Langsung ke konten utama

Seekor Kucing Kurus

Cerpen

Oleh Adji Subela

“Rakus!!” dengus seekor kucing kurus kecil di meja di depanku, setelah sebelumnya mengeong-ngeong melihat aku lahap memakan sebongkah daging panggang lezat tanpa menoleh ke sana dan ke mari, lalu ia melompat dengan sisa tenaganya sebelum mati kelaparan, dan ternyata yang dilihatnya kemudian cumalah setumpuk tulang licin, dan bahkan bagian rawannya pun telah tandas habis kugilas.
Semula ia masih mencoba menggigiti tulang-tulang licin tadi dengan taring-taringnya. Sebuah usaha yang sia-sia dan bodoh, walau pun untuk usahanya itu ia pantas disemati medali kegigihan.
“Rakus!!” seringainya dengan bersit kebencian padaku.
“Bawel!! Kucing kurus tak berguna!” balasku, tak kalah-kalah pula benciku.
“Lihat, bahkan makhluk yang tertinggi derajatnya di dunia ini pun tak menyisakan rejekinya buat si miskin dan si kelaparan seperti kita,” adunya kepada seekor cicak, yang setelah mendengarnya, lantas tertawa terkekeh-kekeh, setengah takut jangan-jangan dirinya kemudian dimangsa oleh kucing kelaparan tadi. Ia cepat-cepat merayap jauh ke tempat yang lebih atas lagi, khawatir kalau setengah ketakutannya tersebut jadi kenyataan bulat-bulat.
“Dasar kucing bodoh, pemalas. Kamu ‘kan masih bisa mengais-ngais tong sampah buat mencari sekedar remah-remah sisa makanan manusia?” dampratku.
“Apa? Kau samakan aku dengan anjing najis itu? Tidak! Takkan! Aku kucing pembersih, hanya di restoran elit semacam inilah aku mau makan.”
“Sombong! Snobbish! Kalian binatang manja, sedangkan kerja kalian tak ada, manfaat kalian pun tak nampak. Cuma orang-orang yang kurang pekerjaan dan kelebihan uang sajalah yang mau mengelus-elus kamu serta mendandanimu seperti banci-banci.”
“Tapi aku binatang kesukaan Rasulullah,” bantahnya dengan mata menyala-nyala seperti hendak menghanguskan aku seketika . Belum pernah kulihat mata kucing yang begitu ganasnya. Biasanya sorot matanya selalu layu mengiba-iba kepada manusia. Ia sudah bermanja-manja kepada manusia selama ribuan tahun dan tak mampu lagi ia mengaiskan cakarnya sendiri untuk makan.
“Tapi kau bukan kucing Rasulullah dahulu. Tentu kucing itu sudah mati ratusan tahun lalu. Kalian hanya macan kerdil yang linglung, pemalas yang cuma suka bergolek di lantai panas. Lantas kalau tuanmu datang, kau pun takkan peduli secuil pun guna menunjukkan kesetian dan balas budimu, dan mencuri lauk-pauknya bila ia lengah. Itulah sketsa kucing pada jaman sekarang ini, bukan ribuan tahun lalu, ketika kalian masih punya harga diri, sebagai pemburu melawan binatang buas-buas untuk memberi keluargamu makan,” semprotku.
“Sok! Tak punya hati, tak punya rasa belas kasihan.....,” kucing itu bersungut-sungut.
“Ha-ha. Kami disuruh mengasihani para pemalas yang memanipulasi rasa kasihan itu untuk hidup enak? Tanpa kerja keras seperti singa di gurun, atau harimau di hutan yang menyabung nyawa guna memberi suap demi suap makanan dan melindungi keluarganya? Cis! Cis! Puih-puih! Ketika para pekerja keras mengaso sebentar untuk sekedar makan agar tenaganya pulih, supaya bisa bekerja keras kembali, kalian seenaknya mengeong-ngeong mengemis dan bahkan merebut makanan di meja. Bahkan Rasulullah sendiri bersabda bahwa menelungkupkan tapak tangan jauh lebih baik dan mulia ketimbang menengadahkannya.”
“Tapi, bagaimana pun kami ada gunanya. Kau terlalu picik,” ia membela diri.
“Berguna? Sebagai pajangan, mungkin juga. Tapi lihat, sedang anjing yang najis pun tahu siapa tuannya, tahu bagaimana berterimakasih dan loyal. Ia akan membela tuannya. Kalian? Kepada tikus pun sudah takut! Apa lagi guna kalian itu? Ketika tuanmu memberimu kepercayaan untuk menjaga makanan, kau malah habiskan barang itu, berbagi kesempatan dengan tikus yang sesungguhnya harus kau kejar dan kau binasakan. Kalian sungguh-sungguh tak bisa dipercaya.”
Aku masih juga bersemangat menyemprotkan kata-kata makian yang kulepas dengan suka hati hari itu,”Bung, kalian cuma mengandalkan nama besar nenek moyangmu sejak zaman Mesir Kuno. Nama besar nenek-moyangmu dan bongkah-bongkah kebangganmu telah menutupi matamu akan kenyataan hari ini. Kalian diminyaki kemanjaan yang tak pernah kau pelihara sendiri dan ditimbuni hutan dan sungai yang kaya kayu dan geleparan jutaan ikan-ikan lalu kalian lupa untuk memeliharanya hingga kalian kini tak punya apa-apa, dan kalian kini cuma memakan tulang-tulang, duri-duri di tempat sampah.”
Kucing itu diam, tapi tampaknya ia ingin memberontak menyampaikan bantahannya. Lalu sebelum kemauannya itu terlaksana, aku sudah menambah kata-kata kasarku lagi:
"Hahahaha, hei kucing. Kalian sekarang ini cuma mewarisi loreng ganasnya harimau, tajamnya taring singa dan kumis garangnya cheetah. Tapi, semuanya itu tak ada artinya apa-apa padamu. Hahaha...cuma hiasan palsu, aksesoris belaka! Tahu enggak? Kenapa? Kalian cuma menadah tangan pada tuan-tuan kalian dan lalu bergolek tidur di lantai hangat. Titik, cuma itu.”
“Apa gunanya tuanmu memelihara kamu? Cuma sebagai kembang layu dalam vas yang kering di pojok ruangan? Agar tetangganya mengakui bahwa rumah tuanmu itu indah, penuh kasih-sayang, dan aman tenteram? Itu semuanya sebuah nol yang amat besar tak terhingga,” tambahku lagi.
Kukatakan pula bahwa kucing, baik yang kurus, yang gemuk, yang kudisan atau pun yang cantik, hidupnya tergantung sekali pada manusia, dus pihak lain: Binatang buas yang telah kehilangan jati dirinya karena ribuan tahun selalu diberi makan enak, minum susu dan dielus-elus. Mereka telah lupa cara berburu mencari nafkah, tak ingat lagi berjuang mengadu nyawa. Mereka sudah takut mati.
Aku berkata seperti yang aku lihat. Kucing-kucing selalu berkumpul di perkampungan manusia, amat banyak, serta boleh jadi lebih besar jumlahnya ketimbang manusianya sendiri. Gelandangan berkaki empat itu suka berkeliaran dengan malas dan bebal – seperti halnya manusia juga – hingga sering jadi santapan roda-roda mobil di jalan raya. Lalu isi perutnya tumpah di jalan, menjijikkan sekali. Begitu banyak roda menggilasnya hingga tubuh berloreng-loreng itu menjadi gepeng, kering seperti dendeng tanpa bumbu!
“Tidak, kami tetap mandiri. Lihat diriku. Aku berjuang sendiri! Teman-teman yang lain begitu pula. Kamu ceroboh menuduh orang,” bantahnya.
“Ha...ha....ha...ha....berburu sisa-sisa makanan di keranjang sampah di perumahan manusia? Itu pekerjaan kere. Lihat dirimu, Bung. Gigimu tajam-tajam, kukumu lancip-lancip, lorengmu pun menakutkan! Lalu saat musim kawin pun kalian ribut membikin berisik lingkungan kami malam-malam, ketika kami tidur setelah seharian bekerja keras. Seharusnya kau berlaga di hutan-hutan melawan dan menangkap tupai, atau pelanduk,” begitu aku menyerangnya, “gigi-geligimu akan tajam-tajam, berkilat menyinar wibawa seorang pemburu, bukan pengorek tempat sampah dan pencuri rejeki orang! Hahahaha!”
“Ha...ha...ha...lihat, seekor macan kerdil makan sisa-sisa roti restoran, sisa tulang di tong-tong di pinggir jalan. Bagaimana tikus pun tak menghina kaliam, menyibirkan bibir mereka kepada kalian?” kataku lagi, lalu aku ketawa keras-keras.
“Pekerjaan itu cuma pantas dilakukan oleh tikus kurap atau kecoak-kecoak...haha..haha..haha......”
Tanpa aku duga, kucing itu lalu mengerutkan badannya, melingkar lalu menangis tersedu-sedu di meja di depanku.
“Sesungguhnya akulah binatang yang harus dikasihani dan diberi dukungan bathin. Aku akui kata-katamu itu benar adanya. Kucing, kini hanyalah jadi hiasan karena nafsu-nafsu kuasa manusia. Kami dikebiri. Tapi janganlah kalian menyalahkan kami. Ini sebuah status yang harus aku pikul selama hidupku, tanpa aku tahu dan aku sempat untuk menyadarinya, karena nenek-moyangku terlalu loba dan malas dan hanya mengangakan mulutnya untuk disuapi tuan-tuan mereka. Cakarnya sudah tumpul, giginya telah majal, pun otaknya kini mengental beku. Dan kesalahan itu kami pikul akibatnya hingga sekarang......,” ia lalu terdiam dan kemudian sedu-sedannya pecah menjadi tangis berantakan keras-keras. Rupa kecengengan dan kemanjaannya kini semakin berbentuk. Ah, makhluk yang sial! Bodoh!
“Sepatutnyalah nenek-moyang kami tak menggantungkan tali nasibnya pada pohon orang lain. Mereka seharusnya lari mengasah cakar dan giginya di hutan-hutan......bangga mati setelah melawan, mempertahankan nyawanya secara gagah perwira............”
Pembaca, ternyatalah kata-kata terakhirnya itu mampu mengelitiki mataku, hingga sempat aku hendak menangisi binatang yang suka menggantungkan nasibnya pada orang lain sampai tak mampu lagi berbuat lain kecuali atas perintah dan persetujuan tuannya.
“Sebenarnya, Bung,” begitu si kucing celaka itu kemudian berkata-kata sambil mengusap-usap matanya, “aku tadi begitu laparnya hingga aku melompat dengan sisa-sisa tenagaku untuk memakan sisa-sisa daging itu. Laparku mengulas perutku tanpa ampun lagi, dan telah melupakan segalanya. Lapar memang mendorong siapa saja untuk berbuat apa saja.”
“Aku minta maaf padamu kini,” ujarku.
“Sudahlah, engkau telah memberi aku begitu banyak pencerahan bathin siang ini, mengenyangiku dengan sinar-sinar terang,” ucapnya sambil berlalu. Tiba-tiba ia berhenti. Aku merasa heran, dan memperhatikannya sungguh-sungguh.
Kucing kurus tersebut lantas menoleh ke arahku sambil ketawa sinis, lalu berkata:
“Paling tidak, engkau telah menyelamatkan aku untuk tidak memakan bangsaku sendiri siang ini. Kau boleh mengatakan kami pembohong permanen, tapi percayalah, saat ini aku jujur mengatakan yang sebenarnya....hihi...hihi...hihi....”
Kurangajar! Bukan main terkejutku! Perutku pun langsung terasa mual-mual hendak melontarkan kembali segala isi yang aku jejalkan padanya! Seluruhnya!
Aku bangkit dengan muka yang kini terasa panas bukan main, dan dengan dada yang menggelegak kencang kuhampiri kucing itu. Ia berlari cepat-cepat, lantas hilang di ujung tikungan! Lalu aku berbalik mencari penjual daging bakar di sebuah restoran tempat aku makan ini, dan yang oleh pelayanannya dia sebut sebagai daging ayam itu.
Ia sudah raib! Dan seisi restoran itu!
“Dagangannya sudah habis Oom, setiap hari jualannya laris, cepat habis, terutama daging bakarnya....,” tutur seorang penjual es doger keliling. Ia kemudian berlalu juga, meninggalkan tempat itu dengan menabuhi lonceng yang digantung di gagang gerobaknya. Ting...ting....ting....ting............bunyinya monoton, penuh ketidakpedulian.
Sejak kejadian itu, bila melewati pasar di mana pun, aku lalu menjadi rajin melihat dan mencoba menghitung-hitung seberapa banyakkah kucing-kucing di situ dan menyoba mengira-ngira apakah jumlahnya berkurang ataukah tidak dibandingkan dengan kemarin!
Ini semua gara-gara seekor kuring kurus yang pernah menggigiti tulang-tulang licin di meja di depanku.


Bagan Batu, Riau, Juni 2003

(Limboto Express, Gorontalo, 4 Oktober 2003)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima