Langsung ke konten utama

Cerpen - 8

DUA PRIA MENANGIS DI BANGKU YANG SAMA

Oleh Adji Subela
Butir-butir keringat di dahi, leher, serta ditambah dengan tetes-tetes air matanya, tak mampu melarutkan rasa sedih bercampur dengan takut, bimbang, bingung, dan rasa bersalah yang berkepanjangan.
Ia merasa istrinya yang tengah hamil tua, dan sudah mendekati hari-hari melahirkan bayi pertamanya, menangis tersedu-sedu di pundaknya. Pria itu pun mengaku dalam hatinya bahwa ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Bayinya harus dilahirkan, akan tetapi pria itu merasa bahwa usia si istri, kondisi fisiknya, serta ukuran bayinya yang besar – menurut dokter – dan pula ketiadaan uang di sakunya, membuatnya ketakutan menghadapi detik-detik yang mendebarkan namun membahagiakan bagi setiap pasangan yang menantikan kelahiran anak pertamanya.
Pria itu membayangkan dirinya memandangi istrinya yang terus menangis.
“Pah, ini nanti bagaimana, Pah? Kita tak punya uang, apa yang harus kita lakukan, Pah?” kira-kira demikian bayangannya akan keluhan istrinya.
Ia teringat, kemarin mereka datang ke sebuah Puskesmas, dan dokter kandungan memberinya petuah yang justru menyengsarakannya. Begini: “Pak, kondisi istri Bapak sudah tak memungkinkan untuk melahirkan secara normal. Ia harus disesar. Kalau tidak, maka air ketuban akan mengering, dan jelas akan membahayakan nyawa anak dan ibunya.”
Seketika itu juga kepalanya terasa sangat pusing. Keterangan suster yang bertugas di samping dokter itu menambah-nambah bebannya:
“Kita punya rumah sakit bersalin rujukan, Pak, biaya sesarnya murah, hanya empat juta rupiah berupa paket.”
Pria itu tak tahu dari mana ia akan mendapatkan uang yang jumlahnya tidak pernah singgah di saku celananya yang mana pun. Sedangkan uang miliknya kini tinggal dua ribu rupiah saja, ia lipat baik-baik, dan diselipkannya di tempat yang sulit sehingga copet yang lihai pun pasti akan kesukaran untuk mencurinya. Bila uang itu hilang, ia dan istrinya yang hamil tua harus berjalan kaki sejauh enam kilometer. Tak ada becak yang mau membawa mereka tanpa dibayar, apalagi angkutan kota atau taksi. Hanya ada satu cara yaitu, nekat. Tak ada cara lain lagi, kecuali cara tersebut.
Dalam bayangannya, dibawanya istrinya berjalan sejauh sepuluh kilometer untuk mencapai sebuah rumah sakit bersalin yang paling baik. Kalau ia memilih rumah sakit bersalin yang sederhana, ia harus melanjutkan jalan kakinya sejauh sepuluh kilometer lagi. Ia takut istrinya tak tahan lagi, dan melahirkan di jalan yang panas dan padat oleh lalu lintas kota besar itu.
“Hendak ke mana kita, Pah?” tanya istrinya sambil menyeringai menahan lelah dan sakit perut.
“Kita ke rumah sakit bersalin di depan sana,” jawabnya dengan nada mantap.
“Pah, Papah, bagaimana dengan biayanya?”
“Tenang, Mah. Di sana aku ada kawan baik, ia akan menolong kita,” jawabnya yang tentu saja bohong. Istrinya, seorang perempuan berusia 37 tahun yang bersahaja, mengangguk lemah. Pria itu mengawini istrinya dengan keberanian yang betul-betul luar biasa. Dia dalam keadaan menganggur, karena tempat kerjanya telah ditutup, dan ia tidak pernah mendapatkan uang pesangon selembar rupiah pun. Usianya sudah 54 tahun, dan selama ini membujang terus karena merasa tak pernah punya harta yang cukup untuk hidup berumah tangga. Lalu ia berkenalan dengan perempuan itu setahun yang lalu, kemudian nekat menikah, dan terus menerus didera kekurangan uang hingga sekarang ini.
Sesampainya di rumah sakit bersalin, hari telah menapak malam dan tentu saja mereka sudah dihadang oleh keharusan untuk memenuhi persyaratan administrasi, serta tentu saja: biaya. Pria itu merasa kepalanya pening hebat. Ia sudah tidak ingat lagi apa yang ia alami, sampai kemudian ia terdampar duduk di sebuah bangku di pojok rumah sakit itu di malam hari yang sepi seperti itu. Rumah sakit bersalin tersebut nampak lengang, tak ada kegiatan seperti tempat sejenis lainnya. Hanya tangis bayi yang menyayat-nyayat – kemungkinan sekali anaknya – saja yang terdengar.
Alangkah indahnya kedengarannya bila suara tangis itu betul-betul tangis anaknya. Sejak di dalam kandungan, ia sudah mengajaknya bercakap-cakap: “Adik, adik, sehat ya?” katanya sambil menempelkan mulutnya di perut istrinya. Bayi itu seolah-olah mendengar suara ayahnya. Ia bergerak-gerak, dan itu nampak dari gelombang-gelombang yang muncul di permukaan perut sang istri. Ia bahagia sekali.
Pandangan pria itu mengabur. Ia merasa seolah-olah seorang petugas rumah sakit berdiri di hadapannya sambil memegangi rekening. Hatinya kecut dan dadanya serasa pedih sekali.
“Aku kasihan kepada istriku Tuhan. Ia tak tahu apa-apa. Ia terlalu bodoh dan dungu untuk menyadari kekuranganku. Tolonglah dia Tuhan, dan hukumlah aku dengan cara apa pun juga macamnya sekarang juga. Jika tidak, berilah kami titik terang, Tuhan, hanya kepada Engkau aku memohon....”, keluhnya.
Seorang perawat keluar menggendong seorang bayi yang terbungkus selimut halus. Bayi itu cantik sekali. Berkulit putih, matanya sipit, dan pipinya gemuk kemerahan. Bibirnya yang merah muda berkomat-kamit seolah mengisap puting susu ibunya. Ia kehausan. Alangkah cantiknya dia!
“Itu anakku ‘kan suster?” tanya pria kita itu. Seorang pria pria perlente yang ikut berubung bayi terkejut, menoleh kepadanya dengan sorot mata keheranan.
“Mana mungkin, Pak. Bayi ini cantik sekali, tentu ia anak orang yang sepadan,” kata pria perlente itu ketus. Pria kita terkejut, lantas undur dua langkah kemudian memandangi badannya. Memang, ia tak pantas punya anak cantik seperti itu. Alangkah kejamnya dunia ini. Bahkan orang melarat pun tak berhak mendapatkan anak cantik! Hari ini komplet sudah rasa sengsaranya. Sudah didera rasa sedih dan khawatir, lalu dihinakan pula. Ia kalah total, dunia tak menaruh kasihan padanya. Ia kini menyadari bahwa di negeri ini orang melarat adalah tumpuan segalanya. Tumpuan makian, kesalahan, kekeliruan, dan segala dosa-dosa, dan selalu kalah, tak ada kesempatan untuk apa pun juga, kecuali peluang untuk bersedih sepanjang hidupnya.
“Tapi ia mungkin anakku!” kata pria kita dengan ketus pula secara tiba-tiba, seolah-olah menjadi upaya terakhir untuk sekedar menang sedikit. Tak ada yang mendengarnya. Dilihatnya si pria perlente itu menimang-nimang bayinya, seorang perempuan tua di dekatnya mengangguk-angguk, dan seorang perempuan pembantu tertawa-tawa. Pria kita menangis. Ia berbalik badan dengan lesu melangkah kembali ke bangkunya.
“Anakku, maafkan Papah ya sayang, Papah tak mampu melahirkanmu dengan baik, di tempat yang baik dan memberimu susu. Papahmu tak mampu anakku. Yang Papah punya hanyalah hati yang putih penuh sayang dan sendu...terimalah ya anakku. Hanya inilah yang Papah punya. Mamah, Papah minta maaf ya, Papah tak mampu memberimu susu dan makanan yang sehat, apalagi buah-buahan. Papah telah membuatmu sengsara dengan kehamilanmu. Tapi percayalah, Mamah, Papah mencintai dan menyayangi Mamah sepenuh hati. Terimalah hati Papah ini Mah, aku minta maaf telah menjerumuskanmu ke hidup yang sengsara seperti ini.....”, pria itu menangis lagi sesenggukan. Ia merasa ingin mati saat itu juga. Tapi bahkan untuk mati pun ia tak mampu. Alangkah pengecutnya ia, meninggalkan anak dan istrinya tercinta dalam kesulitan dan kesusahan seperti itu!
Malam semakin larut, semakin larut, semakin larut, lalu tangis bayi itu lamat-lamat terdengar lagi, sayup-sayup, terkadang terdengar terkadang menghilang. Pria itu merasa melihat bayinya yang lucu, yang cantik, ah, entahlah.
Tuhan, Tuhan, tolonglah, tolonglah...rintihnya......dan dadanya terasa semakin sakit, ia merasakan badannya semakin menciut, menyusut, masuk ke dalam satu lubang gelap yang sungguh-sungguh gulita luar biasa ...................
Sudah agak lama pria itu tertidur menelungkup di sandaran bangku, di sudut yang gelap di sebuah rumah sakit bersalin. Pelan-pelan ia mulai tersadar. Ia mengerinyitkan dahinya, dan mengusap-usap mata dengan jari-jari tangannya. Seharusnya, lelap beberapa menit itu mampu menghapus kesedihan hatinya. Tapi tidak! Ia tetap saja teringat pada kesulitannya, lalu ia terpuruk lagi dalam isak-isak kecil. Ia merasa istrinya ada di sana menahan sakit pasca bedah sesar, dan bayinya kedinginan menanti kehangatan orang tuanya. Tapi pria itu merasa sial sekali, karena tak mampu menjadi seorang bapak yang gagah, kaya raya, penuh puja-puji dan dermawan. Ia masih saja pria yang sial, tak alang kepalang. Ia menangis lagi, menyesali dirinya yang tak lebih dari sekedar pecundang belaka. Ketika pria itu menengadahkan kepalanya, ia terkejut. Rupa-rupanya ia bukanlah satu-satunya pria yang duduk di bangku itu. Nampaknya ada lagi seorang pria yang juga duduk di bangku itu, ditempat gelap, dan....menangis pula!
Sesaat pria kita merasa malu, lalu menghapus air matanya cepat-cepat. Tapi pria di ujung bangkunya mengangguk dengan pelan dan matanya kelihatan sekali telah sembab. Pantulan sinar lampu neon masih tak mampu menyembunyikan sisa-sisa tangis pria tua itu. Ia memang sudah tua, jauh lebih tua darinya. Tapi keduanya sama-sama menangis. Kedua pria bersedih hati itu pun lalu sama-sama mengangguk dan tersenyum malas.
“Maafkan saya, dik, saya lihat Anda menangis dari tadi, dan mondar-mandir ke sana ke mari. Ada apa gerangan?” sapa pria kedua dengan lembut serta berhati-hati.
Pria kita menarik nafas dalam sekali, lalu tercenung.
“Tidak usah ragu-ragu, dik, saya pun tadi juga menangis. Ada baiknya kita saling menumpahkan perasaan, supaya agak reda penderitaan kita,” ucapnya lagi, lebih lembut.
Pria kita pun kemudian menceritakan segala deritanya, mengenai anak dan istrinya yang melahirkan dengan bedah sesar, dan tak mungkin dapat ia keluarkan dari rumah sakit bersalin tanpa uang enam juta rupiah kontan. Ia sudah habis akal, tak mampu lagi berbuat apa-apa, dan mukjijat Tuhan belum juga berlaku padanya.
“Saudaraku, kita mempunyai persoalan berat yang sama, hanya berbeda bentuk. Aku ke sini hendak menjemput cucuku. Ia adalah anak dari putraku yang lari dari rumah satu setengah tahun yang lampau, karena menikah dengan perempuan biasa saja. Aku mendengar kesulitannya di sini, karena sahabatnya memberitahuku. Ia tak mampu mengeluarkan anak istrinya karena uangnya kurang. Ia pergi ke sana sini untuk berhutang, tapi menurut sahabatnya itu, gagal. Ia lari dari rumah sakit dengan anak dan istrinya. Aku ke sini hendak membayar segala hutangnya itu. Tapi terlambat. Sahabatnya itulah yang membayarnya tadi pagi. Aku terlambat datang, aku merasa bersalah. Orang tua macam apa aku ini? Bahkan untuk menolong anak cucu pun aku tak mampu,” rintih si pria tua, lalu diikuti tangis terisak-isak.
Pria kita terkejut. Alangkah lain keadaan mereka berdua itu. Sama-sama pria yang menangis di bangku yang sama, tapi dengan keadaan berbeda, bahkan berbalikan sama sekali. Yang seorang kekurangan uang, yang lain justru membawa uang dengan sia-sia.
“Begini, saudara. Aku ingin menebus kesalahanku pada anak dan cucuku. Ambillah uang ini, pakailah untuk menebus anak istrimu, aku ikhlas. Jangan anggap ini hutang, tapi hadiah atas ketabahanmu. Semoga Allah memberkati kita semua,” ucap pria tua sambil meletakkan sebuah bungkusan kertas sampul coklat. Pria tua itu lantas berjalan tertatih-tatih menuju ke pintu keluar.
Untuk sesaat, pria kita tercenung. Ia tidak percaya akan apa yang dialaminya. Ia memerlukan uang sekitar lima juta rupiah untuk menolong kelahiran anaknya, dan kini ada orang asing yang memberinya uang kepadanya dengan alasan berbeda. Setelah orang asing itu hilang di tikungan, pria kita cepat meraih amplop itu dan menghitung uangnya. Enam juta rupiah! Ia hampir tak percaya atas kejadian ini. Tuhan telah datang dengan pertolongan-Nya yang sungguh-sungguh ajaib dan aneh!
“Tuhan....terimakasih Tuhaaaaan....,” serunya di malam hari itu.
Pria itu lantas berlari-lari menuju ke loket pembayaran, hendak membayar biaya persalinan sesar bayinya.
“Wah, loket pembayaran sudah tutup, Pak. Nama istrinya siapa, Pak?” tanya perawat.
“Nuri, Nuri suster, disesar tadi petang,” jawabnya dengan terbata-bata, sambil memegangi erat-erat amplop uangnya. Suster itu membolak-balik lembaran catatannya, dahinya berkerut.
“Pak, maaf ya. Tidak ada pasien atas nama Nuri di sini, apalagi dalam bedah sesar,” kata perawat.
“Tak mungkin suster. Istri saya dioperasi di sini, tadi, saya ingin cepat melihat wajah anak saya.”
“Sekali lagi maaf, Pak, tak ada pasien bernama Nyonya Nuri di sini. Jangan-jangan Bapak salah tempat.”
Pria kita itu tertegun, tak percaya atas apa yang didengarnya. Ia lalu berbalik untuk duduk ke bangkunya semula. Ia ingat betul, istrinya harus melahirkan dengan cara bedah sesar karena bayinya besar, usia istrinya sudah lanjut, dan kakinya bengkak-bengkak. Ia belum gila.
Mendadak ia bangun dengan girang.
“Istriku, aku sudah punya uang...!” pekiknya sambil berjingkrak-jingkrak, berlari meninggalkan ruangan. Perawat tadi terkejut mendengar teriakan pria di malam buta seperti itu. Ia lihat seorang pria ganjil tadi berloncatan berlari-lari keluar dari tempat tersebut lalu menghilang di balik tikungan tempat di mana pria yang lebih tua tadi menghilang pula.......
Harian Sinar Harapan, Sabtu, 15 Maret 2008
Depok, Desember 2006, untuk Rizky-ku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima