Sulit ya mengatur negara. Tapi sesulit apa pun satu negara mestilah hanya punya satu pemerintahan dan satu Presiden atau Kepala Negara. Kalau lebih dari itu bakal repot, kalau tidak ada, lebih runyam, juga kalau ada tapi seperti tak ada. Negara jadi buta tanpa nakhoda.
Mengatur pendidikan saja rumit. Bayangkan, kalau enggak ada Ujian Nasional, maka standard mutu murid seluruh negeri kacau, sulit diukur rata-rata. Dulu itu ujian diserahkan ke sekolah masing-masing. Maka mutu lulusannya jadi pertanyaan, sebab pendidikan sudah jadi komoditas bisnis, kalau tak banyak yang naik kelas, tak ada murid baru, jelas tak ada pemasukan uang baru. Wajar saja bagi negeri yang sudah serba uang seperti ini. Idealisme masa kemerdekaan dulu pupus.
Maka wajarlah kalau Kementerian Pendidikan Nasional bikin Ujian Nasional, supaya terukur standard mutu lulusan sekolah. Yang repot tentu para guru, murid dan orangtuanya masing-masing. Guru malu kalau muridnya banyak yang enggak lulus, ketua yayasan sekolah swasta dan kepala sekolah negeri menyesal setengah mati kalau bangku kelasnya masih padat isinya, orangtua tentu sedih kalau anak-anaknya enggak lulus, dan muridnya sendiri jelas setres.
Makin setres kian lucu
Gara-gara semuanya setres maka tingkahnya pun lucu-lucu. Ada sekolah yang mengadakan upacara keagamaan sesuai kepercayaan masing-masing mohon ijabah Yang Maha Kuasa supaya lulus Ujian Nasional. Ada lagi yang melakukan upacara aneh-aneh, entah minta kepada siapa, semua minta kelulusan. Ada lagi yang murid sekolahnya ramai-ramai mencuci kaki para gurunya seperti upcara adat perkawinan itu. Celakanya ada lagi yang melakukan upacara ganjil-ganjil sampai malam, lupa kalau besoknya mereka ujian. Sudah mengantuk, enggak belajar, jelas runyam hasilnya nanti.
Kasihan benar ya. Tentu saja doa kepada Yang Maha Kuasa itu keharusan, tapi belajar keras itu yang utama. Tuhan tak akan meluluskan permintaan ummat kalau ummat sendiri tidak berusaha. No free lunch, tak ada makan siang gratis di sini. Ada usaha ada hasil, tanpa usaha bakalan hampa.
Setelah ujian, walaupun belum tentu lulus, sekelompok murid SLTA ramai-ramai bikin onar, bajunya dicoret-moret. Mereka nampaknya melepaskan setres yang baru mereka lalui dengan cara barbar seperti itu. Murid-murid sekolah, calon intelektual, calon pemimpin bangsa namun kepalanya kosong, maka yang masuk ke dalamnya ya sampah-sampah seperti itu. Mereka anak tiri jaman, sebab siapa peduli mereka? Guru sekedar mengajar, orangtua cuma menyerah, murid sekedar sekolah, pemerintah sekedar menerbitkan angka-angka.
Ujian nasional jaman dulu biasa saja
Di era 50 sampai 60-an murid-murid menjalani ujian nasional, tapi jarang yang aneh-aneh seperti sekarang ini. Ujian negara, begitu istilahnya dulu, tak pernah bikin semuanya sakit perut. Yang setres jelas mereka yang enggak siap karena malas belajar, merasa tak siap. Jadi ujian nasionalnya sesungguhnya tidak perlu jadi momok siswa jaman sekarang yang lebih tinggi kualitas fisiknya. Susu mereka formula, daging sudah banyak, vitamin sudah murah-murah, telur ayam bukan lagi barang mewah.
Murid yang hidup di era 50-60-an serba berkekurangan, tapi mentalnya baja, bukan mental kardus dan plastik. Arah hidup, mentalitasnya mantap karena belum banyak pemimpin yang “teler”, tokoh masyarakat dijamin patut dicontoh, ukuran atau nilai agama dan nilai kultural lainnya dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. Jadi kalau cuma menghadapi Ujian Nasional, ya jelas mereka tidak setres seperti anak-anak jaman teknologi informasi sekarang ini. Aduh.
Komentar
Posting Komentar