Mutiara Hati
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-5
‘Upacara’ pengawalan semacam itu jelas berlaku pula pada saat kami mengadakan perjalanan ke luar kota untuk berekreasi. Beberapa orang anggota keluarga menyertai kami untuk pergi ke luar kota. Tempat yang paling kami senangi adalah Brastagi, atau kota Prapat yang sejuk. Tentu saja kami tidak pernah menginap di sana. Kami cuma menikmati pemandangan alam, menikmati sejuknya udara pegunungan serta mengamati bunga-bungaan yang banyak ditanam dan dijual orang di sana. Tidak lupa kami pun membeli buah-buahan yang banyak terdapat di sana, kemudian balik ke Medan pada petang harinya.
Bertukar cincin
Minggu demi minggu kami lewati, hingga pada pada suatu saat, Tengku Kamaliah menjajagi keseriusan saya untuk meneruskan hubungan dengan Kucik ke jenjang pernikahan. Saya merasa sudah waktunya untuk mengatakan keinginan mempersunting putri Sultan Langkat tersebut. Akan tetapi saya kemudian mendapatkan bahwa proses itu tidaklah semudah membalikkan tangan. Ketika saya mengatakan niat untuk mempersunting Kucik, terjadi semacam kegaduhan di antara anggota keluarga Sultan.
Hal itu dapat dimaklumi karena saya berasal dari ‘seberang’, berbeda suku, dan bukan dari keluarga kesultanan. Tidak mudah menikah dengan putri seorang bangsawan, apalagi dengan putri seorang Sultan seperti Kucik pada jaman itu.
Kejadianya berawal pada suatu siang, kalau tidak salah hari Minggu, saya datang dengan memakai Pakaian Dinas Harian (PDH). Bagi saya ini sebagai suatu kebanggaan sebagai seorang militer. Kedatangan itu dengan maksud yang sudah amat jelas yaitu untuk melamar Kucik. Sebelum menyatakan maksud hati, dada saya kembali berdebar-debar. Meskipun saya seorang anggota militer dan berkali-kali terlibat dalam berbagai-bagai pertempuran, ternyata dalam urusan melamar gadis merasa agak deg-degan juga. Tapi hati saya sudah bulat betul. Saya sampaikan keinginan itu.
Sebelum maju melamar Kucik, saya harus memberitahu kedua orang tua mengenai rencana itu. Saya berkirim surat kepada ayah ibu di Purwakarta, Jabar. Beberapa hari kemudian datanglah telegram dari mereka yang mengatakan tidak berkeberatan dengan rencana tersebut, semua diserahkannya kepada saya, dan sekaligus minta maaf tidak dapat menghadiri acara itu, namun tetap mendoakan kami berdua. Telegram itu saya tunjukkan kepada keluarga Kucik sebagai tanda persetujuan. Sedangkan yang kedua, saya harus menyelesaikan segala rencana pernikahan itu dengan institusi saya.
Di luar dugaan, Pak D.I. Panjaitan, pahlawan revolusi itu, mendukung sepenuhnya. Sebagai sesama Kapten dan juga sama-sama Kepala Staff beliau antusias sekali mendengar rencana saya itu lalu berkata: “Go ahead, teruskan saja, saya akan dukung penuh”. Ucapan itu sangat bermakna. Di kemudian hari ketika kami mengadakan resepsi di Medan, segala sesuatunya didukung dan digerakkan oleh Pak Panjaitan. Segala keperluan resepsi pernikahan beliau atur, hingga sampai ke kado-kado segala macam. Saya sungguh tidak menduga akan kebaikan hati kolega saya itu.
Selain itu ada pula Kepala Staff TT I yaitu Pak Kartakusuma, yang kebetulan saja satu daerah dengan saya. Beliau mendengar keadaan itu, lalu berkata:
“Ah…..enggak usah khawatir, bereslah itu…”
Hal sebaliknya justru saya terima dari Komandan saya, Kolonel Simbolon. Sebagai bawahan, saya mengirimkan surat permohonan pernikahan resmi kepada beliau. Setelah sekian lama, surat itu tidak dibalas-balas juga. Saya amat sungkan menanyakannya, lagi pula beliau nampak tidak pernah mempedulikan kepentingan saya sebagai anak buahnya langsung. Ini membuat saya agak risau. Hal ini saya sampaikan kepada Pak Panjaitan. Beliau kaget sekali, dan kemudian entah dengan cara bagaimana, pada suatu hari Pak Panjaitan bilang: “Sudah beres, semua sudah saya selesaikan”. Itu saja yang diucapkannya, tapi saya paham sekali bahwa beliau selalu serius.
Satu hal lagi yang saya tidak habis mengerti, pada resepsi pernikahan kami pun Pak Simbolon tetap tidak hadir, bahkan secarik surat ucapan selamat pun tidak pernah saya terima darinya. Aneh memang. Di kemudian hari, Pak Simbolon terlibat gerakan PRRI, dan saya mempunyai pengalaman menarik tentang hal itu dengannya. Akan saya ceritakan di bab selanjutnya nanti.
Pada waktu pelamaran ada kejadian yang amat menarik. Yang hadir dalam pertemuan kecil itu hanyalah kakak tertua Kucik, yaitu Tengku Kamaliah, kemudian kakak-kakak perempuannya yang lain, Ibu, serta beberapa orang kerabat. Semuanya perempuan! Lalu ke mana saudara laki-lakinya? Inilah permasalahannya. Belakangan saya tahu bahwa ternyata hubungan saya dengan Kucik tidak mendapat restu dari para paman. Berbagai cara mereka cari guna memutuskan hubungan kami. Hal ini dapat dipahami, karena mereka berasal dari keluarga ningrat, terikat oleh adat istiadat yang ketat. Masalah perjodohan selalu ditangani oleh keluarga, sehingga jarang ada orang luar datang mencoba melamar putri-putri mereka. Gadis-gadis selalu dicarikan jodoh oleh keluarga, yang umumnya dari antara para kerabat dari kalangan ningrat pula. Sedangkan saya sendiri, dianggap sebagai orang asing, berlainan suku serta barangkali, menurut dugaan saya, profesi militer saya meninggalkan kenangan buruk bagi keluarga besar ini, setelah mengalami kejadian yang teramat pahit dua tiga tahun sebelumnya. Bahkan saya didesas-desuskan sebagai orang Batak, dan sebagainya. Rupanya aksi ini memengaruhi para kakak laki-laki Kucik pula. Mereka tidak setuju dengan hubungan kami dan menolak hadir dalam acara pelamaran. (Bersambung)
Penulis Adji Subela
Bagian Ke-5
‘Upacara’ pengawalan semacam itu jelas berlaku pula pada saat kami mengadakan perjalanan ke luar kota untuk berekreasi. Beberapa orang anggota keluarga menyertai kami untuk pergi ke luar kota. Tempat yang paling kami senangi adalah Brastagi, atau kota Prapat yang sejuk. Tentu saja kami tidak pernah menginap di sana. Kami cuma menikmati pemandangan alam, menikmati sejuknya udara pegunungan serta mengamati bunga-bungaan yang banyak ditanam dan dijual orang di sana. Tidak lupa kami pun membeli buah-buahan yang banyak terdapat di sana, kemudian balik ke Medan pada petang harinya.
Bertukar cincin
Minggu demi minggu kami lewati, hingga pada pada suatu saat, Tengku Kamaliah menjajagi keseriusan saya untuk meneruskan hubungan dengan Kucik ke jenjang pernikahan. Saya merasa sudah waktunya untuk mengatakan keinginan mempersunting putri Sultan Langkat tersebut. Akan tetapi saya kemudian mendapatkan bahwa proses itu tidaklah semudah membalikkan tangan. Ketika saya mengatakan niat untuk mempersunting Kucik, terjadi semacam kegaduhan di antara anggota keluarga Sultan.
Hal itu dapat dimaklumi karena saya berasal dari ‘seberang’, berbeda suku, dan bukan dari keluarga kesultanan. Tidak mudah menikah dengan putri seorang bangsawan, apalagi dengan putri seorang Sultan seperti Kucik pada jaman itu.
Kejadianya berawal pada suatu siang, kalau tidak salah hari Minggu, saya datang dengan memakai Pakaian Dinas Harian (PDH). Bagi saya ini sebagai suatu kebanggaan sebagai seorang militer. Kedatangan itu dengan maksud yang sudah amat jelas yaitu untuk melamar Kucik. Sebelum menyatakan maksud hati, dada saya kembali berdebar-debar. Meskipun saya seorang anggota militer dan berkali-kali terlibat dalam berbagai-bagai pertempuran, ternyata dalam urusan melamar gadis merasa agak deg-degan juga. Tapi hati saya sudah bulat betul. Saya sampaikan keinginan itu.
Sebelum maju melamar Kucik, saya harus memberitahu kedua orang tua mengenai rencana itu. Saya berkirim surat kepada ayah ibu di Purwakarta, Jabar. Beberapa hari kemudian datanglah telegram dari mereka yang mengatakan tidak berkeberatan dengan rencana tersebut, semua diserahkannya kepada saya, dan sekaligus minta maaf tidak dapat menghadiri acara itu, namun tetap mendoakan kami berdua. Telegram itu saya tunjukkan kepada keluarga Kucik sebagai tanda persetujuan. Sedangkan yang kedua, saya harus menyelesaikan segala rencana pernikahan itu dengan institusi saya.
Di luar dugaan, Pak D.I. Panjaitan, pahlawan revolusi itu, mendukung sepenuhnya. Sebagai sesama Kapten dan juga sama-sama Kepala Staff beliau antusias sekali mendengar rencana saya itu lalu berkata: “Go ahead, teruskan saja, saya akan dukung penuh”. Ucapan itu sangat bermakna. Di kemudian hari ketika kami mengadakan resepsi di Medan, segala sesuatunya didukung dan digerakkan oleh Pak Panjaitan. Segala keperluan resepsi pernikahan beliau atur, hingga sampai ke kado-kado segala macam. Saya sungguh tidak menduga akan kebaikan hati kolega saya itu.
Selain itu ada pula Kepala Staff TT I yaitu Pak Kartakusuma, yang kebetulan saja satu daerah dengan saya. Beliau mendengar keadaan itu, lalu berkata:
“Ah…..enggak usah khawatir, bereslah itu…”
Hal sebaliknya justru saya terima dari Komandan saya, Kolonel Simbolon. Sebagai bawahan, saya mengirimkan surat permohonan pernikahan resmi kepada beliau. Setelah sekian lama, surat itu tidak dibalas-balas juga. Saya amat sungkan menanyakannya, lagi pula beliau nampak tidak pernah mempedulikan kepentingan saya sebagai anak buahnya langsung. Ini membuat saya agak risau. Hal ini saya sampaikan kepada Pak Panjaitan. Beliau kaget sekali, dan kemudian entah dengan cara bagaimana, pada suatu hari Pak Panjaitan bilang: “Sudah beres, semua sudah saya selesaikan”. Itu saja yang diucapkannya, tapi saya paham sekali bahwa beliau selalu serius.
Satu hal lagi yang saya tidak habis mengerti, pada resepsi pernikahan kami pun Pak Simbolon tetap tidak hadir, bahkan secarik surat ucapan selamat pun tidak pernah saya terima darinya. Aneh memang. Di kemudian hari, Pak Simbolon terlibat gerakan PRRI, dan saya mempunyai pengalaman menarik tentang hal itu dengannya. Akan saya ceritakan di bab selanjutnya nanti.
Pada waktu pelamaran ada kejadian yang amat menarik. Yang hadir dalam pertemuan kecil itu hanyalah kakak tertua Kucik, yaitu Tengku Kamaliah, kemudian kakak-kakak perempuannya yang lain, Ibu, serta beberapa orang kerabat. Semuanya perempuan! Lalu ke mana saudara laki-lakinya? Inilah permasalahannya. Belakangan saya tahu bahwa ternyata hubungan saya dengan Kucik tidak mendapat restu dari para paman. Berbagai cara mereka cari guna memutuskan hubungan kami. Hal ini dapat dipahami, karena mereka berasal dari keluarga ningrat, terikat oleh adat istiadat yang ketat. Masalah perjodohan selalu ditangani oleh keluarga, sehingga jarang ada orang luar datang mencoba melamar putri-putri mereka. Gadis-gadis selalu dicarikan jodoh oleh keluarga, yang umumnya dari antara para kerabat dari kalangan ningrat pula. Sedangkan saya sendiri, dianggap sebagai orang asing, berlainan suku serta barangkali, menurut dugaan saya, profesi militer saya meninggalkan kenangan buruk bagi keluarga besar ini, setelah mengalami kejadian yang teramat pahit dua tiga tahun sebelumnya. Bahkan saya didesas-desuskan sebagai orang Batak, dan sebagainya. Rupanya aksi ini memengaruhi para kakak laki-laki Kucik pula. Mereka tidak setuju dengan hubungan kami dan menolak hadir dalam acara pelamaran. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar