Cerpen
Flamboyan di Kaki Bukit
(Kris, selamat jalan!)
Oleh Adji Subela
Bunga flamboyan itu berseri-seri menyambut senja hari. Dari tepi jalan yang beraspal, dan melingkari bukit hijau, pohon-pohon yang kini sedang birahi itu nampak menghambur warna merah menyala-nyala di jauh di bawah sana, membakari hati yang terkena panah Dewa Cupido. Ketika angin senja mengembus pelan, daun-daun bunga itu terburai lalu jatuh melayang-layang menuruni bukit menuju lembah di bawah sana, entah di mana, dan sebagian lagi menebari pipa distribusi minyak mentah yang menghitam, meliuk-liuk kaku. Sinar matahari senja yang layu itu menguningi hijau pupus daun-daun flamboyan tadi dan menyoreti batang dahan dan pohonnya dengan arsir-arsir kuning emas kemilauan. Goresan-goresan van Gogh!
Di belakang sana, jauh di angkasa, langit sudah mulai membeku, bagaikan kanvas raksasa biru gelap dengan tumpukan awan jingga di sana sini, seolah maha karya Monet melengkungi kanopi langit. Atau sebuah Raden Saleh Bustaman, atau selembar besar Basuki Abdullah. Terkadang awan itu membentuk lidah yang luar biasa luasnya menekuk melindungi kita di atas sana, bak ibu yang telah capai lunglai hendak meninabobokkan anaknya yang lucu. Sesobek Rembrant yang dilukis di hutan kecil di pinggiran Zuiderzee, di bukit pasir memutih yang melindungi negeri si maestro itu dari ganasnya badai Laut Utara.
Jeritan burung-burung itu melengking-lengking dengan sesukanya, memanggil-manggil pasangannya untuk tidur malam. Pemuda yang duduk di tepi jalan itu tengah membayang-bayangkan kekasihnya. Untuk tidur malam. Gadis manis itu akan tidur di rumah prefab yang punya halaman luas hijau dan embusan hawa mesin pendingin udara. Dan pemuda itu dipastikan akan tidur di dalam sebuah rumah berdinding papan yang disusun bersap-sap, di bawah naungan seng bergelombang, menancap lesu di tengah padang ilalang berseling pohon kelapa yang telah menua.
Tiba-tiba angin mengembusnya dengan gemulai dan hatinya kian hanyut menuju angan yang enggan untuk padam selama berbulan-bulan ini. Kristina telah dengan kejam menisik hatinya dengan dawai emas hingga tak mampu lagi pemuda itu membiarkannya lepas. Lalu ketika rajutan itu kian merekat dibuai waktu, maka sekujur pembuluh darahnya telah terisi dengan satu nama itu saja dan sel-sel otaknya telah mengental menepis Dewi Ratih lainnya yang menunggu cintanya dengan sangat dahaga, dan mereka pun lalu berjatuhan lunglai tanpa daya, terkapar-kapar dinistakan Dewa Kama.
Kaki bukit hijau yang digemuruhi merah bunga flamboyan itu dibatasi oleh sederet panjang tonggak-tonggak besi setinggi dua meter yang dipertautkan menjadi satu dan mendapat sebutan yang amat menyakitkan: pagar pembatas. Ini sebuah produk manusia yang dimanipulasi dari ciptaan Allah, untuk dijadikan kotak-kotak pembatas dan menciptakan perbedaan-perbedaan hanya karena orang-orang di luar di sana tidak sama. Dan karena manusia memang berbeda-beda, dan mereka tak mau dipersamakan, karena alasan sosial, ekonomi, budaya, atau juga agamanya maka pagar pun menjadi simbol keamanan, plus sedikit banyak keangkuhan juga.
Pagar itu membikin hati pemuda kita kian kecut dan ciut setiap kali hari gugur dan menyusul pagi yang baru lagi. Kristina ada jauh dilindungi pagar besi itu. Setiap pagi ia pergi ke sekolah di kompleks perusahaan tempat ayahnya bekerja, memakai bus sekolah yang bermesin penyejuk udara. Alangkah gembiranya gadis manis itu.
Pemuda kita terpana ketika untuk pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan Kristina di sebuah gerai makanan cepat saji di kota Duri yang kecil.
Gadis itu nampak riang gembira dengan teman-temannya. Pesta ulang tahunnya bersama para sahabat kentalnya di klas di bulan September. Dari luar tertampak oleh pemuda itu Kristina cantik. Tiba-tiba imajinasi pemuda itu memuai. Kalau saja ia ikut dalam pesta ulang tahun ke delapan belas Kristina tersebut, ia tak akan ucapkan selamat ulang tahun di tempat itu. Ia akan mengajak Kristina untuk datang ke kamarnya. Lalu ia akan berkata: “Selamat ulang tahun sayang,” dan lalu dikecupnya bibir Kristina itu dengan gugup. Baru pertama kali itu ia mengecup bibir seorang gadis. Lantas dengan tersipu-sipu, Kristina mengusap bibirnya dengan ujung gaun kotak-kotak biru muda itu..........
Kalau saja seperti itu!
******
“Boleh berkenalan, dong,” kata pemuda itu pada suatu waktu ketika untuk kedua kalinya bertemu kembali dengan Kristina di warung bakso di ujung Jalan Kamboja, di tepi jalur pipa minyak besar-besar. Kalimat itu ia ucapkan dengan keberanian yang tak ada taranya.
“Kamu anak mana sih?” tanya Kristina tanpa maksud untuk bersungguh-sungguh. Gadis itu hanya melirik sebentar dan tak tergores kesan mendalam padanya. Yang dia lihat waktu itu hanyalah seorang pemuda kurus dengan pakaian yang amat sederhana, walaupun bersih dan rapi, berdiri dengan canggung di dekatnya.
“Namaku Inem,” jawabnya sekenanya.
“Aku Britney Spears,” jawab seorang teman Kristina. Yang lain-lainnya saling berebut menyebut nama penyanyi remaja asing, termasuk To Ming She, Christina Aguillera, atau Charlotte Church.
“Nampaknya kalian rombongan selebritis dunia yang sedang makan bakso di warung ini ya? Mau tur ke mana? Ke Jurong?” jawab pemuda kita itu. Ternyata pemuda kita pun punya rasa humor juga. Jurong adalah sebuah tempat penyeberangan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari kota Duri, di tengah hutan yang sepi.
“Eeee..enak aja,” ejek seorang teman Kris, yang semula mengaku sebagai Britney Spears. Sejak saat itu, Kristina memperhatikan pemuda kita ini. Ia bukanlah seorang pemuda kurus yang buruk muka. Sebaliknya, ia pemuda yang tampan, dengan pandangan mata lembut tapi tajam mendalam, menunjukkan kecerdasannya. Hanya saja dandanan cowok itu kelewat kuno betul. Sederhana saja, tapi rapi, dengan kemeja yang selalu dimasukkan ke celana panjangnya.
Ia bukanlah sosok remaja masa kini yang mengelu-elu mode apa pun yang ada di majalah-majalah, tapi ia adalah figur pemuda tahun 60-an ketika The Righteous Brothers menyanyikan lagu Unchained Melody yang jadi theme song film The Ghost yang dibintangi oleh Demy Moore, Whoopi Goldberg dan Patrick Swayze. Atau dandanan Bobby Vinton ketika melantunkan lagu Blue Velvet yang juga jadi theme song film yang berjudul sama arahan sutradara David Lynch dan merebut Academy Award sebagai The Best Picture itu.
Kristina sebenarnya ingin agar pemuda itu memakai celana sejenis denim dan kaos oblong dengan warna gegap gempita seperti gaya Benetton. Namun, di belakangan hari gadis itu akhirnya tahu juga bahwa pemuda kita ini adalah penerima bea siswa sekolah dari sebuah perusahaan joint venture tempat ayahnya bekerja karena kepandaiannya. Cowok kuno itu pun sering memenangkan lomba kecerdasan otak bahkan hingga ke Jakarta, dan hampir saja maju ke lomba Olimpiade Matematika Internasional kalau tidak keburu sakit liver. Selain bersekolah, ia pun harus membantu ayahnya yang seorang duda dengan tiga anak, membuat perabotan rumah tangga. Setiap harinya, ia harus berjalan kaki ke sekolah, mengalah kepada kedua adiknya agar keduanya bisa naik angkutan kota.
Di malam-malam yang panas di kampungnya yang terletak di tengah padang lalang, dan diselingi pohon-pohon kelapa yang menua, ia masih sempat membaca buku-buku bekas yang dikirimkan pamannya dari Jakarta. Terkadang pamannya yang menjadi pedagang buku bekas di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta itu, mengiriminya majalah-majalah berbahasa Inggris dari luar negeri. Pemuda itu paling suka membaca majalah Popular Mechanics dan Popular Electronics terbitan AS. Majalah-majalah itu kendati sudah bekas tetapi masih baik. Nampaknya pemiliknya terdahulu begitu berbaik hati untuk menyerahkan majalah yang amat berguna itu kepada tukang loak agar orang lain bisa membacanya dengan harga sangat murah. Di majalah tersebut pemuda kita melihat ada rubrik-rubrik yang menarik hatinya, terutama rancangan-rancangan perabotan rumah tangga. Oleh karena itu ia sering mendapat pesanan dari orang-orang asing dari perusahaan ayah Kristina bekerja.
Dan ketika ia harus mengantarkan pesanan perabotan yang sudah jadi ke kompleks perumahan perusahaan itu, pemuda kita girang bukan main. Ia bisa sekaligus mengunjungi Kristina di rumahnya.
Sedikit demi sedikit rasa kagum tumbuh dalam hati Kristina kepada kegigihan pemuda kurus ini. Ia mau menggerakkan tangannya untuk membuat sesuatu dan mendapatkan uang daripadanya. Bukan seperti teman-teman sepermainannya yang justru akan merasa malu dan merendahkan martabat keluarganya bila mencari uang sendiri dengan menjadi seorang tukang kayu! Gengsi, kata mereka!
Tapi itulah yang bisa dikerjakan pemuda kita. Ia tak punya modal untuk berdagang besar-besaran. Ia tak mampu membeli parfum luar negeri dari Pasar Bawah, Pekan Baru, atau dari Dumai untuk dijual kembali di Duri. Ia tak mampu membuka sebuah kafe agar remaja di kotanya dapat ngerumpi di sana. Tak ada modal padanya untuk membuat rental komputer atau video games. Ia hanya bisa menggergaji kayu dan membaca dengan penuh kesulitan majalah luar negeri dan berusaha untuk meniru rancangannya. Lalu ternyata usahanya itu cukup berhasil, perabot buatannya laku, justru di kalangan orang asing. Jadi percayalah, tukang kayu muda itu berotak encer dan berperilaku sopan dalam setiap penampilannya.
Cita-citanya untuk sementara ini adalah agar mutu furniture atau mebel di kotanya meningkat. Agar kusen-kusen, pintu dan jendela rumah-rumah mewah di kotanya semakin berkualitas pengerjaannya, sama seperti yang ia lihat di Jakarta dahulu. Ini saja dahulu.
Bagi pemuda kita itu sendiri, memasuki kompleks perusahaan minyak besar itu bukanlah pekerjaan mudah. Aturan di sana sangat ketat, seolah lingkungan mereka itu sebuah negara sendiri, terpisah dari penduduk sekitarnya. Setiap kendaraan yang memasuki daerah itu tak boleh memiliki kecepatan lebih dari 40 km per jam, dan pengendaranya harus memakai sabuk pengaman. Pengendara sepeda motor juga harus berhelm. Bila ada pelanggaran, maka petugas keamanan akan mendenda mereka dengan nilai dolar AS, tak ada tawar menawar.
Hutan di dalam areal perumahan itu juga terjaga baik. Malahan seorang suku anak dalam yang pernah masuk ke daerah ini memuji, justru di tempat itulah terdapat berbagai-bagai kayu atau tanaman asli Riau paling komplet. Di hutan di luar sana sudah habis dijarah orang.
Akan tetapi pemuda kita itu mengakui dalam hatinya, bahwa barangkali hanya kompleks perusahaan itu sajalah yang keadaannya sangat teratur, tertib di seluruh Riau, bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Ia tidak tahu betul, karena dirinya belum pernah ke daerah-daerah lainnya kecuali ke Jakarta untuk mengikuti lomba cerdas-cermat dahulu.
Pagar yang kuat membatasi wilayah eksklusif itu dengan kampung-kampung di sekitarnya. Tapi di setiap hari Minggu terbuka kesempatan bagi penduduk luar untuk berolahraga pagi di kompleks itu. Mereka boleh jogging berjalan kaki, atau mengikuti senam kesehatan jantung di sebuah lapangan di dalam kompleks itu. Dengan cara itu, penduduk sekitarnya ikut merasai keteraturan, kebersihan dan keindahan kompleks tersebut.
Pada pagi seperti itu, Kristina dan pemuda sederhana kita sering bertemu sekedar berbincang dan melepas rasa rindu mereka. Kristina pun terkadang merasa terkungkung tinggal di dalam kompleks perumahan itu, walau pun segala rupa kebutuhan ada di dalamnya. Pertokoan tradisional, atau department store, restoran-restoran, sarana beribadah, sarana rekreasi dan pendidikan, tersedia semuanya di sana. Tapi Kristina merasa ia hanya bertemu dengan teman-teman yang sama. Ia sebenarnya ingin berteman pula dengan remaja lain di luar pagar. Dan pemuda kita itu menjadi teman satu-satunya dari wilayah yang asing di luar sana.
******
Empat bulan lewat begitu cepat. Kristina lulus ujiannya dan harus meneruskan kuliah ke Australia. Pemuda kita pun lulus dengan nilai terbaik dan harus tetap menjadi tukang kayu. Tak ada biaya untuk berkuliah, bahkan untuk perguruan tinggi terdekat dan termurah pun. Sebuah otak brilian hampir tersia-siakan. Kalau saja pemuda kita itu bukan anak alim dan berbudi halus, ia akan terhasut untuk menjadi teroris yang pandai.
Ia tidak frustasi, karena ia sudah menyadari keberadaannya jauh-jauh hari sebelumnya. Setiap kali ia selesai bersholat ia selalu minta ampun dan minta petunjuk kepada Tuhan agar ia diberi jalan terang dalam menyeberangi lautan hidup yang penuh badai puting beliung itu.
Pemuda kita itu masih terus membuat perabot kayu dengan model mutakhir, seperti yang ia contoh dari majalah-majalah, kemudian lalu menjualnya. Itu bukan pekerjaan yang membuatnya menjadi kaya, tapi membuat ia lebih percaya diri bahwa tangannya dapat bekerja dan tidak sekedar menadah atau menodong.
“Sorry, ya, aku harus berkuliah ke luar negeri,” ucap Kristina pada suatu petang.
“Selamat ya Kris, aku ikut senang kamu bisa meneruskan kuliahmu, semoga kamu tidak lupa pada Duri pada Riau dan.........,” pemuda kita tak tahan untuk mengatakan: aku “...aku akan selalu berdoa untukmu Kris, semoga cita-citamu berhasil.”
“Kamu punya rencana apa?” tanya Kristina.
“Tak ada terpikir rencana padaku. Yang aku hadapi adalah kenyataan bahwa aku harus terus menggergaji, mengetam dan membuat perabotan untuk membantu adik-adikku. Itulah kenyataan yang kuhadapi, Kris, dan aku harus jalani. Yang penting aku terus berjuang agar hari esok lebih baik dari hari ini. Aku kasihan kepada ayahku yang sudah tua, seharusnya beliau bisa istirahat. Tapi percayalah Kris, masih ada waktu tersisa untuk beribadah dan berdoa untukmu,” pemuda kita meyakinkan.
Kristina berdiam diri. Terasa sekali padanya, temannya itu ternyata berhati lembut. Kalau saja ia anak seorang yang berada, alangkah hebatnya dia itu.
“Kalau kamu sudah punya uang, apa kamu berniat berkuliah?” Kristina mejajagi lagi.
“Tentu Kris. Itu juga menjadi cita-citaku. Tapi aku mengalah untuk sementara waktu sampai ada kesempatan padaku muncul.”
“Kamu jangan menyerah, potensi kamu besar, sayang kalau tak kamu teruskan,” kata Kristina dengan begitu kaku, kikuk untuk menasihati pemuda yang pandai itu.
“Insya Allah Kris, doakan saja. Aku memang dengar, ada sekolah politeknik di Minas sana, tapi aku terus terang tak punya biaya, bahkan untuk pergi ke sana saja pun. Kalau pun aku bisa masuk di sana, aku tak tahu bagaimana harus hidup. Kalau pun mampu hidup, aku tak tega ayahku bekerja berat untuk adik-adik. Rasanya aku akan merampas hidup dan masa depan adik-adikku.”
“Kamu tak boleh gitu dong, berpikirlah positif,” bantah Kristina.
“Berpikir positif harus dong Kris, tapi berpikir taktis dan strategis juga perlu. Untuk saat ini aku belum mampu, tapi aku tak boleh menyerah. Itu jelas. Aku harus cari cara untuk mendapat kesempatan, selagi mengerjakan apa yang paling mendesak.. Riau ini akan mendapat kesempatan besar sekali Kris, masa aku tak mampu merebut harapan secuil saja. Aku harus merebut kesempatan dengan menyiapkan diriku baik-baik. Aku harus berjuang, karena aku lahir dari keluarga yang kurang beruntung. Mungkin saja perjuangan itu keras, tapi harus kulakukan. Aku tak ingin hanya jadi penonton yang menyedihkan dari kemajuan daerahku.... Dan aku malu kalau harus menadah-nadahkan tanganku ke mana-mana Kris. Itu tindakan yang tidak produktif sama sekali. Aku ingin orang memberi aku uang karena kecakapanku,” jawab pemuda kita.
Kristina hanya bisa memandangnya dengan wajah terkagum-kagum akan pendirian pemuda kita itu.
“Sudahlah, manfaatkan kesempatan yang diberikan orangtuamu Kris, sebab orang-orang seperti kami ini juga ingin sekali seperti kalian, tapi tak mendapat kesempatan serupa. Ketika kamu mendapatkannya, kamu harus berjuang untuk memempertahankan dan memanfaatkan setinggi-tinggi dan sebaik-baiknya. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja di sini. Kapan kamu berangkat?”
“Besok pagi, ke Jakarta dahulu,” jawab Kristina. Pemuda kita itu terkejut luar biasa. Nampaknya ini akan menjadi senja terakhir ia bertemu dengan gadis itu. Tiba-tiba wajahnya memucat. Gadis yang ia cintai diam-diam itu hendak pergi jauh, jauh sekali. Lembah hijau lebat yang dipenuhi flamboyan, dan yang memisahkan mereka selama ini, akan terus semakin melebar, dan kian menjauh hingga ke seberang lautan.
Dipandanginya Kristina dengan mata sayu. Ia kini harus mengatakannya, bahwa ia mencintai Kristina. Namun lidahnya likat sekali, sulit diajak berkata-kata. Dadanya pun kini bedetak-detak kencang. Tiba-tiba senja itu begitu kelabu, jauh mengayun ke sisi dunia di seberang sana tanpa ada sensasi apa-apa. Untuk pertama kalinya, badannya terasa ringan, pandangannya begitu enteng dan hatinya terasa sangat kosong, kosong sama sekali. Lama keduanya membisu. Kristina hanya menunduk duduk di rerumputan di kaki bukit itu, di senja yang terasa muram. Sepedanya tergeletak begitu saja di bawah, dan begitu pula sepeda pemuda kita itu.
“Kris, you know....I do love you Kris... it’s something crazy, maybe, but believe me...I’m....I’m crazy loving you...sorry ya Kris aku harus berterusterang...,” ucap pemuda kita dengan pelan sekali.
Sunyi. Hanya gerisik angin dan deru truk tronton jauh di balik bukit sana yang dapat didengar.
Lamat-lamat dari kejauhan terdengar lagu She’s A Lady dari Michel Stello. Sebuah lagu lembut, romantik mendayu-dayu yang ikut meremas-remasi hatinya di senja yang sayu......... changing the live in the dream.......she is a lady, lady lady lady lady..she is only dream in my heart.....
Akhirnya Kristina menarik nafas panjang. “Sorry ya aku harus pulang......,”ujarnya tanpa menoleh kepada pemuda kita dan ia terus meluncur menghampiri sepedanya lalu mengayuhnya pulang. Ia tak mampu memandangi wajah pemuda yang diam-diam ia kagumi ini.
Malas sekali rasanya pemuda kita meninggalkan tempat itu. Hari sudah semakin menggelap dan bau wangi bunga kemuning semakin merasuk-rasuk. Wangi menyengat membenturi kalbu pemuda kita. Bunga-bunga putih kemuning itu, sisa mekar dan wanginya semalam masih mengelus kalbu. Bunga yang telah gugur itu berpercikan bertaburan di semak di belakangnya, mengiringi sebuah nada sendu hati yang hancur. Malas sekali nampaknya pemuda itu turun dari kaki bukit, kemudian menggapai sepeda tuanya. Dikayuhnya pelan-pelan sepedanya menyusuri jalan beraspal yang kini menghitam di keremangan senja.
Tiba-tiba ia dengar kini lagu yang merayu dari kejauhan tadi telah berganti dengan Boulevard-nya Dan Byrd, lamat-lamat sekali terdengar bergelombang muncul lalu terkadang fading hilang ditelan muramnya senja,...I don’t know why.... you said good bye.....just let me know....you make me cry... you left me on that boulevard.....come again you would release my pain......come back to me and would be happy together.........
******
Hampir setahun sudah perpisahan yang pilu perih itu berlalu. Kini, di bulan September, di saat Kristina seharusnya berulang tahun ke sembilan belas, pemuda kita kembali duduk melamun di kaki bukit cinta yang kini telah pula dipenuhi bunga flamboyan yang bermekaran penuh asmara. Sebuah ironi buat pemuda kita yang kini hatinya kelu mengenang perpisahannya dengan Kristina berbulan-bulan yang lalu. Dilihatnya telapak tangannya telah mengeras, diketam waktu dan nasib yang begitu kejam.
Hampir setahun telah berlalu Kristina belajar di Australia, dan pemuda kita masih tetap mengetam, menggergaji kayu-kayu. Pesanan sudah tak banyak lagi belakangan ini, dan hidup begitu menekan. Tiga bulan lalu ayahnya meninggal dunia karena sakit liver dan kini pemuda kita harus menjadi kepala keluarga buat melindungi adik-adiknya.
Impiannya untuk berkuliah di politeknik semakin menguap jauh di awang-awang, melayang hanyut entah ke mana nantinya. Setiap hari hidup semakin menekan. Tak ada pesanan datang. Sejak siang hari tadi pemuda kita hanya bersepeda menyusuri pagar pembatas, berkeliling untuk menghijaukan matanya yang kini telah kuyu. Esok hari ia harus menyediakan sekian rupiah untuk bekal adik-adiknya bersekolah. Rumah papannya yang beratap rumbia nampak semakin tua, dan ilalang semakin mencoklat gersang.
Menjelang senja hari ia tiba di kaki bukit ini, yang dulu memberinya kesempatan untuk mengucapkan kata cintanya pada Kristina. Udara sejuk mengembusnya pelan-pelan.
Terlihat olehnya bunga flamboyan itu berseri-seri kembali menyambut senja hari. Dari tepi jalan yang beraspal, dan melingkari bukit hijau, pohon-pohon yang kini sedang birahi itu nampak menghambur warna merah menyala-nyala di jauh di bawah sana, membakari hati yang pernah terkena panah Dewa Cupido. Ketika angin senja mengembus pelan, daun-daun bunga itu terburai lalu jatuh melayang-layang menuruni bukit menuju lembah di bawah sana, entah di mana, dan sebagian lagi menebari pipa distribusi minyak mentah yang menghitam, meliuk-liuk kaku. Sinar matahari senja yang layu itu menguningi hijau pupus daun-daun flamboyan tadi dan menyoreti batang dahan dan pohonnya dengan arsir-arsir kuning emas kemilauan. Goresan-goresan van Gogh!
Dan goresan itu melukai hati pemuda kita. Sebuah pemandangan muram kanvas Pizarro yang mengantar pelukisnya ke kemelaratan yang niscaya dan kemudian membawanya ke kematian, sebuah kanvas agung yang tak pernah ia pakai sebelumnya.
Aneh! Terdengar lagi lagu Boulevard-nya Dan Bird dari balik bukit! Lagu yang menyayat, didendangkan ketika ditinggal kekasihnya di sebuah boulevard di Tokyo. Boulevard itu di sini adalah sebuah bukit yang kini ditebari bunga-bunga flamboyan.
Mendengar lagu kuyu itu, pemuda kita hanya tersenyum lemah. Pandangannya menyayu, memandang merah menyalanya flamboyan di bawah sana.
Senja semakin muram, semakin muram, dan ia masih saja tetap terpaku di tempat duduknya, enggan berlalu.
Di rumah gubuk papannya, adik-adiknya sedang belajar di bawah temaram lampu tempel. Di meja mereka tampak tergeletak dua amplop tebal mewah yang baru datang petang hari tadi. Kedua adiknya tak berani membukanya. Mereka takut surat-surat itu berisi perintah penyitaan dari pengadilan atau surat penagihan utang. Satu surat berisi persetujuan dari bank untuk memberikan kredit dan yang lainnya berisi pesanan untuk pembuatan peralatan kantor serta rak-rak toko yang kini mulai bermekaran seperti flamboyan.
Suatu senja di Duri, Riau, 2003
Flamboyan di Kaki Bukit
(Kris, selamat jalan!)
Oleh Adji Subela
Bunga flamboyan itu berseri-seri menyambut senja hari. Dari tepi jalan yang beraspal, dan melingkari bukit hijau, pohon-pohon yang kini sedang birahi itu nampak menghambur warna merah menyala-nyala di jauh di bawah sana, membakari hati yang terkena panah Dewa Cupido. Ketika angin senja mengembus pelan, daun-daun bunga itu terburai lalu jatuh melayang-layang menuruni bukit menuju lembah di bawah sana, entah di mana, dan sebagian lagi menebari pipa distribusi minyak mentah yang menghitam, meliuk-liuk kaku. Sinar matahari senja yang layu itu menguningi hijau pupus daun-daun flamboyan tadi dan menyoreti batang dahan dan pohonnya dengan arsir-arsir kuning emas kemilauan. Goresan-goresan van Gogh!
Di belakang sana, jauh di angkasa, langit sudah mulai membeku, bagaikan kanvas raksasa biru gelap dengan tumpukan awan jingga di sana sini, seolah maha karya Monet melengkungi kanopi langit. Atau sebuah Raden Saleh Bustaman, atau selembar besar Basuki Abdullah. Terkadang awan itu membentuk lidah yang luar biasa luasnya menekuk melindungi kita di atas sana, bak ibu yang telah capai lunglai hendak meninabobokkan anaknya yang lucu. Sesobek Rembrant yang dilukis di hutan kecil di pinggiran Zuiderzee, di bukit pasir memutih yang melindungi negeri si maestro itu dari ganasnya badai Laut Utara.
Jeritan burung-burung itu melengking-lengking dengan sesukanya, memanggil-manggil pasangannya untuk tidur malam. Pemuda yang duduk di tepi jalan itu tengah membayang-bayangkan kekasihnya. Untuk tidur malam. Gadis manis itu akan tidur di rumah prefab yang punya halaman luas hijau dan embusan hawa mesin pendingin udara. Dan pemuda itu dipastikan akan tidur di dalam sebuah rumah berdinding papan yang disusun bersap-sap, di bawah naungan seng bergelombang, menancap lesu di tengah padang ilalang berseling pohon kelapa yang telah menua.
Tiba-tiba angin mengembusnya dengan gemulai dan hatinya kian hanyut menuju angan yang enggan untuk padam selama berbulan-bulan ini. Kristina telah dengan kejam menisik hatinya dengan dawai emas hingga tak mampu lagi pemuda itu membiarkannya lepas. Lalu ketika rajutan itu kian merekat dibuai waktu, maka sekujur pembuluh darahnya telah terisi dengan satu nama itu saja dan sel-sel otaknya telah mengental menepis Dewi Ratih lainnya yang menunggu cintanya dengan sangat dahaga, dan mereka pun lalu berjatuhan lunglai tanpa daya, terkapar-kapar dinistakan Dewa Kama.
Kaki bukit hijau yang digemuruhi merah bunga flamboyan itu dibatasi oleh sederet panjang tonggak-tonggak besi setinggi dua meter yang dipertautkan menjadi satu dan mendapat sebutan yang amat menyakitkan: pagar pembatas. Ini sebuah produk manusia yang dimanipulasi dari ciptaan Allah, untuk dijadikan kotak-kotak pembatas dan menciptakan perbedaan-perbedaan hanya karena orang-orang di luar di sana tidak sama. Dan karena manusia memang berbeda-beda, dan mereka tak mau dipersamakan, karena alasan sosial, ekonomi, budaya, atau juga agamanya maka pagar pun menjadi simbol keamanan, plus sedikit banyak keangkuhan juga.
Pagar itu membikin hati pemuda kita kian kecut dan ciut setiap kali hari gugur dan menyusul pagi yang baru lagi. Kristina ada jauh dilindungi pagar besi itu. Setiap pagi ia pergi ke sekolah di kompleks perusahaan tempat ayahnya bekerja, memakai bus sekolah yang bermesin penyejuk udara. Alangkah gembiranya gadis manis itu.
Pemuda kita terpana ketika untuk pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan Kristina di sebuah gerai makanan cepat saji di kota Duri yang kecil.
Gadis itu nampak riang gembira dengan teman-temannya. Pesta ulang tahunnya bersama para sahabat kentalnya di klas di bulan September. Dari luar tertampak oleh pemuda itu Kristina cantik. Tiba-tiba imajinasi pemuda itu memuai. Kalau saja ia ikut dalam pesta ulang tahun ke delapan belas Kristina tersebut, ia tak akan ucapkan selamat ulang tahun di tempat itu. Ia akan mengajak Kristina untuk datang ke kamarnya. Lalu ia akan berkata: “Selamat ulang tahun sayang,” dan lalu dikecupnya bibir Kristina itu dengan gugup. Baru pertama kali itu ia mengecup bibir seorang gadis. Lantas dengan tersipu-sipu, Kristina mengusap bibirnya dengan ujung gaun kotak-kotak biru muda itu..........
Kalau saja seperti itu!
******
“Boleh berkenalan, dong,” kata pemuda itu pada suatu waktu ketika untuk kedua kalinya bertemu kembali dengan Kristina di warung bakso di ujung Jalan Kamboja, di tepi jalur pipa minyak besar-besar. Kalimat itu ia ucapkan dengan keberanian yang tak ada taranya.
“Kamu anak mana sih?” tanya Kristina tanpa maksud untuk bersungguh-sungguh. Gadis itu hanya melirik sebentar dan tak tergores kesan mendalam padanya. Yang dia lihat waktu itu hanyalah seorang pemuda kurus dengan pakaian yang amat sederhana, walaupun bersih dan rapi, berdiri dengan canggung di dekatnya.
“Namaku Inem,” jawabnya sekenanya.
“Aku Britney Spears,” jawab seorang teman Kristina. Yang lain-lainnya saling berebut menyebut nama penyanyi remaja asing, termasuk To Ming She, Christina Aguillera, atau Charlotte Church.
“Nampaknya kalian rombongan selebritis dunia yang sedang makan bakso di warung ini ya? Mau tur ke mana? Ke Jurong?” jawab pemuda kita itu. Ternyata pemuda kita pun punya rasa humor juga. Jurong adalah sebuah tempat penyeberangan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari kota Duri, di tengah hutan yang sepi.
“Eeee..enak aja,” ejek seorang teman Kris, yang semula mengaku sebagai Britney Spears. Sejak saat itu, Kristina memperhatikan pemuda kita ini. Ia bukanlah seorang pemuda kurus yang buruk muka. Sebaliknya, ia pemuda yang tampan, dengan pandangan mata lembut tapi tajam mendalam, menunjukkan kecerdasannya. Hanya saja dandanan cowok itu kelewat kuno betul. Sederhana saja, tapi rapi, dengan kemeja yang selalu dimasukkan ke celana panjangnya.
Ia bukanlah sosok remaja masa kini yang mengelu-elu mode apa pun yang ada di majalah-majalah, tapi ia adalah figur pemuda tahun 60-an ketika The Righteous Brothers menyanyikan lagu Unchained Melody yang jadi theme song film The Ghost yang dibintangi oleh Demy Moore, Whoopi Goldberg dan Patrick Swayze. Atau dandanan Bobby Vinton ketika melantunkan lagu Blue Velvet yang juga jadi theme song film yang berjudul sama arahan sutradara David Lynch dan merebut Academy Award sebagai The Best Picture itu.
Kristina sebenarnya ingin agar pemuda itu memakai celana sejenis denim dan kaos oblong dengan warna gegap gempita seperti gaya Benetton. Namun, di belakangan hari gadis itu akhirnya tahu juga bahwa pemuda kita ini adalah penerima bea siswa sekolah dari sebuah perusahaan joint venture tempat ayahnya bekerja karena kepandaiannya. Cowok kuno itu pun sering memenangkan lomba kecerdasan otak bahkan hingga ke Jakarta, dan hampir saja maju ke lomba Olimpiade Matematika Internasional kalau tidak keburu sakit liver. Selain bersekolah, ia pun harus membantu ayahnya yang seorang duda dengan tiga anak, membuat perabotan rumah tangga. Setiap harinya, ia harus berjalan kaki ke sekolah, mengalah kepada kedua adiknya agar keduanya bisa naik angkutan kota.
Di malam-malam yang panas di kampungnya yang terletak di tengah padang lalang, dan diselingi pohon-pohon kelapa yang menua, ia masih sempat membaca buku-buku bekas yang dikirimkan pamannya dari Jakarta. Terkadang pamannya yang menjadi pedagang buku bekas di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta itu, mengiriminya majalah-majalah berbahasa Inggris dari luar negeri. Pemuda itu paling suka membaca majalah Popular Mechanics dan Popular Electronics terbitan AS. Majalah-majalah itu kendati sudah bekas tetapi masih baik. Nampaknya pemiliknya terdahulu begitu berbaik hati untuk menyerahkan majalah yang amat berguna itu kepada tukang loak agar orang lain bisa membacanya dengan harga sangat murah. Di majalah tersebut pemuda kita melihat ada rubrik-rubrik yang menarik hatinya, terutama rancangan-rancangan perabotan rumah tangga. Oleh karena itu ia sering mendapat pesanan dari orang-orang asing dari perusahaan ayah Kristina bekerja.
Dan ketika ia harus mengantarkan pesanan perabotan yang sudah jadi ke kompleks perumahan perusahaan itu, pemuda kita girang bukan main. Ia bisa sekaligus mengunjungi Kristina di rumahnya.
Sedikit demi sedikit rasa kagum tumbuh dalam hati Kristina kepada kegigihan pemuda kurus ini. Ia mau menggerakkan tangannya untuk membuat sesuatu dan mendapatkan uang daripadanya. Bukan seperti teman-teman sepermainannya yang justru akan merasa malu dan merendahkan martabat keluarganya bila mencari uang sendiri dengan menjadi seorang tukang kayu! Gengsi, kata mereka!
Tapi itulah yang bisa dikerjakan pemuda kita. Ia tak punya modal untuk berdagang besar-besaran. Ia tak mampu membeli parfum luar negeri dari Pasar Bawah, Pekan Baru, atau dari Dumai untuk dijual kembali di Duri. Ia tak mampu membuka sebuah kafe agar remaja di kotanya dapat ngerumpi di sana. Tak ada modal padanya untuk membuat rental komputer atau video games. Ia hanya bisa menggergaji kayu dan membaca dengan penuh kesulitan majalah luar negeri dan berusaha untuk meniru rancangannya. Lalu ternyata usahanya itu cukup berhasil, perabot buatannya laku, justru di kalangan orang asing. Jadi percayalah, tukang kayu muda itu berotak encer dan berperilaku sopan dalam setiap penampilannya.
Cita-citanya untuk sementara ini adalah agar mutu furniture atau mebel di kotanya meningkat. Agar kusen-kusen, pintu dan jendela rumah-rumah mewah di kotanya semakin berkualitas pengerjaannya, sama seperti yang ia lihat di Jakarta dahulu. Ini saja dahulu.
Bagi pemuda kita itu sendiri, memasuki kompleks perusahaan minyak besar itu bukanlah pekerjaan mudah. Aturan di sana sangat ketat, seolah lingkungan mereka itu sebuah negara sendiri, terpisah dari penduduk sekitarnya. Setiap kendaraan yang memasuki daerah itu tak boleh memiliki kecepatan lebih dari 40 km per jam, dan pengendaranya harus memakai sabuk pengaman. Pengendara sepeda motor juga harus berhelm. Bila ada pelanggaran, maka petugas keamanan akan mendenda mereka dengan nilai dolar AS, tak ada tawar menawar.
Hutan di dalam areal perumahan itu juga terjaga baik. Malahan seorang suku anak dalam yang pernah masuk ke daerah ini memuji, justru di tempat itulah terdapat berbagai-bagai kayu atau tanaman asli Riau paling komplet. Di hutan di luar sana sudah habis dijarah orang.
Akan tetapi pemuda kita itu mengakui dalam hatinya, bahwa barangkali hanya kompleks perusahaan itu sajalah yang keadaannya sangat teratur, tertib di seluruh Riau, bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Ia tidak tahu betul, karena dirinya belum pernah ke daerah-daerah lainnya kecuali ke Jakarta untuk mengikuti lomba cerdas-cermat dahulu.
Pagar yang kuat membatasi wilayah eksklusif itu dengan kampung-kampung di sekitarnya. Tapi di setiap hari Minggu terbuka kesempatan bagi penduduk luar untuk berolahraga pagi di kompleks itu. Mereka boleh jogging berjalan kaki, atau mengikuti senam kesehatan jantung di sebuah lapangan di dalam kompleks itu. Dengan cara itu, penduduk sekitarnya ikut merasai keteraturan, kebersihan dan keindahan kompleks tersebut.
Pada pagi seperti itu, Kristina dan pemuda sederhana kita sering bertemu sekedar berbincang dan melepas rasa rindu mereka. Kristina pun terkadang merasa terkungkung tinggal di dalam kompleks perumahan itu, walau pun segala rupa kebutuhan ada di dalamnya. Pertokoan tradisional, atau department store, restoran-restoran, sarana beribadah, sarana rekreasi dan pendidikan, tersedia semuanya di sana. Tapi Kristina merasa ia hanya bertemu dengan teman-teman yang sama. Ia sebenarnya ingin berteman pula dengan remaja lain di luar pagar. Dan pemuda kita itu menjadi teman satu-satunya dari wilayah yang asing di luar sana.
******
Empat bulan lewat begitu cepat. Kristina lulus ujiannya dan harus meneruskan kuliah ke Australia. Pemuda kita pun lulus dengan nilai terbaik dan harus tetap menjadi tukang kayu. Tak ada biaya untuk berkuliah, bahkan untuk perguruan tinggi terdekat dan termurah pun. Sebuah otak brilian hampir tersia-siakan. Kalau saja pemuda kita itu bukan anak alim dan berbudi halus, ia akan terhasut untuk menjadi teroris yang pandai.
Ia tidak frustasi, karena ia sudah menyadari keberadaannya jauh-jauh hari sebelumnya. Setiap kali ia selesai bersholat ia selalu minta ampun dan minta petunjuk kepada Tuhan agar ia diberi jalan terang dalam menyeberangi lautan hidup yang penuh badai puting beliung itu.
Pemuda kita itu masih terus membuat perabot kayu dengan model mutakhir, seperti yang ia contoh dari majalah-majalah, kemudian lalu menjualnya. Itu bukan pekerjaan yang membuatnya menjadi kaya, tapi membuat ia lebih percaya diri bahwa tangannya dapat bekerja dan tidak sekedar menadah atau menodong.
“Sorry, ya, aku harus berkuliah ke luar negeri,” ucap Kristina pada suatu petang.
“Selamat ya Kris, aku ikut senang kamu bisa meneruskan kuliahmu, semoga kamu tidak lupa pada Duri pada Riau dan.........,” pemuda kita tak tahan untuk mengatakan: aku “...aku akan selalu berdoa untukmu Kris, semoga cita-citamu berhasil.”
“Kamu punya rencana apa?” tanya Kristina.
“Tak ada terpikir rencana padaku. Yang aku hadapi adalah kenyataan bahwa aku harus terus menggergaji, mengetam dan membuat perabotan untuk membantu adik-adikku. Itulah kenyataan yang kuhadapi, Kris, dan aku harus jalani. Yang penting aku terus berjuang agar hari esok lebih baik dari hari ini. Aku kasihan kepada ayahku yang sudah tua, seharusnya beliau bisa istirahat. Tapi percayalah Kris, masih ada waktu tersisa untuk beribadah dan berdoa untukmu,” pemuda kita meyakinkan.
Kristina berdiam diri. Terasa sekali padanya, temannya itu ternyata berhati lembut. Kalau saja ia anak seorang yang berada, alangkah hebatnya dia itu.
“Kalau kamu sudah punya uang, apa kamu berniat berkuliah?” Kristina mejajagi lagi.
“Tentu Kris. Itu juga menjadi cita-citaku. Tapi aku mengalah untuk sementara waktu sampai ada kesempatan padaku muncul.”
“Kamu jangan menyerah, potensi kamu besar, sayang kalau tak kamu teruskan,” kata Kristina dengan begitu kaku, kikuk untuk menasihati pemuda yang pandai itu.
“Insya Allah Kris, doakan saja. Aku memang dengar, ada sekolah politeknik di Minas sana, tapi aku terus terang tak punya biaya, bahkan untuk pergi ke sana saja pun. Kalau pun aku bisa masuk di sana, aku tak tahu bagaimana harus hidup. Kalau pun mampu hidup, aku tak tega ayahku bekerja berat untuk adik-adik. Rasanya aku akan merampas hidup dan masa depan adik-adikku.”
“Kamu tak boleh gitu dong, berpikirlah positif,” bantah Kristina.
“Berpikir positif harus dong Kris, tapi berpikir taktis dan strategis juga perlu. Untuk saat ini aku belum mampu, tapi aku tak boleh menyerah. Itu jelas. Aku harus cari cara untuk mendapat kesempatan, selagi mengerjakan apa yang paling mendesak.. Riau ini akan mendapat kesempatan besar sekali Kris, masa aku tak mampu merebut harapan secuil saja. Aku harus merebut kesempatan dengan menyiapkan diriku baik-baik. Aku harus berjuang, karena aku lahir dari keluarga yang kurang beruntung. Mungkin saja perjuangan itu keras, tapi harus kulakukan. Aku tak ingin hanya jadi penonton yang menyedihkan dari kemajuan daerahku.... Dan aku malu kalau harus menadah-nadahkan tanganku ke mana-mana Kris. Itu tindakan yang tidak produktif sama sekali. Aku ingin orang memberi aku uang karena kecakapanku,” jawab pemuda kita.
Kristina hanya bisa memandangnya dengan wajah terkagum-kagum akan pendirian pemuda kita itu.
“Sudahlah, manfaatkan kesempatan yang diberikan orangtuamu Kris, sebab orang-orang seperti kami ini juga ingin sekali seperti kalian, tapi tak mendapat kesempatan serupa. Ketika kamu mendapatkannya, kamu harus berjuang untuk memempertahankan dan memanfaatkan setinggi-tinggi dan sebaik-baiknya. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja di sini. Kapan kamu berangkat?”
“Besok pagi, ke Jakarta dahulu,” jawab Kristina. Pemuda kita itu terkejut luar biasa. Nampaknya ini akan menjadi senja terakhir ia bertemu dengan gadis itu. Tiba-tiba wajahnya memucat. Gadis yang ia cintai diam-diam itu hendak pergi jauh, jauh sekali. Lembah hijau lebat yang dipenuhi flamboyan, dan yang memisahkan mereka selama ini, akan terus semakin melebar, dan kian menjauh hingga ke seberang lautan.
Dipandanginya Kristina dengan mata sayu. Ia kini harus mengatakannya, bahwa ia mencintai Kristina. Namun lidahnya likat sekali, sulit diajak berkata-kata. Dadanya pun kini bedetak-detak kencang. Tiba-tiba senja itu begitu kelabu, jauh mengayun ke sisi dunia di seberang sana tanpa ada sensasi apa-apa. Untuk pertama kalinya, badannya terasa ringan, pandangannya begitu enteng dan hatinya terasa sangat kosong, kosong sama sekali. Lama keduanya membisu. Kristina hanya menunduk duduk di rerumputan di kaki bukit itu, di senja yang terasa muram. Sepedanya tergeletak begitu saja di bawah, dan begitu pula sepeda pemuda kita itu.
“Kris, you know....I do love you Kris... it’s something crazy, maybe, but believe me...I’m....I’m crazy loving you...sorry ya Kris aku harus berterusterang...,” ucap pemuda kita dengan pelan sekali.
Sunyi. Hanya gerisik angin dan deru truk tronton jauh di balik bukit sana yang dapat didengar.
Lamat-lamat dari kejauhan terdengar lagu She’s A Lady dari Michel Stello. Sebuah lagu lembut, romantik mendayu-dayu yang ikut meremas-remasi hatinya di senja yang sayu......... changing the live in the dream.......she is a lady, lady lady lady lady..she is only dream in my heart.....
Akhirnya Kristina menarik nafas panjang. “Sorry ya aku harus pulang......,”ujarnya tanpa menoleh kepada pemuda kita dan ia terus meluncur menghampiri sepedanya lalu mengayuhnya pulang. Ia tak mampu memandangi wajah pemuda yang diam-diam ia kagumi ini.
Malas sekali rasanya pemuda kita meninggalkan tempat itu. Hari sudah semakin menggelap dan bau wangi bunga kemuning semakin merasuk-rasuk. Wangi menyengat membenturi kalbu pemuda kita. Bunga-bunga putih kemuning itu, sisa mekar dan wanginya semalam masih mengelus kalbu. Bunga yang telah gugur itu berpercikan bertaburan di semak di belakangnya, mengiringi sebuah nada sendu hati yang hancur. Malas sekali nampaknya pemuda itu turun dari kaki bukit, kemudian menggapai sepeda tuanya. Dikayuhnya pelan-pelan sepedanya menyusuri jalan beraspal yang kini menghitam di keremangan senja.
Tiba-tiba ia dengar kini lagu yang merayu dari kejauhan tadi telah berganti dengan Boulevard-nya Dan Byrd, lamat-lamat sekali terdengar bergelombang muncul lalu terkadang fading hilang ditelan muramnya senja,...I don’t know why.... you said good bye.....just let me know....you make me cry... you left me on that boulevard.....come again you would release my pain......come back to me and would be happy together.........
******
Hampir setahun sudah perpisahan yang pilu perih itu berlalu. Kini, di bulan September, di saat Kristina seharusnya berulang tahun ke sembilan belas, pemuda kita kembali duduk melamun di kaki bukit cinta yang kini telah pula dipenuhi bunga flamboyan yang bermekaran penuh asmara. Sebuah ironi buat pemuda kita yang kini hatinya kelu mengenang perpisahannya dengan Kristina berbulan-bulan yang lalu. Dilihatnya telapak tangannya telah mengeras, diketam waktu dan nasib yang begitu kejam.
Hampir setahun telah berlalu Kristina belajar di Australia, dan pemuda kita masih tetap mengetam, menggergaji kayu-kayu. Pesanan sudah tak banyak lagi belakangan ini, dan hidup begitu menekan. Tiga bulan lalu ayahnya meninggal dunia karena sakit liver dan kini pemuda kita harus menjadi kepala keluarga buat melindungi adik-adiknya.
Impiannya untuk berkuliah di politeknik semakin menguap jauh di awang-awang, melayang hanyut entah ke mana nantinya. Setiap hari hidup semakin menekan. Tak ada pesanan datang. Sejak siang hari tadi pemuda kita hanya bersepeda menyusuri pagar pembatas, berkeliling untuk menghijaukan matanya yang kini telah kuyu. Esok hari ia harus menyediakan sekian rupiah untuk bekal adik-adiknya bersekolah. Rumah papannya yang beratap rumbia nampak semakin tua, dan ilalang semakin mencoklat gersang.
Menjelang senja hari ia tiba di kaki bukit ini, yang dulu memberinya kesempatan untuk mengucapkan kata cintanya pada Kristina. Udara sejuk mengembusnya pelan-pelan.
Terlihat olehnya bunga flamboyan itu berseri-seri kembali menyambut senja hari. Dari tepi jalan yang beraspal, dan melingkari bukit hijau, pohon-pohon yang kini sedang birahi itu nampak menghambur warna merah menyala-nyala di jauh di bawah sana, membakari hati yang pernah terkena panah Dewa Cupido. Ketika angin senja mengembus pelan, daun-daun bunga itu terburai lalu jatuh melayang-layang menuruni bukit menuju lembah di bawah sana, entah di mana, dan sebagian lagi menebari pipa distribusi minyak mentah yang menghitam, meliuk-liuk kaku. Sinar matahari senja yang layu itu menguningi hijau pupus daun-daun flamboyan tadi dan menyoreti batang dahan dan pohonnya dengan arsir-arsir kuning emas kemilauan. Goresan-goresan van Gogh!
Dan goresan itu melukai hati pemuda kita. Sebuah pemandangan muram kanvas Pizarro yang mengantar pelukisnya ke kemelaratan yang niscaya dan kemudian membawanya ke kematian, sebuah kanvas agung yang tak pernah ia pakai sebelumnya.
Aneh! Terdengar lagi lagu Boulevard-nya Dan Bird dari balik bukit! Lagu yang menyayat, didendangkan ketika ditinggal kekasihnya di sebuah boulevard di Tokyo. Boulevard itu di sini adalah sebuah bukit yang kini ditebari bunga-bunga flamboyan.
Mendengar lagu kuyu itu, pemuda kita hanya tersenyum lemah. Pandangannya menyayu, memandang merah menyalanya flamboyan di bawah sana.
Senja semakin muram, semakin muram, dan ia masih saja tetap terpaku di tempat duduknya, enggan berlalu.
Di rumah gubuk papannya, adik-adiknya sedang belajar di bawah temaram lampu tempel. Di meja mereka tampak tergeletak dua amplop tebal mewah yang baru datang petang hari tadi. Kedua adiknya tak berani membukanya. Mereka takut surat-surat itu berisi perintah penyitaan dari pengadilan atau surat penagihan utang. Satu surat berisi persetujuan dari bank untuk memberikan kredit dan yang lainnya berisi pesanan untuk pembuatan peralatan kantor serta rak-rak toko yang kini mulai bermekaran seperti flamboyan.
Suatu senja di Duri, Riau, 2003
Komentar
Posting Komentar