Mutiara Hati
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-6
Bagi saya tidak ada kata mundur, sama seperti ketika bertempur dulu. Maka jadilah acara lamaran sederhana kami laksanakan di Jalan Yogya No.2. Tidak ada acara adat, tidak ada formalitas. Kelihatannya mereka semua sudah maklum dan menerima saya apa adanya, perantau dari tanah Parahyangan ini. Semuanya berlangsung lancar, dan kemudian diadakan tukar menukar cincin. Pada hari itu juga, kami resmi bertunangan. Alangkah bahagianya!
Saya masih ingat Kucik waktu itu memakai baju kurung Melayu terbuat dari kain satijn berwarna hijau serta kain Pelekat. Pakaian inilah yang menjadi kebanggaan kaumnya pada waktu itu. Bahkan setelah kami menikah dan berkunjung ke Jakarta, Kucik masih tetap mengenakan pakaian adat itu ke mana-mana sampai banyak orang yang melihatnya dengan keheran-heranan. Adapun cincin pertunangan itu, hingga sekarang masih tetap saya pakai. Bentuknya sederhana, hanya berupa sigar penjalin atau rotan dibelah dua, tidak seperti model cincin tunangan jaman sekarang. Di bagian dalam ada tertulis nama kami berdua. Selain cincin itu, saya hingga sekarang pun memakai cincin bermata zamrud hadiah perkawinan kami dari Ibu Permaisuri. Bentuknya sederhana tapi indah dan tetap bersinar hingga sekarang. Tentu saja kedua cincin itu sudah beberapa kali saya besarkan ukurannya agar tetap enak dipakai.
Acara bertunangan itu pun terlaksana juga dengan sangat sederhana, dihadiri oleh sekitar 20 orang kerabat. Tunangan itu diadakan diam-diam guna menghindarkan diri dari para saudara yang tidak setuju dengan hubungan kami berdua. Sebenarnya saya bisa saja berbuat semaunya, karena saya seorang militer, kenyang dalam pertempuran sehingga apa saja siap saya lawan, apalagi menyangkut kehormatan. Namun keutuhan keluarga Kucik tetap harus dipertahankan sebaik-baiknya, ibarat menarik benang dari tepung, benang tertarik tepung tak berserak.
Selesai acara penting itu, tak ada lagi kegiatan khusus, seperti selamatan misalnya. Kalau soal makan, setiap kali berkunjung saya selalu diajak makan bersama mereka, tidak perlu suasana tertentu. Bila tiba waktu makan mereka mengajak menyantap hidangan yang tersedia di meja besar. Dan itulah kebiasaan mereka, spontan, tidak berbasa-basi, hubungan menjadi akrab dan hangat. Hanya saja setelah bertunangan itu, Ibu sering memasak hidangan khusus untuk saya, umumnya dari bermacam-macam jenis ikan laut serta udang galah yang besar-besar itu. Bagi saya ini suatu keistimewaan, sebab ketika masih di kampung halaman, jenis ikan yang kami tahu hanya ikan darat dari balong (kolam, tebat) itu saja seperti ikan mas, gurami, mujair, dan sebagainya. Kebiasaan itu Ibu lakukan hingga saat kami bertugas di Singapura maupun Jakarta. Istana mereka pun dahulu selalu terbuka bagi masyarakat umum. Siapa pun boleh bertandang dan selalu ada acara makan bagi mereka.
Setelah kami bertunangan, Kucik mulai ikut kegiatan kemasyarakatan saya seperti bermain badminton, tenis, atau bridge dengan para kenalan, handai taulan. Di sanalah ia berkenalan dengan keluarga Kartakusuma, yang kemudian menjadi sahabat dekat kami hingga sekarang ini. Lagi-lagi, kami masih tetap mendapat pengawalan dari sanak saudaranya, walau pun jumlahnya tidak ‘satu peleton’ seperti ketika menonton film dahulu itu. Hubungan saya dengan para kerabat perempuan lebih erat lagi. Mereka biasa memanggil saya dengan sebutan adik, bahkan dengan menyebut nama Barkah saja, seperti Ibunda Kucik memanggil saya. Ada yang memanggil saya dengan menyebut pangkat saya, Kapten. Lucunya, Atok atau Eyang Kucik selalu memanggil saya dengan sapaan Kapten, tidak peduli saya sudah berpangkat Kolonel sampai Brigadir Jenderal sekali pun.
Menikah di kota lain
Menjelang akhir tahun 1950 itu keputusan untuk segera menikah semakin kental. Namun dengan ketidak setujuan para paman Kucik, maka hal ini merepotkan juga. Salah seorang kakak laki-laki Kucik harus mengasingkan diri ke Singapura dengan biaya kami, karena ia tidak ingin menyulitkan posisi kami dalam perkawinan itu. Dalam adat mereka, jika sebuah pernikahan tidak direstui secara bulat oleh seluruh keluarga, maka pernikahan harus dilangsungkan di tempat lain, menjauh.
Atas persetujuan para anggota keluarga yang mendukung, saya menyiapkan tempat menikah di kota lainnya. Pilihan saya jatuh ke kota Pematang Siantar, kira-kira 120 km dari Medan ke arah tenggara. Tempat itu cukup baik, aman, dan para kolega saya di Komando Militer Kota (KMK) setempat sangat mendukung, dan mereka menjadi semacam panitia untuk melaksanakannya termasuk yang mengatur semuanya. Saya pikir mungkin atas instruksi Pak D.I. Panjaitan.
Tempat pernikahan kami adalah Hotel Siantar. Bukan di aulanya, tapi cukup di salah satu dari dua kamar yang dipesan teman-teman KMK. ‘Panitia’ lokal itu terdiri dari tiga orang, termasuk Komandan KMK-nya, walau pun dalam acara sesungguhnya ia tidak hadir. Tentu saya sangat berterimakasih kepada mereka ini. Sedangkan rombongan dari Medan terdiri dari kira-kira 10 orang, berangkat menggunakan dua mobil. Komandan KMK sangat mendukung rencana saya itu. Malahan dua orang anak buahnya bertindak sebagai saksi pernikahan tersebut. Di antaranya tentu saja Tengku Kamaliah, termasuk Ibu tiri Kucik. Ibu ini mengerti sekali kesulitan yang saya hadapi, dan dengan sabar selalu mendampingi kami.
Surat nikah pada waktu itu masih sangat sederhana terdiri dari selembar kertas tebal dilipat menjadi dua. Yang mengeluarkan surat itu adalah Djawatan Agama Daerah Sumatra Timur, Medan, diserahkan melalui Kotapradja Pematang Siantar.
Kami menikah 11 Januari 1951 atau tanggal dua bulan empat tahun 1370 Hijriyah. Usia saya genap 27 tahun, suatu umur yang cukup matang untuk menikah, sedangkan calon istri saya 18 tahun, cukup dewasa untuk menjalani hidup berumah tangga.
Bertindak sebagai kadhi atau naib kadhi adalah H. Abdul Halim, yang sekaligus menjadi wali nikahnya. Sedangkan para saksi terdiri dari Rasyid Ali, kemudian dua orang kolega saya anggota KMK masing-masing Letnan Dua Suwarsono, serta Letnan Muda J. Arsyad.
Saya tahu betul siapa Letnan Dua Suwarsono. Ia adalah bekas anggota Tentara Pelajar dari salah satu kota di Jawa. Prestasinya sangat baik, dan dia ditugaskan ke Teritorium I oleh karena kemampuannya itu. (Bersambung)
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-6
Bagi saya tidak ada kata mundur, sama seperti ketika bertempur dulu. Maka jadilah acara lamaran sederhana kami laksanakan di Jalan Yogya No.2. Tidak ada acara adat, tidak ada formalitas. Kelihatannya mereka semua sudah maklum dan menerima saya apa adanya, perantau dari tanah Parahyangan ini. Semuanya berlangsung lancar, dan kemudian diadakan tukar menukar cincin. Pada hari itu juga, kami resmi bertunangan. Alangkah bahagianya!
Saya masih ingat Kucik waktu itu memakai baju kurung Melayu terbuat dari kain satijn berwarna hijau serta kain Pelekat. Pakaian inilah yang menjadi kebanggaan kaumnya pada waktu itu. Bahkan setelah kami menikah dan berkunjung ke Jakarta, Kucik masih tetap mengenakan pakaian adat itu ke mana-mana sampai banyak orang yang melihatnya dengan keheran-heranan. Adapun cincin pertunangan itu, hingga sekarang masih tetap saya pakai. Bentuknya sederhana, hanya berupa sigar penjalin atau rotan dibelah dua, tidak seperti model cincin tunangan jaman sekarang. Di bagian dalam ada tertulis nama kami berdua. Selain cincin itu, saya hingga sekarang pun memakai cincin bermata zamrud hadiah perkawinan kami dari Ibu Permaisuri. Bentuknya sederhana tapi indah dan tetap bersinar hingga sekarang. Tentu saja kedua cincin itu sudah beberapa kali saya besarkan ukurannya agar tetap enak dipakai.
Acara bertunangan itu pun terlaksana juga dengan sangat sederhana, dihadiri oleh sekitar 20 orang kerabat. Tunangan itu diadakan diam-diam guna menghindarkan diri dari para saudara yang tidak setuju dengan hubungan kami berdua. Sebenarnya saya bisa saja berbuat semaunya, karena saya seorang militer, kenyang dalam pertempuran sehingga apa saja siap saya lawan, apalagi menyangkut kehormatan. Namun keutuhan keluarga Kucik tetap harus dipertahankan sebaik-baiknya, ibarat menarik benang dari tepung, benang tertarik tepung tak berserak.
Selesai acara penting itu, tak ada lagi kegiatan khusus, seperti selamatan misalnya. Kalau soal makan, setiap kali berkunjung saya selalu diajak makan bersama mereka, tidak perlu suasana tertentu. Bila tiba waktu makan mereka mengajak menyantap hidangan yang tersedia di meja besar. Dan itulah kebiasaan mereka, spontan, tidak berbasa-basi, hubungan menjadi akrab dan hangat. Hanya saja setelah bertunangan itu, Ibu sering memasak hidangan khusus untuk saya, umumnya dari bermacam-macam jenis ikan laut serta udang galah yang besar-besar itu. Bagi saya ini suatu keistimewaan, sebab ketika masih di kampung halaman, jenis ikan yang kami tahu hanya ikan darat dari balong (kolam, tebat) itu saja seperti ikan mas, gurami, mujair, dan sebagainya. Kebiasaan itu Ibu lakukan hingga saat kami bertugas di Singapura maupun Jakarta. Istana mereka pun dahulu selalu terbuka bagi masyarakat umum. Siapa pun boleh bertandang dan selalu ada acara makan bagi mereka.
Setelah kami bertunangan, Kucik mulai ikut kegiatan kemasyarakatan saya seperti bermain badminton, tenis, atau bridge dengan para kenalan, handai taulan. Di sanalah ia berkenalan dengan keluarga Kartakusuma, yang kemudian menjadi sahabat dekat kami hingga sekarang ini. Lagi-lagi, kami masih tetap mendapat pengawalan dari sanak saudaranya, walau pun jumlahnya tidak ‘satu peleton’ seperti ketika menonton film dahulu itu. Hubungan saya dengan para kerabat perempuan lebih erat lagi. Mereka biasa memanggil saya dengan sebutan adik, bahkan dengan menyebut nama Barkah saja, seperti Ibunda Kucik memanggil saya. Ada yang memanggil saya dengan menyebut pangkat saya, Kapten. Lucunya, Atok atau Eyang Kucik selalu memanggil saya dengan sapaan Kapten, tidak peduli saya sudah berpangkat Kolonel sampai Brigadir Jenderal sekali pun.
Menikah di kota lain
Menjelang akhir tahun 1950 itu keputusan untuk segera menikah semakin kental. Namun dengan ketidak setujuan para paman Kucik, maka hal ini merepotkan juga. Salah seorang kakak laki-laki Kucik harus mengasingkan diri ke Singapura dengan biaya kami, karena ia tidak ingin menyulitkan posisi kami dalam perkawinan itu. Dalam adat mereka, jika sebuah pernikahan tidak direstui secara bulat oleh seluruh keluarga, maka pernikahan harus dilangsungkan di tempat lain, menjauh.
Atas persetujuan para anggota keluarga yang mendukung, saya menyiapkan tempat menikah di kota lainnya. Pilihan saya jatuh ke kota Pematang Siantar, kira-kira 120 km dari Medan ke arah tenggara. Tempat itu cukup baik, aman, dan para kolega saya di Komando Militer Kota (KMK) setempat sangat mendukung, dan mereka menjadi semacam panitia untuk melaksanakannya termasuk yang mengatur semuanya. Saya pikir mungkin atas instruksi Pak D.I. Panjaitan.
Tempat pernikahan kami adalah Hotel Siantar. Bukan di aulanya, tapi cukup di salah satu dari dua kamar yang dipesan teman-teman KMK. ‘Panitia’ lokal itu terdiri dari tiga orang, termasuk Komandan KMK-nya, walau pun dalam acara sesungguhnya ia tidak hadir. Tentu saya sangat berterimakasih kepada mereka ini. Sedangkan rombongan dari Medan terdiri dari kira-kira 10 orang, berangkat menggunakan dua mobil. Komandan KMK sangat mendukung rencana saya itu. Malahan dua orang anak buahnya bertindak sebagai saksi pernikahan tersebut. Di antaranya tentu saja Tengku Kamaliah, termasuk Ibu tiri Kucik. Ibu ini mengerti sekali kesulitan yang saya hadapi, dan dengan sabar selalu mendampingi kami.
Surat nikah pada waktu itu masih sangat sederhana terdiri dari selembar kertas tebal dilipat menjadi dua. Yang mengeluarkan surat itu adalah Djawatan Agama Daerah Sumatra Timur, Medan, diserahkan melalui Kotapradja Pematang Siantar.
Kami menikah 11 Januari 1951 atau tanggal dua bulan empat tahun 1370 Hijriyah. Usia saya genap 27 tahun, suatu umur yang cukup matang untuk menikah, sedangkan calon istri saya 18 tahun, cukup dewasa untuk menjalani hidup berumah tangga.
Bertindak sebagai kadhi atau naib kadhi adalah H. Abdul Halim, yang sekaligus menjadi wali nikahnya. Sedangkan para saksi terdiri dari Rasyid Ali, kemudian dua orang kolega saya anggota KMK masing-masing Letnan Dua Suwarsono, serta Letnan Muda J. Arsyad.
Saya tahu betul siapa Letnan Dua Suwarsono. Ia adalah bekas anggota Tentara Pelajar dari salah satu kota di Jawa. Prestasinya sangat baik, dan dia ditugaskan ke Teritorium I oleh karena kemampuannya itu. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar