BUKU
Judul : Kembang Goyang
Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900-2000) – Sketsa, Puisi, & Prosa
Penyusun : Chairil
Gibran Ramadhan
Penerbit : Penerbit Padasan
Komp. Perwira Angkatan Darat Blok 60
Jl. Bunga No.D-352
Rempoa, Ciputat 15412
Editor :
Laora Arkeman
Jumlah
halaman : xxiv + 320 hlm
Ukuran
buku : 15
cm x 23 cm
Sedikit kisah pribadi
Persinggungan
saya dengan seni-budaya Betawi dimulai ketika masih duduk di sekolah Probel (TK
sekarang) pada akhir dekade 50-an, di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Kakek
saya pada hari tertentu di petang hari menyetel radio zender RRI Jakarta, programa seni musik Betawi. Alunan gambang
kromong asli terdengar begitu asing bagi saya, tapi memukau karena saya memang
gemar mendengarkan musik tradisional. Kakek saya bercerita itu musik penduduk
Jakarta asli. Lamunan saya sering terayun-ayun oleh iramanya yang mendayu.
Sejak
klas satu SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) di awal dekade 60-an saya sudah
pandai membaca koran dan terpukau pada rubrik Gambang Jakarte karya Firman Muntaco yang muncul teratur di Surat
Kabar Mingguan (SKM) Berita Minggu langganan
tetangga saya. Di halaman yang sama ada rubrik Humor dan Mesiu yang juga tak pernah saya lewatkan. Pada awalnya
saya sangat asing dengan istilah Betawi yang dipakai Firman Muntaco, tapi
lama-lama mengerti dan menikmatinya. Gayanya yang kocak berhasil membetot hati
saya.
Di
masa itu mulai terkenal di kampung halaman saya kisah Si Jampang gara-gara film
Si Jampang produksi PFN. Saya lihat
cerita itu ditulis oleh Zaidin Wahab yang kelak jadi senior saya di sebuah suratkabar
sore di Jakarta
Pada
usia remaja saya merantau ke Jakarta dan langsung hidup di kalangan orang
Betawi di Manggarai. Di sana saya mengenal dan menyerap budaya Betawi.
Pengetahuan kian komplet dan menjadikan saya tambah asyik, sebab gaya bahasa
orang Betawi ternyata berbeda-beda menurut tempat tinggalnya. Ketika itu Pak
Jaid sedang top-topnya sebagai Tukang Sahibul Hikayat di radio.
Ketika
di SKH Pos Kota muncul cerita silat
Betawi bersambung karya Zaidin Wahab saya mengikuti, selain karya Firman
Muntaco yang dimuat di SKM Barata Minggu,
metamorfose dari Berita Minggu. Karya
Pak Firman kemudian muncul di SKM Buana
Minggu. Tetap memukau dan idenya selalu segar. Saya pun sering nonton
pementasan lenong dan cokek di daerah Parung dan Gunung Sindur. Tambah asyik
saja.
Lucunya,
pada awal Abad Ke-21 kemudian saya diminta seorang redaktur senior sebuah surat
kabar untuk menulis pojok dengan gaya Betawi. Kenapa harus saya? Orang Jawa
Timur ko’ek? Dia waktu itu mengaku
kesulitan mencari penulis gaya Betawi macam Pak Firman.
Saya
sendiri belum banyak mengenal sastrawan Betawi saat itu. Pada tahun 2002 saya meledek teman saya orang Betawi asli
dengan membikin cerita pendek di sebuah harian sore mengenai perkawinan antara
pemuda Jawa dan gadis Betawi. Perbedaan adat-istiadat begitu ruwet dan kedua
pihak saling pusing dan saling menertawakan. Sebenarnya ini konflik biasa
terjadi antarsuku di mana saja. Yang istimewa, akhirnya cerita itu benar-benar
menimpa diri saya sendiri. Saya mengawini gadis Betawi asal Tebet (gaya bicara
mereka agak berbeda dengan Manggarai) dan apa yang saya tulis betul-betul
kejadian.
Pada
tahun 2004 ada sayembara penulisan cerpen gaya Betawi oleh Lembaga Kebudayaan
Betawi, salah seorang anggota panitianya adalah Bang Nendra yang saya kenal
lebih dulu ketika masih sama-sama aktif di dunia sinetron. Saya dapat nomer
tiga. Lucunya, yang merebut hadiah pertama rekan saya sendiri yang dulu pernah
bersama-sama menjadi wartawan di SKH Pos
Kota, Haji Isyanto, yang anak Jawa tulen kelahiran Jakarta. Nomer dua di
tangan anak muda Betawi mahasiswa Univ. Nasional yang saya lupa namanya. Hadiah
lomba itu saya pakai untuk menggenapi biaya pernikahan dengan si gadis Betawi!
Itu ketulah namanya.
Buku Kembang Goyang
Saya
terkejut dan bangga dengan munculnya anak-anak muda Betawi yang ngumpul di kelompok
facebook Betawi Center. Mereka saya
anggap generasi muda baru Betawi yang serius dan mengikis stigma bahwa Betawi
itu melulu “ngebodor”. Selain muda-muda
mereka umumnya berpendidikan tinggi. Saya bangga karena mata saya baru terbuka
bahwa sastrawan muda Betawi sudah begitu banyak. Selama ini saya cuma
menunggu-nunggu kapan mereka ini muncul. Sebelum internet “merajalela”, begitu
sulit orang untuk mengekpresikan ide-idenya ke publik. Media cetak mahal,
terbatas dan “arogan”. Tunggu punya tunggu muncul tabloid berbahasa Betawi tapi
kandas di tengah jalan. Sayang sekali.
Nama
Chairil Gibran Ramadhan saya kenal ketika saya masih rajin menulis cerpen
walaupun belum pernah bertemu muka. Kesibukan saya di bidang jurnalistik waktu
itu menyita habis waktu saya, dan baru melek setelah pensiun jadi wartawan
formal dan menjadi penulis lepas.
Saya
tambah terkaget lagi setelah anak-anak muda ini membangun penerbitan mereka sendiri,
Padasan, dan menghasilkan a.l. buku Kembang
Goyang ini.
Kembang Goyang merupakan antologi tulisan (sastra) Betawi, baik dari
lingkungan warga keturunan Cina, Arab, Melayu maupun Betawi asli. Memang sulit
menengarai siapa orang Betawi, sebab ketika mereka menyatu di lingkungan
Betawi, banyak orang yang menjadi Betawi ketimbang darah aslinya. Tak heran
jika pada Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk Betawi-nya bertambah banyak!
Buku ini berisi
karya 10 orang penulis, masing-masing Oom Piet, Tio Ie Soei, Kwee Kek Beng, M.
Balfas, S.M. Ardan, Firman Muntaco, N. Susy Aminah Aziz, Zeffry Alkatiri, Aba
Mardjani, dan Chairil Gibran Ramadhan. Total ada 37 tulisan yang dibagi menjadi
tiga kelompok besar yaitu sketsa masyarakat, puisi dan prosa di mana di
dalamnya dijumpai cerita pendek dan noveleta.
Sketsa masyarakat
Sketsa yang
ditulis Oom Piet menarik. Ia menceritakan problema sosial yang terjadi, secara
kritis. Artikel kecilnya yang diberi nama Omong-Omong
Hari Senen muncul setiap hari Senin di suratkabar Taman Sari. Percaloan perkara atau sekarang disebut Markus (Mafia
Kasus) rupanya sudah ada sejak di masa sebelum perang (lih.Bandot, hlm. 5-11). Juga percaloan tanah yang membikin rongsok
rakyat kecil pun sudah subur. Tentunya bukan alasan bagi kita untuk
membiarkannya hidup terus. Selain itu Oom Piet juga mengritisi perlakuan yang
dialami warga keturunan Tionghoa. Kalau orang pribumi menganggap bahwa mereka
diistimewakan Belanda ternyata tak sepenuhnya benar. Penjajah tetap
memecah-mecah penduduk menurut sukunya agar mudah diawasi dan dikendalikan. (Kampoeng Tjina, Hlm. 17-23).
Satu karya
noveleta yang patut disanjung adalah kisah Pieter Elberveld, seorang keturunan Eropa
pembangkang terhadap pemerintah Belanda, ditulis oleh Tio Ie Soei (1890-1974) berdasarkan
kisah nyata di Batavia di Abad Ke-18 (Hlm. 46-75). Kisah pemberontakan terhadap
pemerintah kolonial dan yang berbau pengkhianatan itu sering dikisahkan kembali
dalam berbagai versi, termasuk dalam pementasan sandiwara tradisional.
Menulis pojok
di suratkabar tidaklah gampang. Penulis rubrik kecil ini umumnya wartawan
senior yang memiliki banyak referensi, berpengalaman, dan punya rasa humor
lumayan. Dengan begitu tulisannya akan menancap pada persoalan aktual secara
langsung, singkat padat tapi menggelitik dan sering-sering memancing senyum.
Kwee Kek Beng (1900-1975) dipilih penyusun karena di masanya ia termasuk
penulis pojok di SKH Sin Po. Ia juga
menulis kolom Djamblang Kotjok dengan
nama samaran Garem. Buah jamblang hanya bisa dinikmati kalau dikocok dengan
garam. Nampaknya kolom itu dimaksudkan untuk ‘mengocok’ pikiran pembaca supaya
sadar akan keadaan sekitarnya.
Meskipun
rubrik pojok ini banyak mengulas perkara penduduk China, akan tetapi ia pun
tetap enak untuk dibaca, paling tidak mengetahui apa yang terjadi pada masa
itu, apa pergulatannya dan yang lebih menarik adalah istilah-istilah yang
dipakai di kalangan penduduk China di Betawi yang sedikit banyak diserap ke
dalam ‘bahasa Betawi’ hingga kini. Bahasa Melayu “pasaran” yang dipakai penduduk
China di Betawi, amat berbeda dengan bahasa Melayu pasaran di Semarang,
Surakarta, dan daerah lainnya di Jateng dan Jatim. Bahasa Melayu pasaran
penduduk keturunan China di Jatim maupun Jateng tak banyak memengaruhi bahasa
Indonesia penduduk “asli”.. Barangkali karena bahasa suku Jawa dengan segala
dialeknya kuat.
Sumbangan
sastrawan Betawi keturunan Arab nampak pada karya M. Balfas (1921-1975). Ia
dengan gaya bahasa Indonesianya yang khas memberi gaya cerita pendek di masa
sesudah perang, dan ia pun termasuk dalam sastrawan Angkatan 45 seperti Chairil
Anwar, dkk. Sebagai anak Betawi ia sering menggunakan latar belakang daerahnya
dalam ceritanya. Ada tiga karyanya ditampilkan dalam Kembang Goyang,
masing-masing Anak Revolusi, Si Gomar,
dan Orang Penting (Hlm. 99 – 129). Cerita
pendek terakhir itu nampaknya masih aktual hingga sekarang, di mana ketika
pemerintah lalai melindungi warganya maka para centeng yang bersimaharajalela.
Mereka mengutipi “uang jago” penduduk dengan imbalan keamanan, artinya keluarga
tidak diganggu dalam tempo tertentu. Belum berubah, hanya modelnya berbeda.
Juga, “partij” sudah bicara banyak untuk urusan kepremanan macam ini.
S.M. Ardan
sudah kita kenal dedikasinya untuk seni-budaya Betawi kendati ia dilahirkan di
Medan, 2 Februari 1932 meninggal di Jakarta 26 November 2006. Ia banyak
berkarya baik di media cetak maupun film. Dalam Kembang Goyang disuguhkan tiga karyanya pula yaitu Pawai dibawah Bulan, Malam Terang dan Langit Tjerah, serta Mulutnya Komat-Kamit (Hlm 141 – 157). Sketsa
masyarakat bawah Jakarta ia gambarkan rinci, tanpa niat untuk melucu (Lihat
a.l. Malam Terang dan Langit Tjerah).
Bagi penggemar
karya Firman Muntaco seperti saya, maka di buku ini ditampilkan lima karya
almarhum yang tentu saja kocak-kocak. Ini semacam obat rindu bagi gaya tulisan
humor Betawi, dan hingga kini belum tergantikan. Firman Muntaco (5 Mei 1935 –
10 Januari 1993), memang punya gaya sendiri, dan orang lain juga punya
masing-masing. Semuanya memperkuat sastra Betawi. Tapi sensasi karyanya terhadap
pembacanya masih berbekas (paling tidak untuk saya), sulit dilupakan. Walaupun
ketika masih sehat karya almarhum sering dikritik orang Betawi sendiri sebagai
seolah membikin orang Betawi “kagak ade nyang pinter, bego-bego”, tapi kembali
lagi memang itulah gaya beliau. Ia menyindir masyarakatnya sendiri, orang
Jakarta, dan bukan hanya orang Betawi asli, tanpa menjadi nyinyir. Firman
Muntaco pun tak selalu “ngebodor”. Buktinya di Ayo dah, Kita Berangkat, ia mendukung gerakan transmigrasi penduduk
Jakarta ke Sumatra atau Kalimantan, daripada hidup kebelangsak dan kebanjiran
melulu. Ia sekaligus mengritik orang Jakarta yang suka buang sampah ke kali
sembarangan.
Saya pikir lebih
baik membaca karyanya sendiri langsung ketimbang saya harus bercerita banyak di
sini.
Suguhan Kembang Goyang berikutnya adalah karya
N. Susy Aminah Aziz, sebagian besar berupa puisi (Hlm.193 – 213). Serangkaian
kesan penulis perempuan tentang kotanya, tempat-tempat yang di masa dulu beken,
seperti Princen Park, Cipinang Muara, Pecenongan, Ciliwung, Lapangan Banteng,
dll. Rekaman ingatan itu mampu menyeret para pembaca yang “sudah cukup umur”
untuk kembali mengenang tempat-tempat yang menjadi tujuan para muda dulu kala,
tempat manusia Jakarta (termasuk Betawinya) bergualt dengan kehidupan ibukota
yang ganas. Yang cukup menarik adalah judul Betawi,
kepada: gubernur Ali yang pergi (Hlm 211 – 212). Menarik, karena Bang Ali
tetap menjadi sosok “legendaris” Jakarta yang di masa awalnya dicerca dan di
masa akhirnya dipuja. Di bawah arahannya Jakarta menjadi ibukota yang mampu
bicara di fora dunia. Dan, di masanya kesenian Betawi mulai unjuk gigi. Kampongverbeteering yang sudah dikonsep
sejak jaman penjajahan Belanda, mulai dikerjakan dengan berhasil di masa
kepemerintahannya. Tapi tetap, masih banyak nasib orang Jakarta (Betawi) yang
belum terangkat, malahan kian tertepikan, akibat derasnya pembangunan
gedung-gedung jangkung sebagai simbol kemajuan pembangunan.
Sepuluh puisi
karya Jeffry Alkatiri, muncul dengan amatan tentang Jakarta, Betawi, dan yang
menarik adalah bagaimana ia menggambarkan perjalanan “habib” dari tanah
kelahirannya di Hadramaut (Yaman) menuju Betawi. Satu penggambaran masyarakat
keturunan Arab yang tidak terlalu sering muncul dalam karya-karya sastra
Betawi, apalagi nasional (Lihat Habib,
Hlm 235 – 237). Ia pun juga mengamati warga keturunan lain yang berjasa
melahirkan musik Keroncong di tanah air, yaitu para keturunan mardijkers, Portugis, di Kampung Tugu
dalam Keroncong Tugu, Hlm 239 – 240).
Karya
berikutnya cukup unik, karena muncul dari wartawan yang sehari-hari bergelut di
bidang keolahragaan, yaitu Aba Mardjani, berupa tiga cerpen masing-masing Kue
Gemblong Mak Saniah (Hlm. 253), yagnpernah dimuat di SKH Kompas, 4 April, 2010 dan di buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2010), Pedang Panjang,dan Bang Acung
Tidak Bunuh Diri, Yah.
Pada deretan
terakhir adalah tiga karya Chairil Gibran Ramadhan masing-masing Stambul Panjak, Panas di (D) Jakarta,
dan Malam Terang Bulan. Dua cerita
pertama berkisah tentang nasib kelam manusia. Stambul Panjak mengisahkan nasib apes boss lenong Bintang Kedjora,
The Teng Hoei. Di tengah gerusan jaman, yang tersisa cuma kenangan masa lalu
yang berkilau, dengan segebong
penyesalan atas kepongahannya di masa jaya. Ini pesan untuk siapa saja tentunya,
tak harus panjak lenong. Digambarkan pula bagaimana si tokoh pergi ke
tempat-tempat “wingit” buat minta
berkah, entah pada siapa, sebagaimana layaknya para pekerja seni tradisional
masa lalu (dan sebagian juga masa kini). Penulis ini hafal tempat-tempat “muja” seperti itu. Membaca Stambul Panjak kita diajak menyelam
dalam kehidupan seniman tradisional Betawi keturunan China, yang amat jarang
diketahui umum. Riset penulis nyaris menjadi satu paper atas kehidupan mereka.
Pembaca pun lantas “ngeh”, bagaimana
seniman warga keturunan ini ikut mengisi khasanah seni-budaya Betawi.
Cerpen Panas (D)Jakarta berkisah
tentang nasib manusia, makhluk Allah tertinggi di dunia, tapi dengan mudah
dihantami setan-setan politik. Stigma-stigma yang ditempelkan pemerintahan Orde
Baru amat efektif “membunuh” mereka sebelum pulang ke hadirat Illahi. Para
monster politik membuat mereka menjadi manusia najis tanpa dosa. Politik adalah
politik. Ia bisa busuk sebusuk-busuk bangkai terbusuk di dunia. Sulit diduga,
dan bergerak tak beraturan tapi selaras kepentingan nafsu kuasanya. Akan tetapi
korbannya sudah jelas, yaitu manusia yang punya pikiran dan kehendak. Allah
tidak melarang pikiran dan kehendak baik, bahkan yang “buruk” pun, tapi
politisi bisa menajiskan itu semua. Korban kembali menjadi manusia (sayangnya)
hanya setelah dia mati betulan Yang terbayang adalah kebaikan-kebaikannya.
Terlambat, tapi itulah manusia (politik). Satu pesan moral kemanusiaan.
Perlu
Buku Kembang Goyang, pada hemat saya patut
dimiliki oleh para pemerhati sastra dan masalah sosial masyarakat Betawi
(paling tidak Jakarta). Tibang cape-cape ngebetin arsip di perpustakaan,
mending milikin buku ini aje. Kita diberi penjelajahan yagn menyenangkan.
Saya
kira Kembang Goyang melengkapi buku
kumpulan karya sastra pra-Indonesia susunan Pramoedya Ananta Toer yaitu Tempo Doeloe (Penerbit Lentera
Dipantara, Jakarta, 2003). Kebetulan karya Tio Ie Soei berjudul Pieter Elberveld juga sama-sama
ditampilkan. Bedanya Kembang Goyang
punya spektrum lebih luas untuk memandang Betawi.
Komentar
Posting Komentar