Artikel-8
The Dead of Journalism?
Memperingati hari Pers Nasional 2010, 9 Februari
Pengantar
Sebuah pertanyaan menggelitik muncul dalam diskusi beberapa waktu lalu di sebuah komunitas pers, mengenai pers Indonesia: “Bagaimana membuat penerbitan yang laku? Apa ada resep ampuh?”
Maka saya sebagai salah seorang pembicara menjawab: “Kenali dulu baik-baik siapa calon pembeli produk penerbitan Anda, siapa mereka dan apa maunya. Lalu layani mereka baik-baik. Itu pun kalau Anda mampu mengikuti terus selera dan keinginan mereka, karena di jaman sekarang selera dan kemauan itu terus berkembang, berubah dalam waktu cepat.”
Ternyata pertanyaan dan jawaban itu sekaligus membuka diskusi hangat mengenai berbagai coreng-moreng mass media sekarang ini baik cetak maupun elektronik. Salah satu pertanyaan yang mencuat antara lain: “Gimana dong sama teori-teori yang kita dapat di bangku kuliah dulu?”
Jawaban saya pendek: “Semua teori itu sudah kuno. Kita sendiri sekarang yang membikin teori itu. Pokoknya bikin apa saja terserah Anda, yang penting ada yang membeli apalagi laris di pasar, sambil siap-siap berubah lagi mungkin tahun depan, bisa juga bulan mendatang.”
Satu kompi pertanyaan berikutnya bikin pusing, antara lain lalu gimana dong dengan tanggung jawab kita kepada publik? Gimana dengan kode etik? Dan masih banyak yang bikin pusing. Salah satunya bagaimana insan pers menghindari tuntutan hukum. “Nah, kalau soal itu, menulis menurut kaidah-kaidah yang pernah kita pelajari di bangku sekolah dapat menyelamatkan kita. Sisanya? Terserah Anda, yang pentign Anda tahu dan mau menghadapi risikonya,” jawab saya.
Memang di era yang serba cepat, tergesa dan tergagap-gagap ini tak ada teori permanen yang mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut. Teori-teori itu hanya cocok menjawab permasalahan saat itu. Besok lain lagi, begitu pula wajah pers kita dapat berubah-ubah dan bermacam-macam wujudnya seperti mimik pemain pantomim.
Pergeseran Nilai
Dunia kini dihadapkan pada pergeseran nilai-nilai dari modern ke post-modernisme (posmo). Diduga ini akibat modernisme yang hanya membangun infrastruktur dan berproduksi, gagal menjawab sejumlah persoalan seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup dan sebagainya.
Robert Dunn (1993) menandai adanya pergeseran yang menyertai budaya massal, yaitu dari produksi ke konsumsi. Dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks dari seniman ke penikmat. Jurang pemisah antara penulis dengan pembaca semakin ciut dan kini telah hilang karena mereka sudah setara, seiring dengan semakin meningkatnya kadar intelektual masyarakat, serta makin banyak dan mudahnya fasilitas masing-masing individu untuk ekspresi diri. Semua orang adalah penulis, semua orang adalah pemain dari sebuah orkestrasi yang disebut masyarakat post-modernisme. Posmo dengan demikian menolak makna tunggal, lantas menerima makna sementara. Dunia adalah sebuah ruang kosong yang akan diisi terus-menerus oleh pembaca.
Terjadi juga dari keseriusan, intelektualitas, ke nilai-nilai permainan, populer, dari kedalaman ke kulit, dari universal ke partikular. Ia menandai juga kebangkitan nilai estetik era 60-an, kebangkitan kembali tradisi, primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama lain.
Sementara itu John Naisbitt (2000) menandai, semakin kita menjadi universal, semakin tribal (tradisional etnik) tindakan kita. Dengan kata lain think globally, act locally. Ia (1984) juga menandai bergesernya peran pusat ke daerah-daerah, dari sentralisasi menuju ke desentralisasi, bergesernya ekonomi nasional menjadi ekonomi global. Negara-negara semakin tidak mandiri, saling bergentung serta didikte oleh MNC. Kita ingat pelarian modal Sony, Aiwa dan sejumlah pembuat sepatu klas dunia dari Indonesia, menghasilkan ribuan penganggur baru dan menimbulkan problem ekonomi tambahan.
Pauline Roseneau (1992) mengatakan posmo muncul karena modernisme gagal mewujudkan berbagai bidang, sering terjadi kontradiksi antara teori dan praktik, modernisme gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran dan lingkungan akibat kemajuan teknologi. Ia menganggap ilmu pengetahuan modern terlalu terfokus pada dimensi fisik, kurang mistis dan metafisis.
Strinati (2003) bahkan menambahkan, selama ini modernisme telah mengorbankan konsumen demi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi tersebut. Di masa posmo, di mana tingkat kemakmuran dan waktu luang meningkat, maka konsumen memegang peranan penting, ia punya banyak pilihan dan kemauan. Maka peranan budaya massa (pop) seperti TV, video, komputer, taman hiburan, pusat perbelanjaan, sastra pop semakin penting.
Bagaimana Keadaan di Indonesia?
Ariel Heryanto (1994) mengatakan, posmo adalah relativisme, sekedar methode kritik dan tradisi, ini sudah ada di Indonesia. Sebagai gerakan bersifat relatif, apa saja bisa terjadi, dan kapan saja. Posmo juga dianggap sebuah dekonstruksi, menghancurkan apa yang telah ada, dan terlahir terlalu dini ketika modernisme belum tuntas. Terakhir, menurutnya, posmo sulit dipahami.
Kita dapat melihat di Indonesia, semua tingkat kebudayaan masih ada, mulai dari budaya jaman batu hingga super modern. Dari rasionalisme hingga mistikisme, klenik, ds. Kucuran budaya luar negeri begitu deras masuk ke Indonesia yang relatif masih muda, membuat gegar budaya luar biasa, sehingga character and nation building yang hendak dibangun Sukarno tersentak-sentak. Barangkali Indonesia menjadi model penting untuk diteliti, di mana seni budaya tradisionalnya begitu kaya, dan kini harus menghadapi derasnya alur budaya massa luar dan terjadi gegar budaya luar biasa tadi. Belum lagi mengalami fase-fase budaya seperti yang terjadi di Barat, kita sudah menghadapi fase posmo yang sulit dimengerti dan diprediksi.
Jurnalisme Ikut Mati Pula?
Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, yang a.l. di-geber lewat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, membuat media cetak bukan andalan utama masyarakat untuk mendapatkan informasi. Orang punya alternatif untuk memilih media guna memenuhi dahaga informasinya lewat radio, televisi, buku, yang semakin mudah didapat, jaringan internet yang makin luas dan meraksasa. Semuanya bisa didapat lewat jaringan telekomunikasi dan teknologi informasi yang semakin berkembang dalam hitungan jam, menit, bahkan per detik pun.
Di masa awal milenium yang lalu, pengetahun atau informasi diberikan secara diktaturial, sender menjadi superior dan receiver hanya inferior. Di masa aristotelian ini receiver relatif pasif.
Di jaman modern, posisi itu setidaknya mulai brimbang, ada interaksi aktif antara sender dan receiver.
Memasuki fase pos-strukturalisme, posmo, receiver sebagai konsumen seolah menjadi superior punya kemampuan mendikte kemauannya, serta terjadi diversivikasi luas sifat karakteristik mereka.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kemajuan teknologi informasi (information technology) serta komunikasi sekarang ini, membuat satu produk ilmu pengetahuan cepat menyebar dan mempengaruhi gaya hidup orang. Alvin Toffler (1970) mengatakan, mesin cetak mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hampir 50 tahun kemunculannya, radio kira-kira 20 tahun, televisi 10 tahun dan komputer semakin pendek lagi. Kini dengan semakin menyebarnya alat-alat komunikasi dan gadget yang semakin canggih, hari ini sebuah produk keluar, maka esok hari sudah terjadi kehebohan temporer.
Seperti dikatakan Charles Handy, produksi yang membanjiri pasar sangat berlebihan, di luar kemampuan serta keinginan riil masyarakat. Industri menciptakan barang-barang yang dipaksa untuk menjadi keperluan orang, seperti cat rambut, pemutih kulit, penurun berat badan, serta produk kosmetik lainnya, berbagai alat olahraga aneh-aneh, obat-obatan, gaya hidup dan sebagainya. Bahkan sejak 1961 Herbert N. Casson menengarai, para produsen memaksakan produk yang sebenarnya tidak terlalu penting kepada masyarakat, lewat propaganda, promosi terus-menerus.
Di tengah banjir besar produksi barang-barang modernisme ini, maka persaingan semakin keras, dan promosi memegang peranan kunci.
Media massa, terutama cetak, yang di Abad Ke-XIX menjadi diktatur besar yang mendikte audience-nya, kini harus bertekuk lutut di depan pengusaha, atau yang oleh Handy disebut tegas, yaitu MNC. Jumlah media massa, khususnya media cetak, yang semakin banyak, membuat pembaca memiliki banyak kebebasan untuk memilih – dan persaingan semakin ketat.
Jumlah pembaca koran di Indonesia yang belum mencapai seperempat populasinya, harus dicabik-cabik menjadi kepingan kecil-kecil.
Maka slogan kebebasan pers yang digembar-gemborkan menjadi tanda tanya besar, karena kehidupan mereka kini tergantung kepada para pemasang iklan yang nota bene dikuasai produsen klas dunia. Jurnalisme mulai bergeser dari NETRAL, OBYEKTIF, BERSIH DARI OPINI, dan slogan-slogan besar mulai dipertanyakan, dan muncul narasi-narasi kecil yang menyuarakan kepentingan kontemporer.
Dahulu berita dituntut agar seperti itu, tapi kini kita disodori berita yang memasukkan opini wartawannya, penilaian, bahkan “pengadilan”. Pertanyaan wartawan TV banyak yang sudah memojokkan narasumber sebelum narasumber itu sempat menjawab. Wartawan sudah dipenuhi prasangka sebelum mewawancara, bukan satu hipotesa yang harus diadu kebenarannya dengan berbagai sumber pengimbang. Narasumber seolah dipaksa untuk mengiyakan pendapat wartawan itu, agar tontonan TV-nya berhasil.
Saya sedih ketika mendengar dari seorang rekan wartawan, bahwa ada sebuah koran yang membuat judulnya dahulu, sedangkan “beritanya” dibuat belakangan, sehingga hal seperti di ataslah yang terjadi.
Sangat menyedihkan bagi wartawan-wartawan yang pernah mengalami “indoktrinasi” bahwa berita harus “bersih”, ketika kemudian membaca “berita” yang ternyata isinya melulu memuji-muji sebuah produk tertentu. Celakalah pembaca yang tidak kritis, tidak memiliki referensi lain, sehingga mereka “tertipu” mentah-mentah dengan mempercayai 100 persen isi “berita” itu.
Koran kita sekarang harus ‘mengemis’ kepada pemasang iklan dan untuk itu diadakan kompromi-kompromi. Berita sudah tidak murni sebagai informasi innocent, tapi sudah mengalami polesan promotif, baik dari pengusaha, selebriti dan dan kini merembes ke politisi. Kekuatan sekaligus kelemahan media massa mampu membuat orang tak dikenal menjadi ‘pahlawan’ dan untuk kemudian hilang entah ke mana setelah absen dari hiruk-pikuk pemberitaan ‘barang sedetik pun’.
Sudah sejak lama media massa menjadi alat propaganda politik atau perang, namun kini semakin kental sebagai promosi bisnis. Teori-teori perang kini masuk ke dunia bisnis, dari doktrin Clausewitz, pengusaha kini bergeser ke Sun Tzu yang luwes, ulet. Game theory-nya von Neumann yang berbasis zero-sum, telah diganti game theory-nya John Nash yang memungkinkan semua pihak mendapatkan kemenangan (win-win solution). Semua pihak harus mendapatkan hak yang sepadan dengan kemampuannya, dan terjadi simbiosis antara pihak-pihak yang dulu kita duga tidak mungkin.
Tiga pilar komunikasi massa, yaitu jurnalistik, iklan dan hubungan masyarakat kini semakin bergeser, di mana jurnalistik tertepikan dan iklan serta humas semakin dominan.
Bahkan di medan perang pun, seperti Perang Teluk II, fungsi propagandis dan intelejen sudah diambil alih oleh pakar humas komersial. Pemerintah AS mengontrak pakar humas sebuah produk shampoo yang juga terkenal di Indonesia, yaitu de Beers, serta sejumlah kantor kehumasan lainnya untuk menangani perang Teluk.
Mereka merekayasa peristiwa seolah-olah rakyat Irak menyambut kedatangan pasukan AS, padahal apa yang sebenarnya terjadi adalah, orang-orang lokal itu dibayar untuk show-nya perusahaan Public Relation (PR) yang disewa pemerintah Presiden George Bush.
Seperti dikatakan sebelumnya, model seperti ini banyak terjadi di bidang apa saja, di mana performance lebih penting ketimbang substansi, dan anehnya itulah yang diterima sebagai kebenaran oleh publik. Terlalu banyak informasi yang masuk ke ruang publik semaikin sulit kita mencermati secara kritis satu per satu.
Oleh karena itu tidak ada satu pun rumus ampuh yang berlaku universal untuk menjawab persoalan pers dewasa ini.
Nampaknya media massa boleh berbuat apa saja sepanjang ada audience yang mendukungnya. Itu sudah cukup karena selera publik pun dapat berubah setiap waktu. Sinyalemen Naisbitt bahwa kecenderungan orang kembali memalingkan perhatian ke masalah lokal serta etnik, artinya menjadi lebih sempit, dapat menjadi acuan [sementara] bagi para calon pengelola mass media.
Tapi sejauh mana dan seberapa lama, maka kembali, pergeseran minat masyarakat yang sangat cepat di era posmo ini tak dapat diramalkan pasti.
(Paper ini dikembangkan dari pengantar diskusi jurnalistik di Harian Terbit , Jakarta, 23 Agustus 2005)
The Dead of Journalism?
Memperingati hari Pers Nasional 2010, 9 Februari
Pengantar
Sebuah pertanyaan menggelitik muncul dalam diskusi beberapa waktu lalu di sebuah komunitas pers, mengenai pers Indonesia: “Bagaimana membuat penerbitan yang laku? Apa ada resep ampuh?”
Maka saya sebagai salah seorang pembicara menjawab: “Kenali dulu baik-baik siapa calon pembeli produk penerbitan Anda, siapa mereka dan apa maunya. Lalu layani mereka baik-baik. Itu pun kalau Anda mampu mengikuti terus selera dan keinginan mereka, karena di jaman sekarang selera dan kemauan itu terus berkembang, berubah dalam waktu cepat.”
Ternyata pertanyaan dan jawaban itu sekaligus membuka diskusi hangat mengenai berbagai coreng-moreng mass media sekarang ini baik cetak maupun elektronik. Salah satu pertanyaan yang mencuat antara lain: “Gimana dong sama teori-teori yang kita dapat di bangku kuliah dulu?”
Jawaban saya pendek: “Semua teori itu sudah kuno. Kita sendiri sekarang yang membikin teori itu. Pokoknya bikin apa saja terserah Anda, yang penting ada yang membeli apalagi laris di pasar, sambil siap-siap berubah lagi mungkin tahun depan, bisa juga bulan mendatang.”
Satu kompi pertanyaan berikutnya bikin pusing, antara lain lalu gimana dong dengan tanggung jawab kita kepada publik? Gimana dengan kode etik? Dan masih banyak yang bikin pusing. Salah satunya bagaimana insan pers menghindari tuntutan hukum. “Nah, kalau soal itu, menulis menurut kaidah-kaidah yang pernah kita pelajari di bangku sekolah dapat menyelamatkan kita. Sisanya? Terserah Anda, yang pentign Anda tahu dan mau menghadapi risikonya,” jawab saya.
Memang di era yang serba cepat, tergesa dan tergagap-gagap ini tak ada teori permanen yang mampu menjawab persoalan-persoalan tersebut. Teori-teori itu hanya cocok menjawab permasalahan saat itu. Besok lain lagi, begitu pula wajah pers kita dapat berubah-ubah dan bermacam-macam wujudnya seperti mimik pemain pantomim.
Pergeseran Nilai
Dunia kini dihadapkan pada pergeseran nilai-nilai dari modern ke post-modernisme (posmo). Diduga ini akibat modernisme yang hanya membangun infrastruktur dan berproduksi, gagal menjawab sejumlah persoalan seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup dan sebagainya.
Robert Dunn (1993) menandai adanya pergeseran yang menyertai budaya massal, yaitu dari produksi ke konsumsi. Dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks dari seniman ke penikmat. Jurang pemisah antara penulis dengan pembaca semakin ciut dan kini telah hilang karena mereka sudah setara, seiring dengan semakin meningkatnya kadar intelektual masyarakat, serta makin banyak dan mudahnya fasilitas masing-masing individu untuk ekspresi diri. Semua orang adalah penulis, semua orang adalah pemain dari sebuah orkestrasi yang disebut masyarakat post-modernisme. Posmo dengan demikian menolak makna tunggal, lantas menerima makna sementara. Dunia adalah sebuah ruang kosong yang akan diisi terus-menerus oleh pembaca.
Terjadi juga dari keseriusan, intelektualitas, ke nilai-nilai permainan, populer, dari kedalaman ke kulit, dari universal ke partikular. Ia menandai juga kebangkitan nilai estetik era 60-an, kebangkitan kembali tradisi, primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama lain.
Sementara itu John Naisbitt (2000) menandai, semakin kita menjadi universal, semakin tribal (tradisional etnik) tindakan kita. Dengan kata lain think globally, act locally. Ia (1984) juga menandai bergesernya peran pusat ke daerah-daerah, dari sentralisasi menuju ke desentralisasi, bergesernya ekonomi nasional menjadi ekonomi global. Negara-negara semakin tidak mandiri, saling bergentung serta didikte oleh MNC. Kita ingat pelarian modal Sony, Aiwa dan sejumlah pembuat sepatu klas dunia dari Indonesia, menghasilkan ribuan penganggur baru dan menimbulkan problem ekonomi tambahan.
Pauline Roseneau (1992) mengatakan posmo muncul karena modernisme gagal mewujudkan berbagai bidang, sering terjadi kontradiksi antara teori dan praktik, modernisme gagal mengatasi kemiskinan, pengangguran dan lingkungan akibat kemajuan teknologi. Ia menganggap ilmu pengetahuan modern terlalu terfokus pada dimensi fisik, kurang mistis dan metafisis.
Strinati (2003) bahkan menambahkan, selama ini modernisme telah mengorbankan konsumen demi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi tersebut. Di masa posmo, di mana tingkat kemakmuran dan waktu luang meningkat, maka konsumen memegang peranan penting, ia punya banyak pilihan dan kemauan. Maka peranan budaya massa (pop) seperti TV, video, komputer, taman hiburan, pusat perbelanjaan, sastra pop semakin penting.
Bagaimana Keadaan di Indonesia?
Ariel Heryanto (1994) mengatakan, posmo adalah relativisme, sekedar methode kritik dan tradisi, ini sudah ada di Indonesia. Sebagai gerakan bersifat relatif, apa saja bisa terjadi, dan kapan saja. Posmo juga dianggap sebuah dekonstruksi, menghancurkan apa yang telah ada, dan terlahir terlalu dini ketika modernisme belum tuntas. Terakhir, menurutnya, posmo sulit dipahami.
Kita dapat melihat di Indonesia, semua tingkat kebudayaan masih ada, mulai dari budaya jaman batu hingga super modern. Dari rasionalisme hingga mistikisme, klenik, ds. Kucuran budaya luar negeri begitu deras masuk ke Indonesia yang relatif masih muda, membuat gegar budaya luar biasa, sehingga character and nation building yang hendak dibangun Sukarno tersentak-sentak. Barangkali Indonesia menjadi model penting untuk diteliti, di mana seni budaya tradisionalnya begitu kaya, dan kini harus menghadapi derasnya alur budaya massa luar dan terjadi gegar budaya luar biasa tadi. Belum lagi mengalami fase-fase budaya seperti yang terjadi di Barat, kita sudah menghadapi fase posmo yang sulit dimengerti dan diprediksi.
Jurnalisme Ikut Mati Pula?
Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, yang a.l. di-geber lewat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, membuat media cetak bukan andalan utama masyarakat untuk mendapatkan informasi. Orang punya alternatif untuk memilih media guna memenuhi dahaga informasinya lewat radio, televisi, buku, yang semakin mudah didapat, jaringan internet yang makin luas dan meraksasa. Semuanya bisa didapat lewat jaringan telekomunikasi dan teknologi informasi yang semakin berkembang dalam hitungan jam, menit, bahkan per detik pun.
Di masa awal milenium yang lalu, pengetahun atau informasi diberikan secara diktaturial, sender menjadi superior dan receiver hanya inferior. Di masa aristotelian ini receiver relatif pasif.
Di jaman modern, posisi itu setidaknya mulai brimbang, ada interaksi aktif antara sender dan receiver.
Memasuki fase pos-strukturalisme, posmo, receiver sebagai konsumen seolah menjadi superior punya kemampuan mendikte kemauannya, serta terjadi diversivikasi luas sifat karakteristik mereka.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kemajuan teknologi informasi (information technology) serta komunikasi sekarang ini, membuat satu produk ilmu pengetahuan cepat menyebar dan mempengaruhi gaya hidup orang. Alvin Toffler (1970) mengatakan, mesin cetak mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hampir 50 tahun kemunculannya, radio kira-kira 20 tahun, televisi 10 tahun dan komputer semakin pendek lagi. Kini dengan semakin menyebarnya alat-alat komunikasi dan gadget yang semakin canggih, hari ini sebuah produk keluar, maka esok hari sudah terjadi kehebohan temporer.
Seperti dikatakan Charles Handy, produksi yang membanjiri pasar sangat berlebihan, di luar kemampuan serta keinginan riil masyarakat. Industri menciptakan barang-barang yang dipaksa untuk menjadi keperluan orang, seperti cat rambut, pemutih kulit, penurun berat badan, serta produk kosmetik lainnya, berbagai alat olahraga aneh-aneh, obat-obatan, gaya hidup dan sebagainya. Bahkan sejak 1961 Herbert N. Casson menengarai, para produsen memaksakan produk yang sebenarnya tidak terlalu penting kepada masyarakat, lewat propaganda, promosi terus-menerus.
Di tengah banjir besar produksi barang-barang modernisme ini, maka persaingan semakin keras, dan promosi memegang peranan kunci.
Media massa, terutama cetak, yang di Abad Ke-XIX menjadi diktatur besar yang mendikte audience-nya, kini harus bertekuk lutut di depan pengusaha, atau yang oleh Handy disebut tegas, yaitu MNC. Jumlah media massa, khususnya media cetak, yang semakin banyak, membuat pembaca memiliki banyak kebebasan untuk memilih – dan persaingan semakin ketat.
Jumlah pembaca koran di Indonesia yang belum mencapai seperempat populasinya, harus dicabik-cabik menjadi kepingan kecil-kecil.
Maka slogan kebebasan pers yang digembar-gemborkan menjadi tanda tanya besar, karena kehidupan mereka kini tergantung kepada para pemasang iklan yang nota bene dikuasai produsen klas dunia. Jurnalisme mulai bergeser dari NETRAL, OBYEKTIF, BERSIH DARI OPINI, dan slogan-slogan besar mulai dipertanyakan, dan muncul narasi-narasi kecil yang menyuarakan kepentingan kontemporer.
Dahulu berita dituntut agar seperti itu, tapi kini kita disodori berita yang memasukkan opini wartawannya, penilaian, bahkan “pengadilan”. Pertanyaan wartawan TV banyak yang sudah memojokkan narasumber sebelum narasumber itu sempat menjawab. Wartawan sudah dipenuhi prasangka sebelum mewawancara, bukan satu hipotesa yang harus diadu kebenarannya dengan berbagai sumber pengimbang. Narasumber seolah dipaksa untuk mengiyakan pendapat wartawan itu, agar tontonan TV-nya berhasil.
Saya sedih ketika mendengar dari seorang rekan wartawan, bahwa ada sebuah koran yang membuat judulnya dahulu, sedangkan “beritanya” dibuat belakangan, sehingga hal seperti di ataslah yang terjadi.
Sangat menyedihkan bagi wartawan-wartawan yang pernah mengalami “indoktrinasi” bahwa berita harus “bersih”, ketika kemudian membaca “berita” yang ternyata isinya melulu memuji-muji sebuah produk tertentu. Celakalah pembaca yang tidak kritis, tidak memiliki referensi lain, sehingga mereka “tertipu” mentah-mentah dengan mempercayai 100 persen isi “berita” itu.
Koran kita sekarang harus ‘mengemis’ kepada pemasang iklan dan untuk itu diadakan kompromi-kompromi. Berita sudah tidak murni sebagai informasi innocent, tapi sudah mengalami polesan promotif, baik dari pengusaha, selebriti dan dan kini merembes ke politisi. Kekuatan sekaligus kelemahan media massa mampu membuat orang tak dikenal menjadi ‘pahlawan’ dan untuk kemudian hilang entah ke mana setelah absen dari hiruk-pikuk pemberitaan ‘barang sedetik pun’.
Sudah sejak lama media massa menjadi alat propaganda politik atau perang, namun kini semakin kental sebagai promosi bisnis. Teori-teori perang kini masuk ke dunia bisnis, dari doktrin Clausewitz, pengusaha kini bergeser ke Sun Tzu yang luwes, ulet. Game theory-nya von Neumann yang berbasis zero-sum, telah diganti game theory-nya John Nash yang memungkinkan semua pihak mendapatkan kemenangan (win-win solution). Semua pihak harus mendapatkan hak yang sepadan dengan kemampuannya, dan terjadi simbiosis antara pihak-pihak yang dulu kita duga tidak mungkin.
Tiga pilar komunikasi massa, yaitu jurnalistik, iklan dan hubungan masyarakat kini semakin bergeser, di mana jurnalistik tertepikan dan iklan serta humas semakin dominan.
Bahkan di medan perang pun, seperti Perang Teluk II, fungsi propagandis dan intelejen sudah diambil alih oleh pakar humas komersial. Pemerintah AS mengontrak pakar humas sebuah produk shampoo yang juga terkenal di Indonesia, yaitu de Beers, serta sejumlah kantor kehumasan lainnya untuk menangani perang Teluk.
Mereka merekayasa peristiwa seolah-olah rakyat Irak menyambut kedatangan pasukan AS, padahal apa yang sebenarnya terjadi adalah, orang-orang lokal itu dibayar untuk show-nya perusahaan Public Relation (PR) yang disewa pemerintah Presiden George Bush.
Seperti dikatakan sebelumnya, model seperti ini banyak terjadi di bidang apa saja, di mana performance lebih penting ketimbang substansi, dan anehnya itulah yang diterima sebagai kebenaran oleh publik. Terlalu banyak informasi yang masuk ke ruang publik semaikin sulit kita mencermati secara kritis satu per satu.
Oleh karena itu tidak ada satu pun rumus ampuh yang berlaku universal untuk menjawab persoalan pers dewasa ini.
Nampaknya media massa boleh berbuat apa saja sepanjang ada audience yang mendukungnya. Itu sudah cukup karena selera publik pun dapat berubah setiap waktu. Sinyalemen Naisbitt bahwa kecenderungan orang kembali memalingkan perhatian ke masalah lokal serta etnik, artinya menjadi lebih sempit, dapat menjadi acuan [sementara] bagi para calon pengelola mass media.
Tapi sejauh mana dan seberapa lama, maka kembali, pergeseran minat masyarakat yang sangat cepat di era posmo ini tak dapat diramalkan pasti.
(Paper ini dikembangkan dari pengantar diskusi jurnalistik di Harian Terbit , Jakarta, 23 Agustus 2005)
Komentar
Posting Komentar