Mutiara Hati – 7
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-7
Acara ijab khabul berlangsung lancar, dan selesailah sudah pernikahan itu, sekarang kami sudah resmi sebagai suami-istri. Acara yang begitu sakral tersebut berlangsung sederhana sekali. Kami lantas berdoa bersama-sama dan tidak ada pesta. Kami hanya makan minum sekedarnya, lalu selesai sudah. Itu saja. Tidak seperti pengantin jaman sekarang yang begitu hebat pestanya, apalagi pada saat ini para muda itu senang mengadakan acara pre-wedding serta resepsi di hotel-hotel atau gedung-gedung yang bertarif mahal. Pernikahan kami sederhana dan murah, karena memang begitulah model acara pernikahan di jaman dahulu itu.
Kendati diadakan di luar Istana, namun tata cara pernikahan tetap dilakukan seperti halnya para bangsawan Melayu menikah. Istri saya tidak dihadirkan dalam satu ruangan dengan saya, dan naib pun tidak pernah menanyakan kesediaan calon istri saya. Masalahnya, bila ditanyakan kepadanya apakah dia bersedia menikah dengan saya, maka jawabannya itu dapat diartikan ganda. Kata iya, dapat berarti tidak. Diam, diartikan iya dan sebagainya. Jelas itu akan menjadikan urusan bertambah rumit.
Mutiara dari Kesultanan Langkat sekarang telah saya sunting dan saya rekatkan dalam hati saya, sehingga kemilaunya yang anggun terus menerangi hati sanubari saya hingga sekarang.
Akan tetapi sebagai perwira saya harus mengadakan resepsi pernikahan tersebut. Resepsi diadakan di rumah Kucik di Jalan Yogya No.2 itu, pada tanggal 14 Januari, tiga hari sesudah ijab kabul. Saya tak ingin mengadakan resepsi di Balai Prajurit kami di Jalan Perwira, karena ingin acara ini lebih leluasa, lebih bebas hingga malam hari pun. Saya sendiri tak menyangka resepsi itu berjalan amat meriah. Semula acaranya dimaksudkan sederhana saja. Namun ternyata dihadiri oleh ratusan teman, handai taulan, pejabat setempat, para pejabat Angkatan lainnya termasuk dari Kepolisian, jawatan-jawatan, serta para anggota keluarga, kecuali keluarga dari pihak saya, sebab orang tua sudah memberitahu mereka tidak bisa datang. Ya sudah, ini pun sudah amat meriah, apalagi datang pula dua orang wartawan dari dua koran terkemuka di Medan atau Sumatra Utara yaitu masing-masing dari SKH Waspada serta SKH Mimbar Umum.
Nampaknya pernikahan kami itu menggegerkan masyarakat Medan. Bayangkan, seorang putri Sultan yang belum lama menderita akibat kerusuhan, tiba-tiba memutuskan menikah dengan seorang tentara! Dan yang berbeda suku pula! Pernikahan kami itu mereka sebut sebagai the wedding of the year. Benar-benar membanggakan kami semua.
Saya pun juga terkejut dan juga bangga karena ternyata Komandan KMK Medan, Mayor Djamin Ginting hadir bersama nyonya. Beliaulah yang memberi kata sambutan sekedarnya. Kepala Staff kami, Pak Kartakusuma hadir juga berdua. Tentu saja tidak lupa Kapten D.I. Panjaitan dengan nyonya, serta para staf dan anggota lainnya. Sayangnya, atasan saya sendiri Panglima Territorium I Kolonel Simbolon tidak hadir. Sejumlah perutusan dari beberapa kesultanan di Sumatra Utara juga ada dalam resepsi kami, termasuk keluarga Sultan Deli. Mereka ingin berkenalan dengan suami putri almarhum Sultan Langkat. Tapi beberapa keluarga Sultan sendiri tidak hadir, karena masih ragu-ragu mengenai perlu tidaknya mereka muncul dalam resepsi tersebut.
Sebagai penghangat suasana, kami undang pula satu kelompok orkes atau band yang membawakan lagu-lagu yang populer saat itu. Beberapa lagu irama keroncong mereka bawakan. Kemudian oleh karena atmosfer perjuangan masih kental pada waktu itu, maka lagu-lagu perjuangan Ismail Marzuki pun ikut berkumandang, serta tak lupa tentu saja lagu-lagu berirama Melayu yang di kala itu sangat populer.
Kami ‘mengusir’ ‘mentor’ pernikahan
Sesuai dengan adat Melayu setempat, ada satu proses yang harus kami lalui, suka maupun tidak suka. Memang bagi saya yang berasal dari tanah Parahyangan, prosesi itu betul-betul ganjil serta berat untuk dilaksanakan. Ada rasa sungkan, enggan, dan malu. Tapi harus bagaimana lagi? Saya berada di tanah Melayu, istri saya pun putri Sultan, dan semua proses pernikahan juga dilaksanakan dalam adat mereka, walau pun tidak secara mendetail penuh, misalnya saja biasanya pengantin Melayu dimandikan air limau sebelum upacara, dengan harapan dapat membersihkan diri kami lahir batin, dan lain-lainnya.
Tiada satu proses teramat penting yang benar-benar harus dilalui tapi justru merisihkan hati saya. Terus terang saya belum pernah mendengar atau tahu satu proses adat ini, sehingga benar-benar mengagetkan. Bayangkan saja, dalam malam pertama kami diwajibkan menerima seorang ‘mentor’ atau semacam instruktur perkawinan, seorang perempuan tua. Si perempuan ini nanti akan tidur di bawah ranjang kami dan secara lisan akan memberi ‘bimbingan teknis’ tentang apa saja yang harus kami lakukan. Bayangkan! Dalam moment yang begitu intim buat berdua, ternyata harus ada orang ketiga yang memberi aba-aba tentang apa saja yang harus kami perbuat!
Sebenarnya ini satu langkah mulia, di mana para remaja di jaman dahulu masih bersih suci, tidak mengetahui barang sekecil apa pun mengenai hubungan paling pribadi antara suami-istri. Saya dan Kucik menganggap, biarlah kami berdua sendiri yang menemukan jalan itu, tidak perlu ada guide atau sejenisnya. Ngapain?
Saya sebagai seorang anggota militer sudah terbiasa mendengar dan memberikan aba-aba tapi tentu tidak pernah dalam urusan yang super pribadi ini. Ternyata Kucik berpendapat serupa. Bagaimana pun pula ia sudah terdidik secara maju, secara Barat, sehingga masalah privacy sangat dihormatinya. Akhirnya dengan berbisik-bisik saya memberi isyarat kepada Kucik agar berbicara baik-baik kepada si ‘mentor’ atau ‘instruktur’ kami itu. Dengan hati-hati agar dia tidak tersinggung, karena telah melanggar kehormatan profesinya, kami berbicara dengan perempuan yang malang itu. Di luar dugaan, dia setuju dengan usul ‘win-win solution’ kami, tapi karena dia telah memegang janji serta demi menjaga ‘profesionalismenya’, maka dia harus tetap berada di luar kamar guna memantau segala sesuatunya, dan bersiaga memberi bantuan bila ada masalah. Mudah-mudahan saja tidak!
Akan tetapi ‘penderitaan’ saya ternyata belum berakhir juga. Sesuai dengan adat-istiadat mereka, sejumlah anggota keluarga terdekat ternyata masih saja memantau perkembangan situasinya dari kamar sebelah, bahkan ada yang di dekat pintu kamar. Mereka memasang telinga lebar-lebar.
Akhirnya tugas mulia itu dapat kami jalankan dengan lancar. Kucik menampung tetesan darah bukti kesucian di secarik kain putih. Pada jam yang telah ditentukan, kami harus menunjukkannya kepada mereka. Ini dilakukan karena keluarga harus yakin bahwa anak mereka benar-benar masih suci ketika malam pertama itu. Menyaksikan bukti tersebut mereka bersuka cita, dan kami terbebas dari penderitaan itu.
Kain putih itu harus disimpan oleh pengantin perempuan selama-lamanya sebagai simbol kesucian, ketaatan, kesetiaan kepada suami dan keluarganya. Kucik menyimpan kain itu hingga akhir hayatnya.
Pada pagi harinya, diadakan upacara adat tepung tawar, guna menyambut pasangan pengantin ini. Kami didudukkan di pelaminan, ditutupi kain renda putih. Kemudian setiap anggota keluarga serta handai taulan memberikan doanya kepada kami, setelah itu mereka menaburkan beras kuning yang diberi bunga, dan sebagainya. Setelah itu Kucik memberi sembah kepada Ibunda, serta para kakaknya. Sedangkan adik-adik ganti memberi sembah padanya.
Ada adegan yang lucu. Ketika adik-adiknya hendak menyembah, Kucik marah, katanya:
“Ah, sudahlah, jangan macam-macam pakai sembah segala…cium tangan bolehlah.”
Mereka ketawa. (Bersambung)
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-7
Acara ijab khabul berlangsung lancar, dan selesailah sudah pernikahan itu, sekarang kami sudah resmi sebagai suami-istri. Acara yang begitu sakral tersebut berlangsung sederhana sekali. Kami lantas berdoa bersama-sama dan tidak ada pesta. Kami hanya makan minum sekedarnya, lalu selesai sudah. Itu saja. Tidak seperti pengantin jaman sekarang yang begitu hebat pestanya, apalagi pada saat ini para muda itu senang mengadakan acara pre-wedding serta resepsi di hotel-hotel atau gedung-gedung yang bertarif mahal. Pernikahan kami sederhana dan murah, karena memang begitulah model acara pernikahan di jaman dahulu itu.
Kendati diadakan di luar Istana, namun tata cara pernikahan tetap dilakukan seperti halnya para bangsawan Melayu menikah. Istri saya tidak dihadirkan dalam satu ruangan dengan saya, dan naib pun tidak pernah menanyakan kesediaan calon istri saya. Masalahnya, bila ditanyakan kepadanya apakah dia bersedia menikah dengan saya, maka jawabannya itu dapat diartikan ganda. Kata iya, dapat berarti tidak. Diam, diartikan iya dan sebagainya. Jelas itu akan menjadikan urusan bertambah rumit.
Mutiara dari Kesultanan Langkat sekarang telah saya sunting dan saya rekatkan dalam hati saya, sehingga kemilaunya yang anggun terus menerangi hati sanubari saya hingga sekarang.
Akan tetapi sebagai perwira saya harus mengadakan resepsi pernikahan tersebut. Resepsi diadakan di rumah Kucik di Jalan Yogya No.2 itu, pada tanggal 14 Januari, tiga hari sesudah ijab kabul. Saya tak ingin mengadakan resepsi di Balai Prajurit kami di Jalan Perwira, karena ingin acara ini lebih leluasa, lebih bebas hingga malam hari pun. Saya sendiri tak menyangka resepsi itu berjalan amat meriah. Semula acaranya dimaksudkan sederhana saja. Namun ternyata dihadiri oleh ratusan teman, handai taulan, pejabat setempat, para pejabat Angkatan lainnya termasuk dari Kepolisian, jawatan-jawatan, serta para anggota keluarga, kecuali keluarga dari pihak saya, sebab orang tua sudah memberitahu mereka tidak bisa datang. Ya sudah, ini pun sudah amat meriah, apalagi datang pula dua orang wartawan dari dua koran terkemuka di Medan atau Sumatra Utara yaitu masing-masing dari SKH Waspada serta SKH Mimbar Umum.
Nampaknya pernikahan kami itu menggegerkan masyarakat Medan. Bayangkan, seorang putri Sultan yang belum lama menderita akibat kerusuhan, tiba-tiba memutuskan menikah dengan seorang tentara! Dan yang berbeda suku pula! Pernikahan kami itu mereka sebut sebagai the wedding of the year. Benar-benar membanggakan kami semua.
Saya pun juga terkejut dan juga bangga karena ternyata Komandan KMK Medan, Mayor Djamin Ginting hadir bersama nyonya. Beliaulah yang memberi kata sambutan sekedarnya. Kepala Staff kami, Pak Kartakusuma hadir juga berdua. Tentu saja tidak lupa Kapten D.I. Panjaitan dengan nyonya, serta para staf dan anggota lainnya. Sayangnya, atasan saya sendiri Panglima Territorium I Kolonel Simbolon tidak hadir. Sejumlah perutusan dari beberapa kesultanan di Sumatra Utara juga ada dalam resepsi kami, termasuk keluarga Sultan Deli. Mereka ingin berkenalan dengan suami putri almarhum Sultan Langkat. Tapi beberapa keluarga Sultan sendiri tidak hadir, karena masih ragu-ragu mengenai perlu tidaknya mereka muncul dalam resepsi tersebut.
Sebagai penghangat suasana, kami undang pula satu kelompok orkes atau band yang membawakan lagu-lagu yang populer saat itu. Beberapa lagu irama keroncong mereka bawakan. Kemudian oleh karena atmosfer perjuangan masih kental pada waktu itu, maka lagu-lagu perjuangan Ismail Marzuki pun ikut berkumandang, serta tak lupa tentu saja lagu-lagu berirama Melayu yang di kala itu sangat populer.
Kami ‘mengusir’ ‘mentor’ pernikahan
Sesuai dengan adat Melayu setempat, ada satu proses yang harus kami lalui, suka maupun tidak suka. Memang bagi saya yang berasal dari tanah Parahyangan, prosesi itu betul-betul ganjil serta berat untuk dilaksanakan. Ada rasa sungkan, enggan, dan malu. Tapi harus bagaimana lagi? Saya berada di tanah Melayu, istri saya pun putri Sultan, dan semua proses pernikahan juga dilaksanakan dalam adat mereka, walau pun tidak secara mendetail penuh, misalnya saja biasanya pengantin Melayu dimandikan air limau sebelum upacara, dengan harapan dapat membersihkan diri kami lahir batin, dan lain-lainnya.
Tiada satu proses teramat penting yang benar-benar harus dilalui tapi justru merisihkan hati saya. Terus terang saya belum pernah mendengar atau tahu satu proses adat ini, sehingga benar-benar mengagetkan. Bayangkan saja, dalam malam pertama kami diwajibkan menerima seorang ‘mentor’ atau semacam instruktur perkawinan, seorang perempuan tua. Si perempuan ini nanti akan tidur di bawah ranjang kami dan secara lisan akan memberi ‘bimbingan teknis’ tentang apa saja yang harus kami lakukan. Bayangkan! Dalam moment yang begitu intim buat berdua, ternyata harus ada orang ketiga yang memberi aba-aba tentang apa saja yang harus kami perbuat!
Sebenarnya ini satu langkah mulia, di mana para remaja di jaman dahulu masih bersih suci, tidak mengetahui barang sekecil apa pun mengenai hubungan paling pribadi antara suami-istri. Saya dan Kucik menganggap, biarlah kami berdua sendiri yang menemukan jalan itu, tidak perlu ada guide atau sejenisnya. Ngapain?
Saya sebagai seorang anggota militer sudah terbiasa mendengar dan memberikan aba-aba tapi tentu tidak pernah dalam urusan yang super pribadi ini. Ternyata Kucik berpendapat serupa. Bagaimana pun pula ia sudah terdidik secara maju, secara Barat, sehingga masalah privacy sangat dihormatinya. Akhirnya dengan berbisik-bisik saya memberi isyarat kepada Kucik agar berbicara baik-baik kepada si ‘mentor’ atau ‘instruktur’ kami itu. Dengan hati-hati agar dia tidak tersinggung, karena telah melanggar kehormatan profesinya, kami berbicara dengan perempuan yang malang itu. Di luar dugaan, dia setuju dengan usul ‘win-win solution’ kami, tapi karena dia telah memegang janji serta demi menjaga ‘profesionalismenya’, maka dia harus tetap berada di luar kamar guna memantau segala sesuatunya, dan bersiaga memberi bantuan bila ada masalah. Mudah-mudahan saja tidak!
Akan tetapi ‘penderitaan’ saya ternyata belum berakhir juga. Sesuai dengan adat-istiadat mereka, sejumlah anggota keluarga terdekat ternyata masih saja memantau perkembangan situasinya dari kamar sebelah, bahkan ada yang di dekat pintu kamar. Mereka memasang telinga lebar-lebar.
Akhirnya tugas mulia itu dapat kami jalankan dengan lancar. Kucik menampung tetesan darah bukti kesucian di secarik kain putih. Pada jam yang telah ditentukan, kami harus menunjukkannya kepada mereka. Ini dilakukan karena keluarga harus yakin bahwa anak mereka benar-benar masih suci ketika malam pertama itu. Menyaksikan bukti tersebut mereka bersuka cita, dan kami terbebas dari penderitaan itu.
Kain putih itu harus disimpan oleh pengantin perempuan selama-lamanya sebagai simbol kesucian, ketaatan, kesetiaan kepada suami dan keluarganya. Kucik menyimpan kain itu hingga akhir hayatnya.
Pada pagi harinya, diadakan upacara adat tepung tawar, guna menyambut pasangan pengantin ini. Kami didudukkan di pelaminan, ditutupi kain renda putih. Kemudian setiap anggota keluarga serta handai taulan memberikan doanya kepada kami, setelah itu mereka menaburkan beras kuning yang diberi bunga, dan sebagainya. Setelah itu Kucik memberi sembah kepada Ibunda, serta para kakaknya. Sedangkan adik-adik ganti memberi sembah padanya.
Ada adegan yang lucu. Ketika adik-adiknya hendak menyembah, Kucik marah, katanya:
“Ah, sudahlah, jangan macam-macam pakai sembah segala…cium tangan bolehlah.”
Mereka ketawa. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar