Buku Mutiara Hati
Memoar Mayjen TNI (Purn) H. Barkah Tirtadidjaja)
Bagian Kedua
(lanjutan)
Penulis: Adji Subela
………….
Selama saya bertugas di Singapura itu, Pak Rasif tidak pernah ikut campur dengan urusan saya, dan membiarkannya berjalan sendiri. Akan tetapi dalam kaitan dengan tata hubungan luar negeri atau diplomatik, beliau selalu memberi bimbingan dan pengarahannya. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat, begitu pula istri saya. Kucik mendapat bimbingan langsung dari Ibu Razif mengenai tata pergaulan internasional dan sebagainya, karena istri saya itu memang masih sangat muda waktu itu.
Selain saya, tokoh yang juga dekat dengan beliau adalah Pak Soepardjo Rustam, yaitu ketika Pak Razif menjadi Dubes RI di Malaysia sedangkan Pak Pardjo sebagai Atase Militer seperti halnya saya dahulu.
Bapak Mr. Muhammad Razif sekarang sudah meninggal dunia, akan tetapi dua orang putranya mengikuti jejak ayahandanya menjadi duta besar.
Salah satu tugas saya di Singapura adalah melihat latihan-latihan kemiliteran di negera jiran itu kemudian membuat laporan-laporan dan mengirimkannya ke Jakarta. Pada waktu itu fokus perhatian pemerintahan di Malaya adalah memantau gerakan dan juga pemberantasan Malayan Communists Party, atau Partai Komunis Malaya. Kemudian cara bagaimana mereka mengadakan operasi-operasi militer dan sebagainya saya pelajari dengan cermat, lalu hasilnya saya kirim ke Jakarta. Kegiatan partai itu dalam melawan Inggris untuk mendapatkan kemerdekaannya sungguh luar biasa. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya sejarah Asia Tenggara apabila partai itu menang, sebab di Indonesia sendiri pada waktu itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang memupuk kekuatannya juga, setelah pemberontakannya di Madiun gagal.
Bersamaan dengan itu saya pun juga mendapat tugas untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi di Malaya serta Hongkong. Cakupan wilayah tugas saya demikian luas, dan menantang. Di bawah pengarahan Atase Militer kita di Bangkok, yaitu Pak Karim, saya jalankan tugas itu.
Saya relatif lebih mudah mengumpulkan informasi-informasi, karena istri saya punya hubungan keluarga dengan para Sultan di Johor, Selangor, Kedah, dan Perak. Raja Muda Selangor menikah dengan Tante istri saya, sehingga hubungannya amat erat. Jalur itu sangat menguntungkan saya dalam menjalankan tugas. Bahkan ayah Raja Muda itu ketika hendak naik haji, menyempatkan diri singgah ke rumah saya. Katanya – secara bergurau – beliau ingin menikmati masakan Medan! Dan itu menjadi tugas istri saya serta Tengku Seri Banun untuk menyiapkannya. Ke mana pun beliau pergi, selalu menggunakan kendaraan dinas saya yang memakai nomer korps diplomatik CD, sehingga sempat menjadi perhatian warga setempat. Mereka bertanya-tanya ada maksud apa Raja Muda itu bertandang ke rumah saya. Pasti ada sesuatu kepentingan yang amat serius. Padahal yang terjadi adalah, beliau ingin menengok keponakannya sendiri, yaitu istri saya.
Di Singapura itu pula lahir anak kami kedua, laki-laki, yaitu Hendrya, pada bulan Februari 1953. Kelahiran putra kami ini tentu saja melengkapi kebahagiaan keluarga saya. Maurina sekarang punya adik, dan tampaknya dia senang sekali. Terlihat oleh kami walau pun masih begitu kecil, ia begitu sayang kepada adiknya itu.
Rumah kami yang ada di Wilby Road itu berukuran besar. Lingkungannya amat indah dan asri, terletak di KM 6 dari pusat kota. Daerah ini memang menjadi lokasi kantor perwakilan asing di Singapura, dan lingkungannya sangat terhormat. Tak lama setelah itu, masih di tahun 1953 itu juga, datanglah perwakilan dari Jepang yang tinggal di dekat rumah kami ini, sehingga lingkungannya semakin semarak.
g Mengundang P. Ramlee
Kantor perwakilan Indonesia pada tahun 1953 itu mengadakan Hari Ulang Tahun Angkatan Perang yang pertama. Sebagai Atase Militer saya tentu menjadi pihak yang paling sibuk untuk mengadakan acara resepsinya. Saya mengundang para pejabat setempat, yaitu para pejabat bumiputera Malaya, Singapura, pejabat Inggris, dan beberapa lagi yang lain. Oleh karena ini acara pertama, maka saya minta agar dilaksanakan dengan istimewa. Tidak tanggung-tanggung, kami mengundang penyanyi terkenal di era 50-an, yaitu P. Ramlee. Biduan yang bersuara merdu itu, amat terkenal di kawasan Malaya maupun Indonesia. Ia datang bersama istrinya, Saloma, yang juga seorang aktris serta penyanyi kabaret populer di Kota Singa tersebut. Di kemudian hari, P. Ramlee diakui sebagai pahlawan nasional Malaysia.
Selain P. Ramlee, rupanya anak buah saya mengundang pula penyanyi lain yang sulit untuk mengatakan apakah dia itu seorang pria ataukah perempuan. Suaranya sangat merdu, sosoknya memang seperti seorang laki-laki, tapi segala tingkah lakunya lemah gemulai sebagaimana layaknya seorang perempuan. Orang Malaya menyebutnya pondan atau wadam. Tentu saja ini agak mengagetkan saya. Oleh karena itu saya coba cari tahu siapa penyanyi aneh itu.
“Saudara ini berasal dari mana?” tanya saya.
“Saya dari UK, Tuan,” jawabnya dengan gemulai, dan membuat saya lebih terkaget-kaget lagi karena ternyata dia berasal dari UK, United Kingdom. Bukan main.
“Bukan Tuan, bukan dari United Kingdom, tapi dari daerah Ulu Kelantan….,” sambungnya lagi sembari ketawa. Ah, ada-ada saja. Keanehan orang ini tidak di situ saja. Ternyata dia kenal baik dengan Presiden Soekarno. Hebat benar orang itu! Saya masih ingat namanya adalah Usman Gumanti. Belakangan saya baru tahu bahwa ia adalah salah seorang seniman yang cukup ternama di Singapura dan Malaya.
Sewaktu Bung Karno hendak menjalankan umroh tahun 1954, beliau menyempatkan diri singgah ke perwakilan RI. Itulah untuk pertama kalinya saya berhadapan langsung dengan tokoh tersebut. Kami beramah tamah dengannya selama kurang lebih setengah hari, kemudian beliau meneruskan penerbangannya ke Tanah Suci. Kepada kami semua, Bung Karno berpesan untuk selalu menjaga sikap dan wibawa di luar negeri, dan selalu menjaga nama baik Indonesia.
Di masa tugas saya di Singapura ini, saya sempat berkeliling ke berbagai Negara Bagian Malaya untuk bertemu dengan keluarga para Sultan. Kunjungan saya itu selain dalam rangka urusan keluarga, juga untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai keadaan di negeri jiran tersebut. Dan aktivitas dinas itu tidak menimbulkan kecurigaan pihak Inggris sama sekali karena para pejabat mereka tahu betul bahwa istri saya memang keluarga para Sultan tadi. Hubungan keluarga antara istri saya dengan para Sultan di Malaya benar-benar menjadi akses penting bagi saya untuk menjalankan tugas.
Memoar Mayjen TNI (Purn) H. Barkah Tirtadidjaja)
Bagian Kedua
(lanjutan)
Penulis: Adji Subela
………….
Selama saya bertugas di Singapura itu, Pak Rasif tidak pernah ikut campur dengan urusan saya, dan membiarkannya berjalan sendiri. Akan tetapi dalam kaitan dengan tata hubungan luar negeri atau diplomatik, beliau selalu memberi bimbingan dan pengarahannya. Banyak sekali pelajaran yang saya dapat, begitu pula istri saya. Kucik mendapat bimbingan langsung dari Ibu Razif mengenai tata pergaulan internasional dan sebagainya, karena istri saya itu memang masih sangat muda waktu itu.
Selain saya, tokoh yang juga dekat dengan beliau adalah Pak Soepardjo Rustam, yaitu ketika Pak Razif menjadi Dubes RI di Malaysia sedangkan Pak Pardjo sebagai Atase Militer seperti halnya saya dahulu.
Bapak Mr. Muhammad Razif sekarang sudah meninggal dunia, akan tetapi dua orang putranya mengikuti jejak ayahandanya menjadi duta besar.
Salah satu tugas saya di Singapura adalah melihat latihan-latihan kemiliteran di negera jiran itu kemudian membuat laporan-laporan dan mengirimkannya ke Jakarta. Pada waktu itu fokus perhatian pemerintahan di Malaya adalah memantau gerakan dan juga pemberantasan Malayan Communists Party, atau Partai Komunis Malaya. Kemudian cara bagaimana mereka mengadakan operasi-operasi militer dan sebagainya saya pelajari dengan cermat, lalu hasilnya saya kirim ke Jakarta. Kegiatan partai itu dalam melawan Inggris untuk mendapatkan kemerdekaannya sungguh luar biasa. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya sejarah Asia Tenggara apabila partai itu menang, sebab di Indonesia sendiri pada waktu itu Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang memupuk kekuatannya juga, setelah pemberontakannya di Madiun gagal.
Bersamaan dengan itu saya pun juga mendapat tugas untuk mengetahui segala perkembangan yang terjadi di Malaya serta Hongkong. Cakupan wilayah tugas saya demikian luas, dan menantang. Di bawah pengarahan Atase Militer kita di Bangkok, yaitu Pak Karim, saya jalankan tugas itu.
Saya relatif lebih mudah mengumpulkan informasi-informasi, karena istri saya punya hubungan keluarga dengan para Sultan di Johor, Selangor, Kedah, dan Perak. Raja Muda Selangor menikah dengan Tante istri saya, sehingga hubungannya amat erat. Jalur itu sangat menguntungkan saya dalam menjalankan tugas. Bahkan ayah Raja Muda itu ketika hendak naik haji, menyempatkan diri singgah ke rumah saya. Katanya – secara bergurau – beliau ingin menikmati masakan Medan! Dan itu menjadi tugas istri saya serta Tengku Seri Banun untuk menyiapkannya. Ke mana pun beliau pergi, selalu menggunakan kendaraan dinas saya yang memakai nomer korps diplomatik CD, sehingga sempat menjadi perhatian warga setempat. Mereka bertanya-tanya ada maksud apa Raja Muda itu bertandang ke rumah saya. Pasti ada sesuatu kepentingan yang amat serius. Padahal yang terjadi adalah, beliau ingin menengok keponakannya sendiri, yaitu istri saya.
Di Singapura itu pula lahir anak kami kedua, laki-laki, yaitu Hendrya, pada bulan Februari 1953. Kelahiran putra kami ini tentu saja melengkapi kebahagiaan keluarga saya. Maurina sekarang punya adik, dan tampaknya dia senang sekali. Terlihat oleh kami walau pun masih begitu kecil, ia begitu sayang kepada adiknya itu.
Rumah kami yang ada di Wilby Road itu berukuran besar. Lingkungannya amat indah dan asri, terletak di KM 6 dari pusat kota. Daerah ini memang menjadi lokasi kantor perwakilan asing di Singapura, dan lingkungannya sangat terhormat. Tak lama setelah itu, masih di tahun 1953 itu juga, datanglah perwakilan dari Jepang yang tinggal di dekat rumah kami ini, sehingga lingkungannya semakin semarak.
g Mengundang P. Ramlee
Kantor perwakilan Indonesia pada tahun 1953 itu mengadakan Hari Ulang Tahun Angkatan Perang yang pertama. Sebagai Atase Militer saya tentu menjadi pihak yang paling sibuk untuk mengadakan acara resepsinya. Saya mengundang para pejabat setempat, yaitu para pejabat bumiputera Malaya, Singapura, pejabat Inggris, dan beberapa lagi yang lain. Oleh karena ini acara pertama, maka saya minta agar dilaksanakan dengan istimewa. Tidak tanggung-tanggung, kami mengundang penyanyi terkenal di era 50-an, yaitu P. Ramlee. Biduan yang bersuara merdu itu, amat terkenal di kawasan Malaya maupun Indonesia. Ia datang bersama istrinya, Saloma, yang juga seorang aktris serta penyanyi kabaret populer di Kota Singa tersebut. Di kemudian hari, P. Ramlee diakui sebagai pahlawan nasional Malaysia.
Selain P. Ramlee, rupanya anak buah saya mengundang pula penyanyi lain yang sulit untuk mengatakan apakah dia itu seorang pria ataukah perempuan. Suaranya sangat merdu, sosoknya memang seperti seorang laki-laki, tapi segala tingkah lakunya lemah gemulai sebagaimana layaknya seorang perempuan. Orang Malaya menyebutnya pondan atau wadam. Tentu saja ini agak mengagetkan saya. Oleh karena itu saya coba cari tahu siapa penyanyi aneh itu.
“Saudara ini berasal dari mana?” tanya saya.
“Saya dari UK, Tuan,” jawabnya dengan gemulai, dan membuat saya lebih terkaget-kaget lagi karena ternyata dia berasal dari UK, United Kingdom. Bukan main.
“Bukan Tuan, bukan dari United Kingdom, tapi dari daerah Ulu Kelantan….,” sambungnya lagi sembari ketawa. Ah, ada-ada saja. Keanehan orang ini tidak di situ saja. Ternyata dia kenal baik dengan Presiden Soekarno. Hebat benar orang itu! Saya masih ingat namanya adalah Usman Gumanti. Belakangan saya baru tahu bahwa ia adalah salah seorang seniman yang cukup ternama di Singapura dan Malaya.
Sewaktu Bung Karno hendak menjalankan umroh tahun 1954, beliau menyempatkan diri singgah ke perwakilan RI. Itulah untuk pertama kalinya saya berhadapan langsung dengan tokoh tersebut. Kami beramah tamah dengannya selama kurang lebih setengah hari, kemudian beliau meneruskan penerbangannya ke Tanah Suci. Kepada kami semua, Bung Karno berpesan untuk selalu menjaga sikap dan wibawa di luar negeri, dan selalu menjaga nama baik Indonesia.
Di masa tugas saya di Singapura ini, saya sempat berkeliling ke berbagai Negara Bagian Malaya untuk bertemu dengan keluarga para Sultan. Kunjungan saya itu selain dalam rangka urusan keluarga, juga untuk mengumpulkan berbagai informasi mengenai keadaan di negeri jiran tersebut. Dan aktivitas dinas itu tidak menimbulkan kecurigaan pihak Inggris sama sekali karena para pejabat mereka tahu betul bahwa istri saya memang keluarga para Sultan tadi. Hubungan keluarga antara istri saya dengan para Sultan di Malaya benar-benar menjadi akses penting bagi saya untuk menjalankan tugas.
Komentar
Posting Komentar