Oleh Adji Subela
Bab Kedua
Tugas pertama ke luar negeri
Suasana upacara kesultanan di Kerajaan Johor, salah satu negara bagian yang tergabung ke Persekutuan Malaya, meriah sekali. Sebelum acara pokok dimulai, puluhan tamu penting telah memenuhi tribun utamanya. Panggung dihias sedemikian rupa, didominasi warna kuning keemasan, salah satu warna simbol kekuasaan di banyak kerajaan Melayu. Hiasan-hiasan itu dibuat dari kain satijn. Buket-buket bunga pun diletakkan di meja tamu di deret terdepan, sedangkan karangan bunga diletakkan di berbagai sudut halaman.
Para bangsawan yang berasal dari berbagai negara bagian seperti Selangor, Pahang, Kedah, Perak, dan lain-lainnya hadir dengan para istri mereka. Pakaiannya indah-indah, memakai perhiasan yang terbuat dari emas bertahtakan intan berlian. Tanda-tanda kebesaran bertengger di dada-dada mereka, keris yang juga berhulu ukiran emas dan permata terselip di pinggangnya.
Para tamu dibagi dalam baberapa kelompok. Ada tribun yang khusus diperuntukkan bagi para anggota keluarga kerajaan, letaknya cukup menyolok di bagian depan. Setelah itu tribun untuk para bangsawan yang diundang diletakkan di samping tribun utama, berikutnya para tamu dari perwakilan negara lain, letaknya tidak terlalu khusus.
Waktu itu saya menjabat sebagai attaché militer dengan pos saya di Singapura yang waktu itu belum berdiri sebagai negara tersendiri. Sebagai wakil negara asing, saya seharusnya menempati sisi yang tidak terlalu khusus itu bersama para kolega dari Indonesia serta negara lainnya. Di tribun tersebut duduk pula kepala perwakilan Indonesia, yaitu Bapak Hermen Kartowisastro, atasan saya.
Lama sebelum acara dimulai, yaitu ketika para tamu mulai berdatangan, saya cepat-cepat mendatangi Pak Hermen untuk meminta maaf sebesar-besarnya.
“Mohon ijin Pak, saya harus duduk di tribun khusus di depan itu, Pak,” kata saya.
Pak Hermen tidak terkejut mendengar permintaan maaf itu. Beliau berkata:
“Sudah, sudah, silakan saja, karena Anda ‘kan anggota keluarga.”
Saya lega sekali. Tahukah? Saya sebagai bawahan beliau, seharusnya duduk bersamanya di tribun bagi perwakilan asing. Tapi – nah ini masalahnya – saya menghadapi rasa kikuk yang besar kepada para kolega, khususnya Pak Hermen, karena diharuskan duduk di tribun depan dan khusus, tempat para keluarga Sultan Johor berada. Ini semua terjadi karena istri saya itu adalah kerabat dekat Sultan Johor. Hubungan antara Kesultanan Johor dan Langkat sangat erat sejak jaman dahulu karena adanya pertalian darah. Jadi saya pun, orang Jawa Barat yang tidak tahu-menahu, harus pula duduk bersama istri saya di tribun khusus itu karena pertalian darah Kucik ini. Untung Pak Hermen mengerti duduk persoalannya.
Kejadian itu rupanya berulang kembali pada kurang lebih 30 tahun kemudian, tepatnya 1986, kali ini lebih ‘seram’ lagi karena saya harus berhadapan dengan Duta Besar RI untuk Malaysia, Pak Himawan Sutanto. Saya kala itu menghadiri upacara peringatan jubileum bertahtanya Sultan Selangor di kursi kesultanannya, yang berlangsung di Kualalumpur. Pada waktu itu, saya sudah menjabat sebagai Dubes Yang Berkuasa Penuh RI di Mesir, Sudan, Somalia, dan Djibouti.
Kehadiran saya di Kualalumpur tentu mengagetkan sejumlah orang yang tidak mengerti silsilah istri saya dengan para Sultan di Malaysia. Pak Himawan Sutanto itu sudah lama saya kenal. Kami berasal dari Siliwangi, sama-sama berjuang di hutan-hutan untuk melawan agresi Belanda. Suaranya merdu sekali. Kalau Presiden Soeharto dikenal sebagai The Smilling General, maka Pak Himawan yang pernah menjabat sebagai Panglima Kostranas (Komando Strategi Nasional) serta Ketua Umum Kwartir Gerakan Pramuka itu, dijuluki sebagai The Singing General. Pada waktu Jendral M. Jusuf menjadi Panglima ABRI, Pak Himawan selalu kebagian tugas menyanyi bila ada acara santai, di samping Pak Wijogo Atmodarminto, yang pernah menjabat sebagai Pangkowilhan II serta Gubernur DKI Jakarta. Setelah menjadi Dubes RI di Malaysia, beliau mendapat gelar baru yaitu The Singing Ambassador.
Nah, ketika menghadiri upacara Sultan Selangor itu, beliau ditempatkan di tribun khusus untuk perwakilan negara sahabat. Pak Himawan kelihatan agak kaget melihat kehadiran saya di sana, apalagi saya justru berada di tribun khusus di depan, tempat keluarga kesultanan. Dengan ketawa geli saya mendekatinya.
“Pak Dubes, saya ada di Kualalumpur karena undangan Sultan. Tapi soal tempat duduk ini maaf, you Dubes duduknya di sini, kalau saya ada di sana bergabung bersama keluarga,” kata saya. Beliau ketawa karena paham maksud saya.
Pengalaman dengan Pak Hermen Kartowisastro itu menjadi salah satu kenangan lucu saya ketika mengemban tugas sebagai Atase Pertahanan yang diposkan di Singapura. Saya mendapatkan tugas pertama ke luar negeri itu pada bulan Desember tahun 1952. Sebelumnya saya dipindah tugaskan dari Medan ke Jakarta, untuk persiapan bersekolah ke negeri Belanda, yaitu di HKS (Hogere Krys School) Sekolah Tinggi Perang. Sekolah ini lebih tinggi daripada Akademi Militer Belanda di Breda, di mana para calon perwira dididik. HKS itu kira-kira setingkat dengan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), jadi diperuntukkan bagi para perwira yang telah memiliki pengalaman tempur. Saya memenuhi syarat itu, walau pun usia masih muda.
Kebetulan sekali saya punya seorang paman, yaitu Pandu Suradiningrat, yang memegang salah satu jabatan di Departemen Luar Negeri (Deparlu), bersama Pak Mr. Soebardjo. Di jaman kolonial Belanda beliau pernah menjadi vice consul di Jeddah, Saudi Arabia. Oleh sebab itu paman termasuk salah seorang pejabat senior di Deparlu. Ketika saya diangkat sebagai atase di Singapura itu, beliau menjadi diplomat RI di Negeri Belanda. Dalam salah satu kunjungannya ke Singapura, paman bertemu dengan kami. Lalu paman menunjuk kepada saya sambil berkata kepada Pak Hermen Kartowisastro:
“Hermen, kamu jangan main-main ya, Barkah ini keponakan saya….”
“Tenang, jangan khawatir,” jawab Pak Hermen sambil ketawa. Mereka berdua memang sudah sangat akrab sejak dahulu.
Ketika mendapat perintah untuk bertugas ke Singapura itu saya lalu ingat satu kejadian waktu di Medan dahulu. Pada suatu siang, pertengahan tahun 1952, saya dipanggil oleh Panglima TT I Kolonel Simbolon. Agak mengejutkan memang, karena rasanya tidak ada masalah yang harus saya jelaskan kepada pimpinan. Namun saya masuk dengan hati mantap, apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Saya memberi hormat, dan Pak Simbolon menyilakan saya duduk. Beliau orangnya memang serius dan kata-katanya hemat.
Bab Kedua
Tugas pertama ke luar negeri
Suasana upacara kesultanan di Kerajaan Johor, salah satu negara bagian yang tergabung ke Persekutuan Malaya, meriah sekali. Sebelum acara pokok dimulai, puluhan tamu penting telah memenuhi tribun utamanya. Panggung dihias sedemikian rupa, didominasi warna kuning keemasan, salah satu warna simbol kekuasaan di banyak kerajaan Melayu. Hiasan-hiasan itu dibuat dari kain satijn. Buket-buket bunga pun diletakkan di meja tamu di deret terdepan, sedangkan karangan bunga diletakkan di berbagai sudut halaman.
Para bangsawan yang berasal dari berbagai negara bagian seperti Selangor, Pahang, Kedah, Perak, dan lain-lainnya hadir dengan para istri mereka. Pakaiannya indah-indah, memakai perhiasan yang terbuat dari emas bertahtakan intan berlian. Tanda-tanda kebesaran bertengger di dada-dada mereka, keris yang juga berhulu ukiran emas dan permata terselip di pinggangnya.
Para tamu dibagi dalam baberapa kelompok. Ada tribun yang khusus diperuntukkan bagi para anggota keluarga kerajaan, letaknya cukup menyolok di bagian depan. Setelah itu tribun untuk para bangsawan yang diundang diletakkan di samping tribun utama, berikutnya para tamu dari perwakilan negara lain, letaknya tidak terlalu khusus.
Waktu itu saya menjabat sebagai attaché militer dengan pos saya di Singapura yang waktu itu belum berdiri sebagai negara tersendiri. Sebagai wakil negara asing, saya seharusnya menempati sisi yang tidak terlalu khusus itu bersama para kolega dari Indonesia serta negara lainnya. Di tribun tersebut duduk pula kepala perwakilan Indonesia, yaitu Bapak Hermen Kartowisastro, atasan saya.
Lama sebelum acara dimulai, yaitu ketika para tamu mulai berdatangan, saya cepat-cepat mendatangi Pak Hermen untuk meminta maaf sebesar-besarnya.
“Mohon ijin Pak, saya harus duduk di tribun khusus di depan itu, Pak,” kata saya.
Pak Hermen tidak terkejut mendengar permintaan maaf itu. Beliau berkata:
“Sudah, sudah, silakan saja, karena Anda ‘kan anggota keluarga.”
Saya lega sekali. Tahukah? Saya sebagai bawahan beliau, seharusnya duduk bersamanya di tribun bagi perwakilan asing. Tapi – nah ini masalahnya – saya menghadapi rasa kikuk yang besar kepada para kolega, khususnya Pak Hermen, karena diharuskan duduk di tribun depan dan khusus, tempat para keluarga Sultan Johor berada. Ini semua terjadi karena istri saya itu adalah kerabat dekat Sultan Johor. Hubungan antara Kesultanan Johor dan Langkat sangat erat sejak jaman dahulu karena adanya pertalian darah. Jadi saya pun, orang Jawa Barat yang tidak tahu-menahu, harus pula duduk bersama istri saya di tribun khusus itu karena pertalian darah Kucik ini. Untung Pak Hermen mengerti duduk persoalannya.
Kejadian itu rupanya berulang kembali pada kurang lebih 30 tahun kemudian, tepatnya 1986, kali ini lebih ‘seram’ lagi karena saya harus berhadapan dengan Duta Besar RI untuk Malaysia, Pak Himawan Sutanto. Saya kala itu menghadiri upacara peringatan jubileum bertahtanya Sultan Selangor di kursi kesultanannya, yang berlangsung di Kualalumpur. Pada waktu itu, saya sudah menjabat sebagai Dubes Yang Berkuasa Penuh RI di Mesir, Sudan, Somalia, dan Djibouti.
Kehadiran saya di Kualalumpur tentu mengagetkan sejumlah orang yang tidak mengerti silsilah istri saya dengan para Sultan di Malaysia. Pak Himawan Sutanto itu sudah lama saya kenal. Kami berasal dari Siliwangi, sama-sama berjuang di hutan-hutan untuk melawan agresi Belanda. Suaranya merdu sekali. Kalau Presiden Soeharto dikenal sebagai The Smilling General, maka Pak Himawan yang pernah menjabat sebagai Panglima Kostranas (Komando Strategi Nasional) serta Ketua Umum Kwartir Gerakan Pramuka itu, dijuluki sebagai The Singing General. Pada waktu Jendral M. Jusuf menjadi Panglima ABRI, Pak Himawan selalu kebagian tugas menyanyi bila ada acara santai, di samping Pak Wijogo Atmodarminto, yang pernah menjabat sebagai Pangkowilhan II serta Gubernur DKI Jakarta. Setelah menjadi Dubes RI di Malaysia, beliau mendapat gelar baru yaitu The Singing Ambassador.
Nah, ketika menghadiri upacara Sultan Selangor itu, beliau ditempatkan di tribun khusus untuk perwakilan negara sahabat. Pak Himawan kelihatan agak kaget melihat kehadiran saya di sana, apalagi saya justru berada di tribun khusus di depan, tempat keluarga kesultanan. Dengan ketawa geli saya mendekatinya.
“Pak Dubes, saya ada di Kualalumpur karena undangan Sultan. Tapi soal tempat duduk ini maaf, you Dubes duduknya di sini, kalau saya ada di sana bergabung bersama keluarga,” kata saya. Beliau ketawa karena paham maksud saya.
Pengalaman dengan Pak Hermen Kartowisastro itu menjadi salah satu kenangan lucu saya ketika mengemban tugas sebagai Atase Pertahanan yang diposkan di Singapura. Saya mendapatkan tugas pertama ke luar negeri itu pada bulan Desember tahun 1952. Sebelumnya saya dipindah tugaskan dari Medan ke Jakarta, untuk persiapan bersekolah ke negeri Belanda, yaitu di HKS (Hogere Krys School) Sekolah Tinggi Perang. Sekolah ini lebih tinggi daripada Akademi Militer Belanda di Breda, di mana para calon perwira dididik. HKS itu kira-kira setingkat dengan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat), jadi diperuntukkan bagi para perwira yang telah memiliki pengalaman tempur. Saya memenuhi syarat itu, walau pun usia masih muda.
Kebetulan sekali saya punya seorang paman, yaitu Pandu Suradiningrat, yang memegang salah satu jabatan di Departemen Luar Negeri (Deparlu), bersama Pak Mr. Soebardjo. Di jaman kolonial Belanda beliau pernah menjadi vice consul di Jeddah, Saudi Arabia. Oleh sebab itu paman termasuk salah seorang pejabat senior di Deparlu. Ketika saya diangkat sebagai atase di Singapura itu, beliau menjadi diplomat RI di Negeri Belanda. Dalam salah satu kunjungannya ke Singapura, paman bertemu dengan kami. Lalu paman menunjuk kepada saya sambil berkata kepada Pak Hermen Kartowisastro:
“Hermen, kamu jangan main-main ya, Barkah ini keponakan saya….”
“Tenang, jangan khawatir,” jawab Pak Hermen sambil ketawa. Mereka berdua memang sudah sangat akrab sejak dahulu.
Ketika mendapat perintah untuk bertugas ke Singapura itu saya lalu ingat satu kejadian waktu di Medan dahulu. Pada suatu siang, pertengahan tahun 1952, saya dipanggil oleh Panglima TT I Kolonel Simbolon. Agak mengejutkan memang, karena rasanya tidak ada masalah yang harus saya jelaskan kepada pimpinan. Namun saya masuk dengan hati mantap, apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Saya memberi hormat, dan Pak Simbolon menyilakan saya duduk. Beliau orangnya memang serius dan kata-katanya hemat.
Komentar
Posting Komentar