Bagian Ke-4
Penulis Adji Subela
Esok petangnya, diam-diam surat saya serahkan pada Kucik dengan isyarat agar ia diam-diam pula menerimanya, tak perlu ada kehebohan. Saya jelas akan repot nantinya.
Harapan saya ternyata tidak tercapai. Surat itu oleh Kucik ditunjukkannya kepada kakaknya, Tengku Kamaliah, serta ibunya. Matilah saya!
Kakaknya tentu saja tertawa terpingkal-pingkal melihat kepolosan adik kecilnya itu. Entah kepada siapa lagi Kucik membawa surat itu, saya tidak pernah tahu. Bahkan hingga Kucik berpulang ke Rahmatullah, saya tidak pernah menanyakan surat itu lagi. Bagi saya surat itu sudah menjadi milik pribadinya yang tak boleh saya tanya-tanyakan lagi, apalagi untuk memintanya kembali, tentu akan lucu sekali jadinya, bukan?
Tentu saja pada pertemuan berikutnya, saya merasa kikuk dan malu kepada Tengku Kamaliah. Akan tetapi pendidikan Barat mereka sungguh luar biasa. Beliau minta saya bersabar menghadapi Kucik. Tapi terdapat kesan sekilas, Tengku Kamaliah nampaknya mendukung hubungan saya dengan adiknya. Itu terbukti dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, di mana kami berdua ditinggalkannya, dan bahkan Kucik pun dibiarkannya menyajikan sendiri minuman dan makanan kecil. Biasanya tugas itu menjadi tanggung jawab pembantu mereka. Sekarang mereka ada di mana saat itu? Mungkin bersembunyi sambil ketawa-ketawa, saya tidak tahu.
Ketika pertama kalinya kami duduk berdua memang sulit bagi saya untuk membuka kata. Topik apa yang harus saya jual kepada si polos ini? Namun kelihatannya tidak bagi Kucik. Ia tetap tenang-tenang saja seolah tak ada persoalan baginya sehingga pada hari-hari berikutnya, adegan mengalir dengan amat sangat lancarnya. Topik diskusi tidak pernah habis! Dan kami selalu bergantian menjadi tukang cerita. Hubungan saya dengan Kucik pun semakin rekat. Saya tetap memanggilnya Kucik hingga akhir hayatnya, sedangkan dia memanggil saya Barkah. Bagi saya tidak menjadi masalah, namun Ibu Permaisuri ketika itu marah besar padanya. Beliau minta Kucik untuk memanggil saya dengan sebutan Kakak atau Abang, tapi Kucik tidak peduli, karena dengan memanggil nama saya langsung, ia merasa lebih akrab.
Pergi Keluar Bersama
Setelah berjalan kira-kira dua bulan, saya berpikir sudah waktunya mengajak Kucik untuk keluar makan angin, satu istilah di jaman itu untuk berjalan-jalan, berekreasi mencuci mata. Tempat yang paling tepat tentunya adalah gedung bioskop. Dapat dibayangkan, kala itu bioskop menjadi satu-satunya tempat mencari hiburan bagi muda-mudi kota Medan. Setiap kali ada film baru, gedung selalu dipenuhi penonton. Ada gedung bioskop Rex namanya. Ke sanalah saya dan Kucik mau pergi. Tidak mungkin membawa Kucik pada hari-hari biasa, sehingga saya pilihlah pada hari Sabtu malam Minggu. Barangkali orang di jaman sekarang akan membayangkan alangkah asyiknya kami berdua pergi ke bioskop guna memupuk cinta memadu kasih. Tapi tidak, betul-betul tidak!
Kami tetap dalam adat gaya Siti Nurbaya. Tak mungkin bagi saya untuk mengajak Kucik keluar rumah sendiri. Anak Sultan tidak patut berlaku seperti itu, sehingga ia perlu dikawal oleh anggota keluarganya. Barangkali pengawalan semacam ini bukanlah aneh di kala itu, tapi yang mengagetkan, pengawalan dilakukan oleh sekitar dua puluh orang lebih anggota keluarga almarhum Sultan Langkat, seperti kakak-kakak Kucik, ibu tiri, saudara tiri, sepupu, tante-tante, dan sebagainya. Jadi untuk utusan nonton film seperti itu, kami harus dikawal ‘satu peleton’ keluarga Kucik. Agaknya ini memang sudah adat kebiasaan mereka untuk selalu bersama, berkumpul dalam suasana suka maupun duka. Maka dari itu tidak mengherankan jika untuk rombongan ini, kami memerlukan dua baris kursi di gedung bioskop. Entah apa kata orang, yang jelas acara menonton itu kami lakukan berkali-kali beramai-ramai, kecuali Ibu Permaisuri yang tidak pernah ikut menonton.
Tentu saja untuk urusan membeli karcis atau tiket, saya tidak bisa melakukannya sendiri dengan cara mengantri misalnya. Saya cukup ‘perintahkan’ anak buah saya untuk mengurus karcis untuk ‘satu peleton’ penonton malam itu, dengan pembayaran dari saya sepenuhnya. Gaji saya sebagai Kapten bujangan sangat berlebih. Kala itu saya menerima Rp.150 per bulan, suatu jumlah yang lebih dari cukup. Dengan penghasilan sebesar itu saya mampu membeli kemeja Arrow yang berharga Rp.25,- per potong setiap bulan, sisa gaji saya pakai untuk menabung dan jajan. Uang karcis untuk menonton film di gedung bioskop waktu itu kurang dari serupiah per orang.
Biasanya setelah film usai kami langsung pulang ke rumah, tidak pernah mampir ke restoran untuk makan-makan seperti kebiasaan orang jaman sekarang. Penyebabnya yang pertama adalah, jumlah restoran di Medan waktu itu masih sedikit sekali. Kedua, mereka tidak suka datang ke restoran apalagi berjumpa orang lain di tempat tersebut. Yang paling bisa kami lakukan hanyalah membeli martabak dan kemudian menikmatinya bersama-sama di rumah. (Bersambung)
Penulis Adji Subela
Esok petangnya, diam-diam surat saya serahkan pada Kucik dengan isyarat agar ia diam-diam pula menerimanya, tak perlu ada kehebohan. Saya jelas akan repot nantinya.
Harapan saya ternyata tidak tercapai. Surat itu oleh Kucik ditunjukkannya kepada kakaknya, Tengku Kamaliah, serta ibunya. Matilah saya!
Kakaknya tentu saja tertawa terpingkal-pingkal melihat kepolosan adik kecilnya itu. Entah kepada siapa lagi Kucik membawa surat itu, saya tidak pernah tahu. Bahkan hingga Kucik berpulang ke Rahmatullah, saya tidak pernah menanyakan surat itu lagi. Bagi saya surat itu sudah menjadi milik pribadinya yang tak boleh saya tanya-tanyakan lagi, apalagi untuk memintanya kembali, tentu akan lucu sekali jadinya, bukan?
Tentu saja pada pertemuan berikutnya, saya merasa kikuk dan malu kepada Tengku Kamaliah. Akan tetapi pendidikan Barat mereka sungguh luar biasa. Beliau minta saya bersabar menghadapi Kucik. Tapi terdapat kesan sekilas, Tengku Kamaliah nampaknya mendukung hubungan saya dengan adiknya. Itu terbukti dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, di mana kami berdua ditinggalkannya, dan bahkan Kucik pun dibiarkannya menyajikan sendiri minuman dan makanan kecil. Biasanya tugas itu menjadi tanggung jawab pembantu mereka. Sekarang mereka ada di mana saat itu? Mungkin bersembunyi sambil ketawa-ketawa, saya tidak tahu.
Ketika pertama kalinya kami duduk berdua memang sulit bagi saya untuk membuka kata. Topik apa yang harus saya jual kepada si polos ini? Namun kelihatannya tidak bagi Kucik. Ia tetap tenang-tenang saja seolah tak ada persoalan baginya sehingga pada hari-hari berikutnya, adegan mengalir dengan amat sangat lancarnya. Topik diskusi tidak pernah habis! Dan kami selalu bergantian menjadi tukang cerita. Hubungan saya dengan Kucik pun semakin rekat. Saya tetap memanggilnya Kucik hingga akhir hayatnya, sedangkan dia memanggil saya Barkah. Bagi saya tidak menjadi masalah, namun Ibu Permaisuri ketika itu marah besar padanya. Beliau minta Kucik untuk memanggil saya dengan sebutan Kakak atau Abang, tapi Kucik tidak peduli, karena dengan memanggil nama saya langsung, ia merasa lebih akrab.
Pergi Keluar Bersama
Setelah berjalan kira-kira dua bulan, saya berpikir sudah waktunya mengajak Kucik untuk keluar makan angin, satu istilah di jaman itu untuk berjalan-jalan, berekreasi mencuci mata. Tempat yang paling tepat tentunya adalah gedung bioskop. Dapat dibayangkan, kala itu bioskop menjadi satu-satunya tempat mencari hiburan bagi muda-mudi kota Medan. Setiap kali ada film baru, gedung selalu dipenuhi penonton. Ada gedung bioskop Rex namanya. Ke sanalah saya dan Kucik mau pergi. Tidak mungkin membawa Kucik pada hari-hari biasa, sehingga saya pilihlah pada hari Sabtu malam Minggu. Barangkali orang di jaman sekarang akan membayangkan alangkah asyiknya kami berdua pergi ke bioskop guna memupuk cinta memadu kasih. Tapi tidak, betul-betul tidak!
Kami tetap dalam adat gaya Siti Nurbaya. Tak mungkin bagi saya untuk mengajak Kucik keluar rumah sendiri. Anak Sultan tidak patut berlaku seperti itu, sehingga ia perlu dikawal oleh anggota keluarganya. Barangkali pengawalan semacam ini bukanlah aneh di kala itu, tapi yang mengagetkan, pengawalan dilakukan oleh sekitar dua puluh orang lebih anggota keluarga almarhum Sultan Langkat, seperti kakak-kakak Kucik, ibu tiri, saudara tiri, sepupu, tante-tante, dan sebagainya. Jadi untuk utusan nonton film seperti itu, kami harus dikawal ‘satu peleton’ keluarga Kucik. Agaknya ini memang sudah adat kebiasaan mereka untuk selalu bersama, berkumpul dalam suasana suka maupun duka. Maka dari itu tidak mengherankan jika untuk rombongan ini, kami memerlukan dua baris kursi di gedung bioskop. Entah apa kata orang, yang jelas acara menonton itu kami lakukan berkali-kali beramai-ramai, kecuali Ibu Permaisuri yang tidak pernah ikut menonton.
Tentu saja untuk urusan membeli karcis atau tiket, saya tidak bisa melakukannya sendiri dengan cara mengantri misalnya. Saya cukup ‘perintahkan’ anak buah saya untuk mengurus karcis untuk ‘satu peleton’ penonton malam itu, dengan pembayaran dari saya sepenuhnya. Gaji saya sebagai Kapten bujangan sangat berlebih. Kala itu saya menerima Rp.150 per bulan, suatu jumlah yang lebih dari cukup. Dengan penghasilan sebesar itu saya mampu membeli kemeja Arrow yang berharga Rp.25,- per potong setiap bulan, sisa gaji saya pakai untuk menabung dan jajan. Uang karcis untuk menonton film di gedung bioskop waktu itu kurang dari serupiah per orang.
Biasanya setelah film usai kami langsung pulang ke rumah, tidak pernah mampir ke restoran untuk makan-makan seperti kebiasaan orang jaman sekarang. Penyebabnya yang pertama adalah, jumlah restoran di Medan waktu itu masih sedikit sekali. Kedua, mereka tidak suka datang ke restoran apalagi berjumpa orang lain di tempat tersebut. Yang paling bisa kami lakukan hanyalah membeli martabak dan kemudian menikmatinya bersama-sama di rumah. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar