BUKU
Judul : Kemandang
Antologi cerita pendek berbahasa Jawa
Penghimpun : Senggono
Penerbit : Dinas Penerbitan Balai
Pustaka, Jakarta, 1958
Jumlah halaman :
184
Ukuran buku :
13,5 cm x 20 cm
Ilustrasi :
Elkana Siswojo
Di tengah
gersangnya ladang sastra Jawa,
maka ketika membolak-balik halaman-halaman buku antologi cerita pendek dalam
bahasa Jawa di “masa keemasaannya” terasa dingin di hati. Cerita pendek yang
ditulis oleh para pengarang Jawa terkenal dan diterbitkan dalam rentang waktu
antara tahun 1945 hingga 1956 ini sungguh merupakan perjalanan nostalgia yang
indah.
Ketika
membacanya dengan penuh perhatian, tersembul rasa percaya seolah tak mungkin
sastra Jawa tenggelam di abad berikutnya. Memang sejumlah pengarang masih
bertahan menulis dengan menggunakan bahasa Jawa, akan tetapi sambutan orang
Jawa sendiri terhadap sastranya kurang meriah dibandingkan sambutan mereka
terhadap sastra Indonesia dan terjemahan. Mudah-mudahan anggapan ini salah dan
kenyataannya justru sebaliknya! Sebuah pengharapan yang dapat diumpamakan
sebagai menegakkan benang basah.
Bahkan, kini
tinggal dua majalah berbahasa Jawa yang masih terbit teratur yaitu Jayabaya dan Panyebar Semangat, semuanya terbit di Surabaya, dua ikon kalawarta
berbahasa Jawa yang pernah begitu ditunggu-tunggu kedatangannya oleh para penggemar mereka, tapi kini pun
kehidupannya mulai berat. Majalah lain sudah lama gulung tikar, dan masih ada
satu lagi yang kini sekedar menjadi sisipan satu harian di Yogyakarta. Mungkin ada beberapa lagi yang masih hidup,
dan ini semacam doa pengharapan untuk kembalinya kejayaan sastra Jawa. Beberapa
tahun lalu masih terbit majalah sastra Bali, yang ternyata juga memuat
karangan-karangan berbahasa Jawa termasuk cerita pendek. Entah bagaimana kabar
selanjutnya.
Memang
ada sejumlah pengarang sasra Jawa yang tetap menerbitkan karyanya secara
independen, seperti misalnya Ny. Kushartati dengan nama samaran Fitri Gunawan,
akan tetapi sambutan khalayak kurang antusias. Ia harus berjuang keras.
Para
pengarangnya
Antologi
cerpen Kemandang berisi 5 (lima) puisi (geguritan,
Jw) dan 17 cerita pendek.
Para pengarangnya adalah sastrawan Jawa yang kelak mengisi kemeriahan sastra
Jawa hingga dekade 80-an, serta ada satu dua yang masih menulis hingga era
2000-an. Beberapa pengarang yang terkenal pada masa itu yang karyanya dimuat
dalam Kemandang antara lain:
-
Any Asmara seorang pengarang yang hanya lulusan sekolah rakyat
(SD) akan tetapi mampu mengukirkan
namanya dalam dinding kenangan kejayaan sastra Jawa. Gaya tulisannya romantik,
sering menghanyutkan. Nama aslinya adalah Achmad Ngubaeni Ranusastraasmara,
lahir di Banjarnegara, Jateng, 1913. Ia pernah berjuang mengangkat senjata
selama masa revolusi kemerdekaan, kemudian menjadi pegawai kantor Pemerintah
Kopra, di Yogyakarta. Karangannya tersebar di berbagai penerbitan seperti Panjebar Semangat, Waspada, Kadan Jawi,
Djaja Baja (Jayabaya) Tjrita Tjekak, Mekar Sari, Minggu pagi, Mustika Timur
dan lain-lainnya.
-
Poerwadhi-Atmodihardjo, yang juga redaksi majalah cerpen
Tjrita-Tjekak. Karyanya juga sering dimuat di majalah Jayabaya, Panyebar
Semangat, Waspada, dll.
-
St. Iesmaniasita, perempuan pengarang sastra Jawa yang
terkenal di masanya. Nama aslinya adalah Sulistyautami Iesmaniasita, lahir di
Mojokerto, Jatim, tahun 1933, menjadi guru di Sekolah Rakyat (sekarang SD).
Cerita pendek karangannya tersebar di berbagai majalah berbahasa Jawa antara
dekade 50-an hingga 80-an. Selain itu pengarang ini juga menulis dalam bahasa
Indonesia. Beberapa buku novel karyanya a.l. Tjerita di Tepi Brantas, Usapan Angin Persil, Kidung Wengi in Gunung
Gamping dan masih ada beberapa lagi.
-
Soebagijo IN, nama lengkapnya adalah Soebagijo Ilham
Notodidjojo, lahir di Blitar, Jatim, 5 Juli 1924. Wartawan LKBN Antara ini
selain berkecimpung di dunia jurnalistik juga sering mengarang, terutama dalam
bahasa Jawa. Wartawan-pengarang ini meninggal dunia September 2013. Di
Kemandang karangannya yang dimuat adalah Dina
Bakda Nggawa Begdja.
-
Liamsi adalah nama samaran Ismail, pengarang kelahiran Pare,
Kediri, Jatim, 21 Juli 1926. Ia lulusan Sekolah Guru di Blitar tahun 1948,
Taman Guru Taman Siswa Yogyakarta, dan Kursus Jurnalistik dan Kesusastraan di
Surabaya. Ia menjdi guru di Taman Siswa Tuban, jatim. Di antologi cerpen ini
ada tiga karangannya yang dimuat yaitu satu puisi berjudul Tirta Sutji, dan dua
cerpen masing-masing Anak Kuwalon dan Klebu Gelar. Salah satu ciri karyanya
adalah menyerempet kesusilaan, akan tetapi disampaikan secara halus, dan
humoristis.
Mereka hanyalah tiga dari 15
pengarang yang karyanya dimuat dalam Kemandang.
“Bengi Ing Pinggir Kali”
Ilustrasi Bengi ing Pinggir Kali, lukisan karya Elkana Siswojo. |
Dari
cerpen-cerpen yang dimuat di antologi ini, ada beberapa yang memang menarik
perhatian, walaupun kesemuanya dipilih secara seksama oleh penghimpunnya dan
memang bagus-bagus. Bengi Ing Pinggir
Kali (Malam di Tepi Kali) karya
Iesmaniasita misalnya, ditulis secara halus (sesuai dengan perasaan rata-rata
kaum Hawa), menceritakan kisah misteri tentang hubungan antara pengarang,
bernama Diah, dengan seorang perempuan yang ia kagumi, Yu An nama lengkapnya Andah
Susilah. Dikisahkan, Yu An menjalin asmara dengan seorang perwira tentara di
masa revolusi. Orangtuanya
melarang, hingga Andah lari bersama si perwira ke kota lain. Persoalannya,
Andah sudah dijodohkan dengan pemuda kaya pilihan orangtuanya. Sebuah alasan
klasik. Perang kemerdekaan memisahkan mereka hingga terjadi pertemuan yang
tidak mereka sangka. Si perwira telah cacat dalam pertempuran, satu kaki dan
satu tangannya puntung. Tapi Andah tetap bertekad menikah dengan si perwira.
Sebaliknya si perwira ingin mengembalikan Andah ke orangtuanya dalam keadaan
suci-bersih tidak ternoda.
Apa yang
Ilkemudian, keduanya menemui sang pemuda pilihan, untuk menyelesaikan
masalah. Ternyata si pemuda pilihan tak ubahnya seorang monster berwajah
malaikat. Terjadi percekcokan sehingga sang perwira
tertembak mati oleh si pemuda pilihan. Andah, perawan yang masih suci,
digelandang dan diperlakukan oleh si pemuda pilihan sebagai pelacur hina dina.
Andah terluka
perasaannya. Pada suatu malam yang penuh misteri di tepi kali, Diah menemui
seorang perempuan yang duduk di tanggul menangis sesenggukan. Ternyata itu adalah Andah, perawan yang sangat ia kagumi. Lalu Andah pun bercerita
mengenai perjalanan nasibnya.
Cerita itu
terpenggal ketika ayahnya menemukan Diah duduk di tanggul kali sendirian di
malam hari yang dingin. Diah menemukan, Yu An tidak ada di sampingnya. Tiga
hari kemudian baru tersiar berita ditemukan mayat berjenis kelamin perempuan
mengambang di kali, dengan ciri-ciri a.l. memakai cincin bertatahkan nama
Andijanto, nama si perwira yang berbudi luhur namun terbunuh oleh Mr. Danu si
pemuda pilihan.
Plot Bengi Ing Pinggir Kali cukup kaya adegan dramatik dan emosional, sudah memenuhi
syarat untuk menjadi sebuah skenario film atau sinetron, walaupun terasa
klasik, serta mirip cerita film India.
Saya memilih
cerpen ini karena sejak saya baca di klas 2 SD, Bengi Ing Pinggir Kali selalu menggantung dalam bayangan pikiran saya.
Ketika itu saya begitu tercekam oleh plot ceritanya yang pada pandangan saya dramatik,
mengandung misteri.
“Klebu Gelar”
Cerpen
kedua yang saya pilih dari Kemandang
adalah karya Liamsi berjudul Klebu Gelar
atau Masuk Perangkap. Selain sedikit menyerempet “bahaya” Klebu Gelar memiliki kejutan di akhir cerita. Satu kejutan yang
berpihak pada kebenaran, pada keluhuran moral. Setelah membaca sampai akhir,
pembaca bisa saja menganggap nasib yang dialami tokoh antogonis sebagai hukuman
terhadap kenakalan lelaki yang nekat ingin merusak rumah tangga orang lain,
apalagi si suami sasaran sedang mengadu nyawa bertugas di daerah pertempuran.
Hukuman yang setimpal dan harus diterima oleh lelaki mata keranjang.
Adalah
Srini, istri seorang prajurit yang ditinggal tugas ke luar daerah. Seorang
lelaki hidung belang merayunya habis-habisan, sudah sampai pada titik kenekatan
yang keterlaluan. Tentu saja Srini sangat risih sebagai istri prajurit yang
setia. Pada suatu saat pertahanan Srini runtuh. Ia berkirim surat ke pada sang
Arjuna nekat agar datang pukul 11.00 malam. Supaya tidak dicurigai Srini meminta
si Arjuna diam-diam tanpa berkata apa-apa untuk datang pada malam hari, ruangan
digelapkan total dan tidak boleh ada cahaya sedikit pun termasuk rokok.
Syarat
tersebut terlalu ringan untuk playboy
kampung, Cassanova KW-3. Maka ia pun menyanggupinya dengan pongah. Nafsu birahi
membutakan akal sehat manusia waras. Pada malam yang menggairahkan, Djono si
Arjuna mengendap-endap tanpa suara seperti syarat utamanya. Karena gelap gulita
Djono mendapatkan hukuman awal berupa terantuk kursi, “kejedot” dahinya pada meja. Tapi bukan halangan baginya. Ia maju
terus. Baru saja membuka pintu, tangan lembut perempuan yang ia idam-idamkan
dengan penuh nafsu menariknya ke dalam. Lalu segala sesuatunya terjadi dengan
seru dan diam dalam kegelapan. Akhirnya pertahanan perempuan angkuh itu rubuh.
Ilustrasi cerpen Lajange Djenate Dik Ar karya R. Noegrohp |
Djono
pun pulang dengan penuh rasa kemenangan. Puas bukan main. Di rumah ia dijelang
ibunya yang menyesalkan kenapa Djono pulang terlambat malam itu. Sebab hanya
beberapa menit sebelumnya, Srini – perempuan yang ia incar dan baru saja ia
setubuhi (menurut kepercayaannya) – dengan kawannya seorang perempuan yang
lebih tua, menunggunya. Mereka pulang dengan tangan hampa.
Bagai
tersambar petir Djono terkejut bukan main. Ia bingung, mana Srini yang asli?
Apakah yang baru saja ia setubuhi dengan penuh nafsu di rumah Srini ataukah
yang baru saja pulang dari rumahnya? Akhirnya akal sehatnya kembali bertengger.
Ia amati kembali surat Srini. Lho! Bukankah Srini itu pendidikannya sangat
rendah dan tidak pandai baca tulis? Tapi kenapa tulisan surat itu begitu indah
dan rapi memakai kalimat yang canggih?
Pertanyaannya terjawab beberapa hari kemudian setelah Djono
berobat ke dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin. Dua orang perempuan
“nakal” bercakap-cakap di dekatnya, mengenai berapa upah yang diberikan Srini
untuk melayani pria hidung belang di rumahnya dalam keadaan gelap gulita. Dari
situ Djono bergidik bagaimana kotornya perempuan tersebut dan yang telah
menularinya hingga sama-sama manejadi pasien dokter spesialis itu!
Liamsi menuliskan cerita itu dengan gaya kocak,
terutama pada adegan Djono hendak masuk ke rumah Srini. Walaupun kejadian itu
menjadi musibah Djono, pembaca dibawa agar menyukuri nasib sial si Don Juan
kampung tersebut.
“Marga Godaning Sripanggung”
Marga Godaning Sripanggung atau Akibat
Godaan Sripanggung. Cerita ini sebenarnya biasa saja, sering menjadi bahan
karangan sastrawan lain. Akan tetapi pengarangnya, Hadi Kaswadhi, yang lahir di
Ngawi 2 April 1930, menuliskannya dengan begitu apik. Diceritakannya Sutata
begitu gandrung dengan bintang panggung rombongan sandiwara yang bermain di
desa sebelah. Dewi Kirah. Orangnya biasa saja akan tetapi memiliki daya tarik
luar biasa ketika bermain d pentas. Sutata lupa pada kewajibannya sebagai
kepala rumah tangga hingga tak menghiraukan ketika anaknya jatuh sakit hingga
menemui ajalnya. Rasa sakit hatinya muncul setelah Dewi Kirah acuh-tak-acuh
pada nasibnya dan meninggalkan dirinya dengan mudah ke pelukan orang lain.
Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna. Itu nampaknya pesan moral
yang ingin disampaikan pengarang.
“Wekasane Krisis”
Cerita
pendek ini juga biasa saja plotnya, akan tetapi memiliki relevansi tinggi di
tahun 2014 sekarang ini, di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia. Itu artinya 59 tahun setelah cerpen ini dimuat majalah Panyebar Semangat no.49. Memang kisah
korupsi ini hidup di sepanjang jalan Republik Indonesia sejak tahun 1945,
bahkan bibit-bibitnya sudah ditanamkan oleh begundal VOC (termasuk Gubernur
Jenderal) di Nusantara sejak Abad ke-17.
Seorang
mandor bangunan diberi kepercayaan atasannya untuk menangani sebuah proyek
pembangunan, dan diserahi tanggung jawab keuangan sebesar Rp.15.000,- suatu
jumlah yang ketika itu luar biasa. Sayangnya mandor yang semula pengangguran
ini memiliki kebiasaan yang sulit dihilangkan yaitu berjudi kartu ceki (kartu
Cina). Maka dengan proses berliku dan pertarungan antara baik dan buruk, di
mandor gagal mengambilkan uang sebesar itu dalam tempo 24 jam. Konsekuensinya
jelas, ia mendiami ruang berjeruji besi, dan setiap hari dikirimi makanan oleh
anak istrinya yang setia.
Cerpen
Wekasane Krisis (Akhirnya Krisis)
karya Poerwadhi Armodihardjo ini cukup menarik sebab pada awal ceritanya
pembaca tidak tahu di mana si mandor korup itu berada, hanya dialog penuh
perasaan dengan putrinya yang memelas meminta uang. Sebuah hukuman lain di luar
KUHAP. Selanjutnya adalah serangkaian cerita penyesalan atas kebodohannya
sendiri.
Di
masa dekade 50-an itu masalah korupsi sudah menggerogoti republik yang berusia
masih muda. Sejumlah kasus dengan modus penjualan persetujuan kontrak terjadi
karena keterlibatan sebuah partai politik. Pengusaha ini sering dijuluki
pengusaha aktentas.
Seorang
pejabat tinggi (menteri) juga diduga terlibat masalah korupsi di dekade 50-an
itu tapi dapat dipertanggungjawabkan hingga lolos dari bui.
Presiden
Soekarno sendiri sempat mengeluh mengenai Departemen Agama yang disebutnya
penuh upaya korupsi, dan ternyata hingga sekarang masih berlangsung!
Nah,
bukankah dengan membaca cerita pendek ini kemudian membikin perasaan kita
terulur hingga masa 60 tahun silam? Bahwa keadaan yang satu ini tidak banyak
berubah walaupun kian modern.
Puisi
Moeljono
Soedharmo menyumbangkan dua puisi yang berjudul Gusti… dan Pengudarasane Tjah
Glandangan (Keluhan Anak Gelandangan), yang berisi cerita bagaimana seorang
anak gelandangan menderita kepada ibunya. Kemudian Liamsi walaupun mengarang
persoalan menyerempet bahaya ia juga menyumbang satu puisi berjudul Tirta Sutji atau Air Suci.
Membaca
Kemandang ini seolah mengingatkan kita pada masa kejayaan sastra Jawa, dan
berharap kapan era itu dapat dijangkau kembali.
Tidak lupa kita dapat menikmati ilustrasi lukisan karya Elkana Siswojo yang bergaya vignet dan menjadi ciri ilustrasi buku sastra terbitan Balai Pustaka era 50 hingga 60-an.
(Bahan-bahan
tersedia berkat kebaikan hati Sdr. Gunarso TS.)
Komentar
Posting Komentar