Cuplin
tiba-tiba terkejut. Seorang penonton ketawa malu-malu kucing keterusan hingga
ia pun menirukannya, dengan gaya berlebihan, dan tanpa suara! Tak ayal puluhan
penonton lainnya ngakak. Pemuda
berusia 27 tahun itu melompat dan penonton semakin terpingkal. Berbedak putih
menyolok, dengan bibir bergincu merah dan kumis sikat a la Hitler atau Charlie
Chaplin, ia mengenakan baju yang tak kalah ganjilnya: rompi hitam, menutup kaos
loreng, bertopi hitam, selendan merah di lehernya, celana tanggung dan kaos
kaki menyolok. Gerak-gerik tubuhnya menjadi wakil dari suaranya, sebagaimana
layaknya dalam pertunjukan pantomim lainnya.
Ketika
bermain di pelataran Taman Fatahillah – persis di depan Museum Sejarah Jakarta
(MSJ) – Rabu, 9 April 2014 lalu, Cuplin, singkatan dari Culun tapi Disiplin,
mampu menyedot puluhan penonton yang kesemuanya pengunjung Taman Fatahillah
beserta turis asing. Mereka menikmati pertunjukan yang jarang ditampilkan
bahkan di ibukota negeri ini pun. Bila tampil di tempat umum dalam rangka street performance, orang mengira itu
pertunjukan badut.
Cuplin
yang bernama asli Ajim ini sering geregetan. Ia sedih betapa warga kita belum
sepenuhnya memahami seni pertunjukan pantomim. Pria asal Balikpapan, Kaltim,
itu mengembara dari kotanya untuk mencari pengalaman. Di kota asalnya ia
mengaku bergabung dengan sebuah grup teater, tapi ia sendiri merasa malu dan
tidak pernah naik panggung. Dari pelatih teater itulah Ajim mempelajari seni
olah tubuh dan mempraktikkannya di rumah sendirian.
Ketika
ia mengembara ke Pulau Jawa, ia mengasah ketrampilannya berpantomim dengan
berpentas solo di kota Surabaya, Tuban, Yogya, dan Madiun. Di sana ia disambut
para penggemar pantomim dan sering mengadakan latihan bersama. “Sayangnya, ketika
saya tampil di Jakarta, tidak banyak pemain pantomim yang mau saya dekati,”
keluhnya kepada JURNAL BELLA. Ia menginginkan satu sambung rasa atau
persaudaraan dengan komunitas pantomim ibukota, namun menurutnya tidak banyak
berhasil. Ia pun kemudian berpentas sendirian di Taman Fatahillah tahun 2007.
Bila ada job yang ia dapatkan di tempat lain, ia terpaksa meninggalkan tempat
itu untuk sementara.
Ajim
mengaku baru berani benar-benar memasarkan dirinya setelah mendapat manajer dan
merasa sudah cukup bekalnya untuk tampil secara profesional. Bulan Maret ia
melayani 20 kali pentas atas pesanan sejumlah pihak. Selain Jakarta, ia sering
diundang ke kota lainnya seperti Medan misalnya. Bahkan ia mengaku sering
diundang komunitas pantomim di Singapura, Brunei, Jepang dan bahkan ke
Istanbul, Turki, untuk mewakili Indonesia. Ajim sudah bertekad untuk hidup
bersama seni pantomim. Kebulatan tekadnya itu berdasarkan fakta bahwa selama
ini ia mampu menghidupi dirinya dengan hanya berpantomim. Pria itu mengaku
berterimakasih kepada Septian Dwi Cahyo, pemain pantomim terkenal, karena telah
menemui dan memberinya pengarahan. Ajim mengatakan, Septian sengaja mencarinya
karena mendengar akan kesungguhan Ajim untuk bermain pantomim.
Pantomim
di negeri ini belum mendapatkan tempat semestinya. Orang masih mengira bahwa
pertunjukan itu tak ubahnya badut sirkus atau badut pesta ulang tahun bocah.
Sementara itu amat jarang ada pementasan seni pantomim yang “serius” di tempat
pertunjukan seni. Sejumlah tokoh pemain patomim seperti Septian, Didi Petet,
Jemek Supardi, amat jarang tampil secara resmi. Ajim mengaku ia mengagumi para
tokoh itu termasuk Sena Utoyo almarhum. Dari seorang murid Sena, Ajim belajar
olah tubuh lebih lanjut.
Ia
juga mengagumi tokoh legenda pantomim dunia bergaya klasik yaitu Marcel Marceau
asal Prancis. Ajim mengaku, belum ada tokoh pantomim yang begitu melegenda
seperti Marcel. Akan tetapi ia juga mengagumi tokoh yang lebih muda seperti
Milan Sladek dan sebagainya yang dirasakannya mampu memberi artikulasi sesuai
tingkat modernitas publik.
Pentas
jalanan, menurut Ajim, merupakan sekolah yang langsung mendapatkan nilai
apresiasi dari publik penontonnya. Dari orang-orang jalanan itulah ia belajar
banyak soal selera penonton. Baginya, berpentas di jalanan lebih menantang,
karena penilaian publik dianggapnya selalu jujur, terbuka, dan langsung, tidak
basa-basi.
"Cuplin" melayani berpose dengan penggemar ciliknya |
Kini
ia memiliki manajer yang mengatur pertunjukkannya. Ia baru berani “berjualan”
seni pantomim sejak 2010 lalu setelah merasa bekal yang didapatkannya cukup
memadai. Namun begitu ia juga mengeluh belum mampu berkarya maksimal karena
belum bisa membentuk tim produksi yang solid dan profesional. Ia mengatakan,
kini Jakarta masih banyak pemain daripada tim pendukung produksi yang mengurusi
sound system (audio) untuk pengiring,
kostum, make up, manajemen produksi
dan sebagainya.
Tapi
ia yakin seni pantomim akan semakin berkembang dan kian dikenal masyarakat
Indonesia. “Semua tergantung pada pemainnya, apakah mereka gigih bertahan di
bidang ini lalu mengembangkannya ataukah menyerah kalah,” tuturnya diiringi
hujan lebat Rabu petang itu di Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta. Baginya
pantomim kini menjadi tempatnya berkarya dan hidup. “Alhamdulillah, saya bisa
hidup dari seni ini,” tuturnya menutup wawancara.
Komentar
Posting Komentar