Langsung ke konten utama

50 Tahun Dewa Ruci Keliling Dunia

Pada 18 Oktober 2014 ini genap 50 tahun kapal layar latih KRI Dewaruci menyelesaikan tugas Operasi Sang Saka Jaya, berkeliling dunia atas empat benua dan tujuh samudera, ketika ia memasuki perairan Indonesia di Irian Jaya (Papua) setelah delapan bulan terpisah dari Ibu Pertiwi.

KRI Dewa Ruci berlayar dengan layar terkembang penuh. Cantik.
Di bawah pimpinan komandan kapal, Letkol Laut (P) Hari Sumantri, KRI Dewa Ruci bersama 101 awaknya yang lain, berkeliling dunia dalam misi persahabatan, mengenalkan Indonesia sekaligus menunjukkan kepada dunia betapa tangguh orang Indonesia, apalagi para pelautnya. Dewa Ruci disambut meriah di semua pelabuhan yang disinggahinya, menjadi rubungan penduduk setempat. Hal ini karena selain eksotisnya kapal layar tiang tinggi ini, juga keramah tamahan para awak kapalnya. 

Banyak orang asing yang semula tidak tahu negara Indonesia, kecuali nama Soekarno yang populer dan menginspirasi negara-negara dunia ketiga untuk merdeka. Di Afrika nama Soekarno menjadi semacam “azimat” guna mendekatkan awak kapal dengan penduduk setempat. Sayangnya di New York, AS, Dewa Ruci dianak tirikan, diberi tempat sandar terisolasi dari penduduk setelah mengikuti lomba layar Bermuda-New York. AS memang tidak ramah terhadap Indonesia apalagi Soekarno. Protes dilayangkan oleh diplomat RI kepada panitia sehingga tempat labuh kapal latih kita dipindah lebih dekat. Selain itu, semestinya KRI Dewa Ruci mendapatkan juara pertama karena menjadi kapal layar terakhir yang menyerah kepada alam yang tidak mengembuskan angin sama sekali. Tapi Dewa Ruci tidak mendapat apa-apa kecuali urutan keempat.

Namun masyarakat AS, baik yang berkulit putih, hitam, hispanik apalagi yang berasal dari Indonesia sangat antusias mengunjungi kapal indah tersebut. Malahan dalam acara World’s Fair di New York, awak kapal menjadi perhatian utama. Mereka tidak percaya orang-orang kecil itu mampu mengarungi ombak yang ganas sejak dari Samudera India hingga Atlantik. Dalam parade, korps musik awak kapal KRI Dewa Ruci justru mendapat perhatian besar, warga Broadway membuntuti hingga akhir.
Seorang nenek warga setempat sampai berkata: “Ya Tuhan, mereka berbaris bak dewa-dewa saja….”.

Menyedot perhatian di New York World’s Fair
Gagal menjuarai lomba layar, awak kapal KRI Dewa Ruci, menyapu perhatian pengunjung New York World’s Fair 1964 dengan atraksi seninya. Dua orang kadet yang memiliki kemampuan tari wayang yang bagus, yaitu Adi Mulyo dan Akhmad Supriyo Taram, mengisi acara dengan tari perang antara Hanoman (Supriyo) dan Buto (raksasa) diperankan oleh Adi Mulyo yang bertubuh tinggi kekar. Tari ini mendapat applause dari penonton terutama para gadis dari berbagai bangsa di tribun khusus. Maka sang Buto pun ambil kesempatan, ketika ditendang Hanoman ia justru jatuh ke pangkuan gadis-gadis cantik itu. Tentu saja si cantik terpekik-pekik. Ini bonus hiburan tersendiri bagi pemain setelah dilanda ketegangan selama pelayaran.

Berkali-kali sang Buto ambil kesempatan seperti itu sampai akhirnya kena batunya. Ia terjatuh di depan gadis asal Spanyol, terlentang betulan dengan celana robek persis di bagian sensitif. Untungnya Buto memakai celana dalam! Para gadis Spanyol itu terkesiap dengan bola mata berputar-putar dan mimik yang tak dapat diduga. Sementara itu para awak KRI Dewa Ruci lain yang berdiri dekat panggung tak mampu menolong si Buto sebab mereka sendiri mengalami kejang perut karena tertawa terpingkal-pingkal habis-habisan.

Adi Mulyo memasuki masa purnawirawan dengan pangkat terakhir Laksamana Pertama, hingga kini masih tetap aktif berkesenian wayang sebagai dalang atau berperan sebagai Ki Semar dalam berbagai pementasan wayang orang terutama di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Kadet Akhmad Supriyo Taram sempat menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan TNI AL dengan pangkat Kolonel dan kini telah berpulang.

Jejaka yang “bernafsu melamar” gadis bule
Pengalaman lucu terjadi ketika KRI Dewa Ruci harus diperbaiki di sebuah dok di Yugoslavia selama sebulan. Maka biasalah jika para kadet “ngeceng” mencari kenalan nonik-nonik bule. Celakanya para kadet ini tidak tahu adat-istiadat setempat. Warga di situ terbiasa hidup di apartemen sehingga kontak sosial hanya diadakan di taman, café, dan sebagainya. 

Para kadet itu masih mengira adat istiadat mereka sama, sehingga kerap minta berkunjung ke rumahnya sebagai kunjungan kekeluargaan seperti di tanah air. Tentu saja si gadis tersipu-sipu, sebab menurut kebiasaan di sana, bila jejaka berkunjung ke rumah gadis itu sama artinya dengan melamar! Tentu saja wajah si jejaka menjadi biru sangking malunya.

Teh super mahal, anggur gratisan
Kejadian lainnya adalah ketika mereka memesan tiga gelas besar teh manis. Pelayan dan manajer café geger sampai meyakinkan bahwa para awak kapal KRI Dewa Ruci benar-benar memesan tiga jembangan teh manis. Rupanya para awak mengira teh di Yugoslavia murah seperti di Indonesia. Mereka bisa mendapatkan gratis bila makan di warung. Di Yugoslavia, teh harganya mahal sekali dan tidak sembarang orang memesan walaupun secangkir kecil! 
Sebaliknya jika mereka makan di resto atau café, sebagai air minum disediakan anggur hitam yang rasanya sepat-sepat manis. Gratis! Maka kesempatan itu dimanfaatkan baik-baik sehingga ketika pulang ke kapal larut malam, jalannya sudah sempoyongan, pipinya terasa menebal dan suka menyanyi!

Banyak pengalaman lucu, sebagai selingan pengalaman menegangkan karena mereka sering diembus badai. KRI Dewa Ruci sering nyaris tengkurap dan hampir tenggelam, luput dari maut. Paling tidak berkali-kali layar robek, ada tiang yang patah, lalu di potongan tiang itu dipenuhi nama para awak kapal dengan goresan-goresan dan hingga kini disimpan di museum TNIAL.

Pulang
Setelah diombang-ambingkan ombak, gelombang, alun dan topan badai selama delapan bulan akhirnya pada 18 Oktober 1964 KRI Dewa Ruci memasuki perairan Irian Barat, dan disambut meriah. Puncak acaranya adalah ketika Presiden Soekarno menemui para awak kapal beberapa hari kemudian, sama seperti ketika mereka berangkat delapan bulan sebelumnya.

Pemerintah menganugerahi mereka Satya Lencana Sang Saka Jaya. Hanya ke 102 orang awak kapal KRI Dewa Ruci itu saja yang pernah menerima penghargaan seperti itu. Malahan mereka diusulkan naik pangkat satu tingkat, tapi ditolak oleh angkatan lainnya dengan alasan berlayar mengeliling dunia sudah menjadi tugas TNI AL. Mestinya mereka diajak berlayar menyeberangi Samudera Pasifik biar merasakan bahayanya menjadi pelaut!

Kisah nyata pengalaman KRI Dewa Ruci ditulis secara menarik oleh Cornelis Kowaas yang ketika itu masih berpangkat letnan. Buku ini pernah menjadi bacaan wajib bagi siswa seluruh Indonesia guna mengasah kebanggaan akan tanah air dan menggaris bawahi manusia Indonesia yang berjiwa pelaut sejak zaman nenek moyang. Sayang ketika diterbitkan kembali pada masa Orde Baru buku ini “disunat-sunat”, terutama yang menyangkut nama Ir. Soekarno. Akhirnya pada tahun 2010 buku diterbitkan lagi, selain seperti dulu, juga ditambahi informasi lainnya dengan judul Sebuah Kisah Nyata: Dewa Ruci, Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudera.

Serba-serbi KRI Dewa Ruci    
Kesibukan di geladak KRI Dewa Ruci ketika dihajar badai
Kapal latih KRI Dewa Ruci adalah dari jenis Barquantine buatan galangan kapal H.C. Stulchen, Jerman Barat, dibangun tahun 1952 kemudian diluncurkan 13 Januari 1953. Mulai juli 1953 kapal layar cantik ini masuk ke dalam jajaran armada TNI AL dan diberi nama KRI Dewa Ruci sesuai nama tokoh pewayangan yang sakti walaupun berbadan kecil. Komandan pertama KRI Dewa Ruci adalah Letkol (P) A.F.H. Rosenow, perwira laut Jerman yang menjadi WNI. Ia dikenal sebagai pelaut yang tangguh, berdisiplin tinggi, dan keras dalam mendidik kadet. Ia kemudian menjadi Syahbandar Angkatan Laut di Tanjung Priok dan meninggal dunia di tahun 1966. Atas permintaannya sendiri saat masih hidup, jenazahnya diperabukan lalu ditebar ke Teluk Jakarta. Sungguh seorang pelaut tulen.

Buku menarik mengenai pengalaman ertama KRI Dewa Ruci melayari 7 samudera

KRI Dewa Ruci memiliki panjang 58,30 m; lebar 9,50 m; dengan bobot 847 ton. Hingga sekarang KRI Dewa Ruci tetap bertugas mendidik para kadet Akademi Angkatan Laut, sambil menunggu penggantinya yang lebih baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par