 x 24 cm
Namanya saja selalu bergulat dengan masa lalu maka tak ada kata terlambat jika dihitung dari usia kalender untuk menerbitkan buku mengenai epigrafi sesudah 10 tahun kemudian. Sejarah itu nampaknya makin lama makin mengasyikkan, begitu pula buku ini.
Buku yang merupakan presiding Kongres Asosiasi Ahli Epigraf (ahli pangkaji, penelaah prasasti) Indonesia di Malang tanggal 28 hingga 30 Mei 2001 ini, diterbitkan guna mengenang guru-guru para epigraf di Indonesia sesudah PD II yaitu Prof. Dr. Louis-Charles Damais (1911-1966); Prof. Dr. J.G. De Casparis (1916-2002); Prof. Dr. Buchari (1927-1991); dan Drs. M.M. Soekarto Kartoatmodjo (1928-1998).
Buku ini memuat 22 dari 40 makalah yang dibawakan di kongres, mulai mengenai huruf yang dipakai di prasasti di Indonesia, lalu kajian tentang Ken Arok (hal. 95), ekspedisi Gajah Mada ke Bali (hal. 137), hingga gerhana bulan dalam prasasti-prasasti.
R.P. Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengurai apa-apa mengenai epigrafi di Indonesia. Ia mencatat, Mpu Prapanca sebagai epigraf pertama di Nusantara yang kita ketahui hingga kini, terlihat dari kakawinnya, Negarakretagama (Desawarnana) di Pupuh XXXV mengenai prasasti di wihara Indarbaru. Prof. Dr. Edi Sedyawati yang menyebut epigrafi sebagai ajakan untuk tekun dan cermat (hal. 11). Pembaca juga diajak untuk mengamati batu pertanda peringatan kejatuhan Kerajaan Majapahit (hal 85).
Salah satu masalah yang cukup penting diketengahkan oleh penyaji makalah berjudul Prasasti Temuan Baru Pada Akhir Abad XX M, yaitu Machi Suhadi dari Pusat Arkeologi Nasional (hlm 15 – 27), mengenai kaitan buku sejarah di sekolah dengan penemuan-penemuan baru. Ia mengatakan, buku sejarah sekolah dibatasi dan disesuaikan dengan jam pelajaran, sehingga bahan sisanya yang mungkin penting harus diserap para guru. Ia mempertanyakan kemudian siapa yang harus bertanggungjawab pada penambahan atau perubahan bahan sejarah dalam buku tersebut? Apakah penulis yang juga peneliti prasasti apakah bebas memasukkan data baru ke dalam buku? Dan bagaimana legalisasinya pda ujian akhir nanti? Ia menyayangkan bila hasil temuan baru itu tidak dapat diketahui masyarakat umum kelak. Semoga setelah 10 tahun pertanyaan itu terjawab kini.
Buku ini sejatinya cukup penting bagi para epigraf, mahasiswa sejarah/arkeologi, peminat sejarah utamanya prasasti. Banyak hal yang bisa dipetik dari buku yang “terlambat” terbit ini.
Sayangnya, lepas dari buah yang bisa dinikmati, ada beberapa hal yang bisa ditarik kesan, yaitu buku ini terburu-buru terbit sehingga ISBN yang cukup penting bagi buku “ilmiah” semacam ini tak ada.
Bagi peminat, apalagi pemula, buku berkulit wajah warna biru terang ini penting dan perlu untuk dibaca. (Adji Subela)
Komentar
Posting Komentar